
Posted by admin on February 18, 2020
Posted in renungan
Pekan Biasa VI, 19 Februari 2020
Yak 1:19-27: Mrk 8:22-26
Salah satu kecendrungan manusia adalah marah. Orang marah selalu punya alasan. Ada yang alasannya sangat sepeleh, tapi ada juga yang marah karena sudah tidak punya kesabaran lagi. Apapun alasan untuk marah, St. Yakobus dalam bacaan pertama dengan sangat jelas mengatakan bahwa ”amarah manusia tidak dibenarkan oleh Allah”. Agar amarah bisa dihindari, kata Yakobus, buanglah segala sesuatu yang kotor dan hal-hal yang jahat dan terimalah dengan lemah lembut sabda Tuhan yang tertanam dalam hatimu, hal-hal yang menyelamatkan jiwamu. Agar kita tidak cepat marah, kita perlu melatih diri untuk selalu mendengarkan. Jangan pernah tergesa-gesa untuk berkata-kata sebelum kita mengetahui sesungguhnya apapun persoalan sebenarnya terjadi yang dilakukan orang lain.
Kata-kata St. Yakobus tersebut bukan hal yang mudah dan gampang untuk dilakukan. Untuk bisa mengatasi amarah, kita betul-betul berusaha extra karena kita berada dilingkungan dimana orang atau kelompok yang selalu tidak puas dengan apapun dan begitu cepat tersulut amarah dan benci. Situasi ini sering juga menjebak kita dan kita bisa masuk di dalam lingkaran itu dan bisa membuat kita merasa amarah adalah sesuatu yang normal dan biasa. Kita bisa saja menjadi buta akan hal-hal yang sesungguhnya itu baik. Kita bisa menjadi seperti orang buta dalam bacaan injil hari ini yang tidak bisa melihat mana yang baik dan mana yang salah.
Dalam situasi kebutaan karena amarah, kita butuh orang lain untuk membantu dan menghantar kita kembali kepada sumber kebenaran sejati. Sumber kebenaran sejati tidak lain dan tidak bukan adalah Yesus sendiri. Untuk sampai pada kebenaran sesungguhnya, bantuan orang lain saja tidak cukup. Harus ada keterbukaan dan kerendahan hati dari masing-masing kita untuk lebih baik. Untuk sampai pada perbuatan lemah lembut dan membahagiakan orang lain serta tidak cepat tersulut amarah, butuh sebuah proses Panjang. Sama seperti orang buta dalam injil, untuk dapat melihat secara sempurna, butuh proses dan butuh camur tangan Tuhan.
Semoga bacaan-bacaan hari ini membantu kita agar kita dengan rendah hati datang kepada Tuhan untuk disembuhkan dan dipulihkan oleh Yesus. Yesus yang selalu terbuka untuk menerima siapa saja yang memerlukan bantuannya, terbuka juga bagi kita yang mau datang kepadaNya. Mari kita mohon belas kasih Tuhan Yesus agar kita boleh menjadi orang yang takut akan Tuhan dan dibenarkan dihadapaNya
Posted by admin on February 17, 2020
Posted in renungan
Markus 8: 14-21
Hari Biasa Pekan VI
1. Ragi orang Farisi dan Ragi Herodes. Para murid Yesus lupa membawa roti. Pada saat yang sama Yesus berbicara tentang ragi orang Farisi dan radi Herodes. Ia memperingatkan mereka: “Berjaga-jagalah dan awaslah terhadap ragi orang Farisi dan ragi Herodes.” Ia berbicara tentang ragi orang Farisi dan Herodes. Ia mengajak para murid untuk waspada terhadap ragi, yaitu suatu pengaruh yang menyusup secara berbahaya.
Ragi orang Farisi adalah kemunafikan dan ketidak-percayaan. Mereka mengukur kesucian hidup melalui adat-istiadat dan tradisi yang ketat dan kaku. Mereka sibuk mengamati-amati dan mecurigai hidup orang lain demi hal ini, dan lupa untuk bercermin diri. Mengapa para murid mesti berjaga-jaga dan awas? Karena cara hidup ini hanya akan mengambil energi seseorang dari cinta dan membuat seseorang tidak melakukan tindakan cinta khususnya pada orang miskin dan tak berdaya.
Ragi Herodes adalah pengaruh kaum pendukung Herodes, suatu pengaruh yang mengarah pada pemenuhan diri yang bersifat duniawi, suatu pengaruh hidup sekular yang menular. Ragi semacam ini akan memusatkan energi seseorang pada kesenangan dan kepuasan pribadi seseorang. Lebih dari itu, ragi semacam ini akan mengarah pada bentuk kemanjaan diri, dan akhirnya akan mewarnai cara hidup orang-orang yang berkuasa dan dapat membuat negara bangkrut karena korupsi dan pemenuhan kepentingan diri.
Ia selalu mengingatkan kita untuk mempunyai hati yang mencinta pada sesama yang miskin dan tak berdaya. Ia mengajarkan kepada kita untuk membangun hidup ini dengan peduli kepada kesejahteraan masyarakat dan bukan kesenangan dan kepuasan diri. Sejauh mana pesan Injil ini hidup di dalam diri kita?
2. Gagal memahami perkataan dan perbuatan baik. Para murid rupanya gagal paham: “Itu dikatakan-Nya karena kita tidak mempunyai roti.” Para murid begitu cepat melupakan pelajaran-pelajaran yang terdapat di dalam peristiwa pemberian makan kepada lima ribu orang dan empat ribu orang. Dengan demikian, mereka semestinya tidak perlu mengkhawatirkan makanan hanya untuk tiga belas orang dalam suatu perjalanan yang singkat menyeberang danau. Bukankah Yesus baru saja menunjukkan kuasa-Nya menyediakan makanan bagi sembilan ribu orang lebih (lima ribu dan empat ribu orang)?
Kemudian Yesus berbicara tentang “hati yang degil”, yaitu, tentang ketidakmampuan para murid untuk berpikir dan memahami serta menilai secara benar perkataan dan perbuatan-Nya yang pernah disampaikan dan dilakukan-Nya. Ia berkata: “Mengapa kamu memperbincangkan soal tidak ada roti? Belum jugakah kamu faham dan mengerti? Telah degilkah hatimu? Kamu mempunyai mata, tidakkah kamu melihat dan kamu mempunyai telinga, tidakkah kamu mendengar?”
Kadangkala kita juga gagal memahami perkataan dan perbuatan baik Tuhan serta ajakan-ajakan-Nya karena kita terlalu berkutat dengan pikiran dan angan-angan kita. Kita terbius dengan keinginan dan harapan sendiri, dan tidak mampu menyadari kasih karunia-Nya. Hari ini Yesus sedang berbicara kepada kita yang gampang melupakan kasih karunia-Nya: “Belum jugakah kamu faham dan mengerti? Telah degilkah hatimu? Apa lagi yang harus Aku lakukan padamu? Bukankah banyak hal sudah Aku perlihatkan dan lakukan padamu? Mengapa seakan-akan matamu tidak melihat dan telingamu tidak mendengar?”
Melihat pekerjaan baik Tuhan di masa lalu adalah cara yang terbaik untuk melihat masa kini. Jika Tuhan setia di masa lalu, Dia tetap setia di masa sekarang. Jika Dia hadir di masa lalu, Dia tetap hadir di masa sekarang. Jika Tuhan melakukan perbuatan baik di masa lalu,
kita tidak perlu menyangsikan bahwa ia tetap mengerjakan perbuatan baik-Nya sampai sekarang i
Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on February 15, 2020
Posted in renungan | Tagged With: English, Sunday Reflection
Sixth Sunday in Ordinary Time [A]
February 16, 2020
Matthew 5:17-37
Jesus is accused of unfaithful to the Law of Moses and the traditions of the elders. He no longer requires His disciples to performs ceremonial washings and many traditions of the elders [Mat 15:2]. Jesus heals people even during the Sabbath [Mark 3:1-6]. Jesus declares that all food is clean [Mark 7:19]. The worst part is when Jesus commands His disciples to drink His blood [see Lev 17:14; Mat 26:27-28]. Is Jesus breaking and changing the Law of Moses?
Today, Jesus makes a bold statement against His accusers, “Do not think that I come to abolish the Law, but to fulfill it.” The real and tough question is how Jesus completes the Law? Jesus’ answer is simple: by returning to original plans of God, or simply put, by going back to the essential. However, to go back to the essential, Jesus has to unload centuries-old unnecessary addition to the fundamental Law. Jesus has to remove tons of unessential.
Yet, the basic logic is: before we set aside the unessential, we need to know first what the essential is. For Jesus, what is essential and the original plan of God? Simply put, God wants us to share His divine life and happiness. To share this life, men and women have to give their hearts totally to God. And, Jesus understands that to give our hearts for the Lord, we need to purify our hearts. “… because from the heart comes to all evil things…[Mar 7:21]” and “Blessed are the pure in heart because they will see God [Mat 5:8].” No wonder, in today’s Gospel, to fulfill the Law, we need to purify our hearts from all negative emotions and thoughts. We must cleanse our hearts from prolonged anger, hatred, and vengeance because these things will breed violence and worse evil. We shall clean our hearts from lust because it simply leads to sexual immorality. Even Jesus hates divorce because it is the product of the hardness of our hearts.
One time, when I was still a brother, I listened to the sharing of some people who have become the victims of a child abused. Here I meet Rio [not his real name]. He told me that he was sexually abused by his father when he was around ten years. The incidents left him deeply traumatized, he grew up with some problems, and the situations brought him into despair. He event attempted to commit suicide, but fortunately, his friends came to his rescue. However, years later, when he heard that his father got a stroke, and it left him paralyzed, he decided to go home and take care of his father. I asked him what made him return and forgive his father? He said that it was challenging because of anger and hatred, but he realized that he had to forgive his father not because his father asks for it, but because he deserved peace of mind. Now, he returned to purify his broken heart with a sacrificial love towards his father.
Are we willing to remove non-essentials from our hearts? Are we willing to offer our hearts to the Lord? Are our hearts pure enough to be offered to the Lord?
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Posted by admin on February 15, 2020
Posted in Podcast