Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Yesus adalah Kunci Kebijaksanaan

Posted by admin on October 16, 2019
Posted in renungan 

Kamis, 17 Oktober 2019

Luk 11:47-54

Beberapa hari ini bacaan Injil memberikan kisah mengenai perjumpaan Yesus dengan orang-orang farisi. Orang farisi juga dikatakan sebagai golongan agamawan bangsa Yahudi. Mereka adalah pemimpin-pemimpin di sekitar rumah ibadat Yahudi karena keunggulan pengetahuan mereka mengenai hukum taurat (Kitab Suci). Mereka seringkali menafsirkan isi hukum taurat seturut kepentingan mereka. Mereka menjelaskan ayat-ayat hukum taurat secara detil, namun mereka tidak menerapkan apa yang diajarkan itu. Kaum farisi terbiasa dengan cara hidup yang hanya menampilkan hidup lahiriah dan tidak mendalam. Hidup mereka cenderung menekankan pujian dan kemuliaan bagi diri mereka sendiri. Bukankah cara hidup yang demikian juga menjadi tantangan dalam hidup beragama, khususnya juga para pemimpin agama-agama zaman sekarang? Dalam arti inilah Yesus mengatakan “Celakalah kalian, sebab kalian membangun makam bagi para nabi, padahal nenek-moyangmulah yang telah membunuh mereka”. Kaum farisi menghormati para nabi dengan membangun kubur mereka, namun pada kenyataannya nenek moyangnya telah membunuh para nabi. Hal itu dilakukan para ahli taurat untuk dikesani bahwa mereka telah menghormati para nabi padahal mereka tidak mengamalkan apa yang diajarkan dan diwartakan para nabi. Para ahli taurat mengagumi para nabi tetapi hidupnya berlawanan dengan apa yang diajarkan para nabi. Mereka menolak para nabi dan menutup telinga mereka terhadap ajaran mengenai Sabda Allah.

Kehadiran Yesus sebagai Mesias, seorang Nabi yang penuh belas kasih, berbeda dengan para guru dan ahli taurat bangsa Yahudi yang hidup penuh dengan keangkuhan, kesombongan dan kemunafikan. Yesus adalah kunci pengetahuan untuk mengenal Allah yang berbelas kasih. “Aku akan menaruh kunci rumah Daud ke atas bahunya: apabila ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka” (Yes 22:22). Yesus adalah Kebijaksanaan Allah dan sumber hidup kekal.

Kita pun kadang pun bisa bersikap seperti kaum farisi, yang tidak senang apabila orang lain hidup lebih baik dan mengalami keselamatan. Mereka senantiasa ingin mencari kesalahan orang lain dan menghalangi orang lain untuk bertumbuh dalam iman. Kejahatan mereka adalah menghasut dan memyebarkan berita bohong dan menutup-nutupi kedosaan mereka. Bukankah cara hidup beragama yang demikian masih aktual di zaman sekarang? Hanya kerendahan hati dan kejujuran hati nurani yang mampu melawan kejahatan itu.

“Tuhan Yesus, semoga SabdaMu berakar dalam hati kami dan memurnikan pikiran dan tindakan kami sehingga hanya kehendakMu saja yang kami lakukan. Berilah kami KebijaksanaanMu dan beranikanlah kami menjadi saksi-saksiMu”

Mencintai Allah yang hadir dalam diri sesama

Posted by admin on October 15, 2019
Posted in renungan 

Rabu, 16 Oktober 2019

Luk 11:42-46

Dalam kehidupan masyarakat, peran agama masih sangat diperlukan untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Agama membekali manusia dengan pembentukan karakter yang baik, semakin taat kepada Allah dan berbelas kasih kepada sesama. Namun yang sering terjadi adalah, orang lebih menekankan aturan-aturan dan pengajaran doktrin-doktrin dan melupakan sikap hormat dan penuh belas kasih kepada sesama. Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus mengajarkan pentingnya mempraktekkan ajaran-ajaran agama yang kita imani. Ungkapan Yesus “celakalah kalian” hendak mengungkap suatu teguran atas situasi yang menyedihkan/tragis karena para pemimpin agama, seperti orang farisi dan ahli taurat yang berkeras hati dan tidak mau mendengarkan apa yang dikehendaki Allah. Dia hanya piawai dalam mengajarkan hukum-hukum taurat tetapi tidak memberikan teladan dalam tindakan. Orang farisi menyibukkan diri hanya mengenal hukum-hukum Musa dan mereka merasa diri cukup hanya dalam taraf pengetahuan dan pengajaran. Mereka lupa akan hal yang sangat penting dari hidup iman yaitu :

mencintai Allah dan juga mencintai sesama. Kaum farisi mempunyai pengetahuan yang detil mengenai hukum tetapi mereka melupakan cinta Allah.

Yesus juga menyamakan kaum farisi seperti kubur yang tidak memakai tanda, sehingga banyak orang tidak mengetahuinya dan akhirnya menginjaknya. Hal ini hendak mengatakan bahwa orang yang menyentuh mayat menjadi tidak murni atau najis. Sama halnya orang farisi yang sibuk dengan hal-hal yang detil tentang hukum tetapi tidak mampu menjadi “tanda” atau saksi sehingga akan menyesatkan orang lain pula. Orang yang demikian juga menjadi tidak peka akan dosa dan kesalahan karena merasa dirinya paling benar.

Apa yang sebenarnya akan Yesus ajarkan dalam bacaan Injil hari ini? Pentingnya melihat hakikat dari perintah Allah adalah cinta: mencintai Allah dan mencintai sesama. Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8) dan segala sesuatu mengalir dari cintaNya untuk kita. Cinta Allah adalah tanpa syarat. Cinta Allah yang demikian inilah yang merangkul kita untuk memanggul beban hidup kita. “Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita” (Rm 5:5).

“Tuhan Yesus, nyalakanlah hati kami dengan cintaMu : cinta akan Dikau dan cinta kepada sesama kami. Bebaskanlah hati kami dari sikap egois dan semoga kami mampu untuk mengamalkan nilai-nilai kemurahan hati, belas kasih dan kebaikan hati kepada semua orang yang kami jumpai”

Kekudusan

Posted by admin on October 14, 2019
Posted in renungan 

Selasa, 15 Oktober 2019

Luk 11:37-41

Tak jarang kita menilai orang lain dari apa yang nampak dari luar. Tak jarang pula kita keliru memberi penilaian sehingga terbangunlah suatu penghakiman dan pandangan negatif. Seringkali kita lebih menyibukkan diri dengan tindakan-tindakan yang mendangkal yang hanya bertujuan untuk menarik perhatian orang lain sehingga muncullah kemunafikan. Oleh karena itu orang yang berkeutamaan tidak dinilai dari apa yang tampak saja tetapi juga disposisi batin yang menggerakkan tindakan tersebut. Bacaan Injil hari ini menkisahkan suatu perjumpaan Yesus dan orang farisi yang sedang mengadakan perjamuan makan. Orang farisi senantiasa ingin mencari kesalahan Yesus dan berusaha mengamati bagaimana Yesus menerapkan hukum taurat dalam soal makan. Orang farisi mengamati Yesus yang makan tanpa melakukan terlebih dahulu ritual cuci tangan. Namun Yesus mengetahui apa yang dilakuakan oleh farisi. Dalam kesempatan itu pula, Ia justru memberikan suatu pelajaran bagi orang farisi dan kepada diri kita mengenai bagaimana menjadikan hidup yang kudus dengan hati yang bersih. Orang farisi menampilkan hati yang dipenuhi kebencian, ketamakan, kerakusan, keangkuhan, kesombongan, arogan dan hidup penuh kepahitan. Sebaliknya, yang menjadikan hati kita bersih dan suci pertama-tama adalah cinta kasih, belas kasih, kebaikan hati dan pengampunan. Kita pun memohon rahmat Allah agar hati kita dipenuhi dengan cinta kasih dan belas kasihan.

“Tuhan Yesus, penuhilah hati kami dengan cintaMu dan tambahkanlah kerinduan kami akan kekudusan. Bersihkanlah hati dan pikiran kami dan bantulah kami untuk melakukan semua itu dengan penuh kebaikan dan cinta kepada sesama”

Mengasah kepekaan hati

Posted by admin on October 13, 2019
Posted in renungan 

Senin, 14 Oktober 2018

Luk 11:29-32

Tidak semua pengalaman mudah untuk kita maknai. Seringkali pengalaman hidup menyimpan suatu makna bagi kita. Hanya kepekaan hati yang mau mendengarkan dan mengosongkan diri akan mampu memahami tanda-tanda yang Allah berikan kepada kita. Tak jarang kita menjumpai seseorang yang salah mengambil sikap dan keputusan dalam hidupnya disebabkan keterbatasannya dalam mendengarkan dan kemauan untuk merenungkan sejenak pengalaman sehari-hari. Hal itu terjadi karena hatinya yang keras dan cenderung untuk memaksakan kehendaknya dari pada taat kepada kehendak Allah.

Injil hari ini menggambarkan bagaimana dua sikap orang yang menanggapi kehadiran Yesus dalam sejarah keselamatan umat manusia. Yang pertama digambarkan oleh orang-orang Yahudi yang menuntut suatu tanda. Mereka menuntut suatu tanda dari Allah yang menghendaki keselamatan bagi umat manusia dengan mengutus PuteraNya ke dunia. Kelompok kedua adalah orang yang mempunyai kepekaan terhadap karya keselamatan Allah yang mensyaratkan suatu sikap tobat. Seperti yang digambarkan oleh orang Niniwe yang bertobat setelah mendengar pewartaan Nabi Yunus. Dalam Injil, Yesus mengatakan generasi ini dikatakan jahat karena mereka menuntut suatu tanda. Apa yang salah dengan meminta tanda? Janji keselamatan itu sudah ada di dalam kehadiran Yesus Kristus. Namun bukankah sesuatu yang positif pula, apabila kita meminta kejelasan dalam membaca tanda-tanda tersebut. Kehendak Allah itu bukan sesuatu yang gampang untuk dilakukan. Untuk itulah kita perlu memperjelas apa yang dikehendaki Allah dan membaca tanda-tanda itu, diperlukan sikap discernment (membedakan, memilih dan memilah) apa yang dikehendaki oleh Allah. Pemimpin-pemimpin Yahudi mendesak Yesus agar memberikan tanda. Padahal tanda-tanda tersebut sudah diberikan kepada manusia. Tanda terbesar adalah kehadiran Yesus ditengah-tengah manusia sebagai Penyelamat. Banyak orang lebih mementingkan berbicara mengenai berbagai tanda tentang Allah daripada tertarik terhadap Pribadi itu sendiri. Untuk membangun kepekaan akan tanda kehadiran Allah kita perlu waktu hening dan merenungkan Sabdanya. “Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan…” (Yak 3:17)

“Tuhan Yesus Kristus, anugerahilah suatu hati yang mencintai apa yang baik dan apa yang Kaukehendaki dan penuhilah hati kami dengan kebijaksanaanMu sehingga kami mampu memahami dan mengikuti jalanMu. Berilah kami rahmat dan keberanian untuk menolak apa yang jahat dan yang bertentangan dengan kehendakMu”

Suffering and God’s Way

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on October 12, 2019
Posted in renungan  | Tagged With: ,

28th Sunday of the Ordinary Time

October 13, 2019

Luke 17:11-19

Suffering, sickness, and death do not care whether you are Jews or Samaritans, whether you are rich or poor, whether you are old or young. When it strikes, it strikes. In time of Jesus, leprosy or Hansen’s disease was still one of most dreadful sicknesses. It ate you your skin and made you ugly. It is highly contagious, and thus, cut you from your community. It was incurable and thus brought you a slow and agonizing death.

While it is true, and we thank God, that leprosy is now curable, humanity continues to battle with deadly diseases that bring untold suffering and death. When I was still in a brother in the formation, he was assigned to the hospital in Manila to be a chaplain. My duty was to accompany those people who were struggling with terrible sickness. Some were battling cancers and they had to endure painful chemotherapy. Some were having kidney failures and had to patiently undergo hemodialysis. Some were helpless victims of HIV and had to bear various complications.

I never forgot to meet one young man in that hospital. We just call him John. He was a new college graduate, and he had high hopes for his future life. Yet, all were changed when just several weeks after his graduation, he was diagnosed with cancer, stage 3. Thus, to survive he must take up severe medication like surgery and chemotherapy. In the hospital, I learned how painful chemotherapy was and there was no assurance that the treatment would succeed. In fact, it may destroy the body in the process. He lost his hair, he lost his appetite, and every time he tried to eat, he would throw up. He became terribly weak and sickly.

One day, I decided to visit him and had a little chat. I was expecting a very depressing case, but to my surprise, he said that he was doing fine and in fact grateful. Initially, I thought the medication was working, but it was not really the case. I was confused with his answer. In dealing with patients with grave sickness, the chaplains were told about the five stages of grieving: denial, anger, bargaining, depression, and acceptance. Nowhere in the process, a sick person will be grateful. Yet, John was thankful for his condition. Why?

When I asked further, I heard an unforgettable answer. He said that in his sickness and suffering, he discovered what is truly important and indispensable in his life. He learned how the love of his parents made his life more meaningful. He saw how God has given life that is simple and yet totally free. A very breath, a very heartbeat, a very memory is precious gift from God. He cannot but be grateful for simple blessings from God, despite his deadly sickness.

John teaches me that suffering is sometimes God’s way to remind us to discover what is truly essential in our life. When we are suffering, we realize our beautiful bodies are no longer important, our richness is empty, and our ambitions are just like passing air. We thank the Lord that we are not suffering like John, but we do not have to wait until we get sick, to find the essentials. The time is now and the place is here.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »