Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Keledai

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on March 27, 2021
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu Palma Mengenangkan Sengsara Tuhan [B]
28 Maret 2021
Markus 11: 1-10; Markus 14 – 15

Minggu Palma menandai awal Pekan Suci, minggu paling sakral dalam tahun liturgi kita. Perayaan tahun ini mungkin berbeda dari tahun-tahun lainnya karena pandemi, namun hal tersebut tidak menghentikan kita untuk menjalankan perayaan yang khusyuk dan bermakna. Salah satu pertanyaan yang biasa diajukan tentang perayaan Minggu Palma, “Mengapa Yesus menunggangi keledai?” Dengan bercanda, saya menjawab, “Ya, mungkin taksi online belum ada pada saat itu!”
Jawaban standar untuk pertanyaan ini adalah bahwa Yesus ingin menunjukkan diri-Nya sebagai raja yang lemah lembut dan rendah hati, dan bukan seorang jenderal yang haus kekuasaan dan suka berperang yang disimbolkan dengan kuda dewasa. Jawaban ini benar, tetapi tidak memberi kita gambaran yang lengkap. Jika kita mencoba untuk masuk lebih dalam ke Injil Markus saja, kita akan menemukan banyak penggenapan Perjanjian Lama.
Pemilihan keledai ini dilakukan oleh Yesus karena Dia memenuhi nubuat Zakharia. Intinya, nabi Zakharia menubuatkan bahwa suatu hari nanti seorang raja yang lembut namun jaya akan memasuki Yerusalem, menunggangi seekor keledai muda [lihat Zak 9:9]. Tapi, ini bukan satu-satunya nubuat yang dipenuhi Yesus.
Jika kita kembali ke Perjanjian Lama, kita akan menemukan seorang raja Israel yang benar-benar menaiki keledai. Dia adalah Salomon, putra Daud, ketika dia dinobatkan sebagai raja dan naik takhta [1 Raja 1:33]. Dengan mengendarai seekor keledai muda, Yesus menandakan bahwa Dia adalah Salomon baru yang naik ke tahta baru-Nya, salib.
Markus juga memberi kita informasi bahwa orang-orang juga menyebarkan pakaian mereka di hadapan Yesus. Kembali ke Perjanjian Lama, kita juga menemukan seorang raja Yehuda yang menerima perlakuan yang sama seperti ini juga dari rakyatnya. Namanya adalah Yehu [2 Raja 9:12]. Selain itu, Markus menulis bahwa orang-orang menyambut Yesus dengan ranting-ranting yang hijau. Sekali lagi, jika kita kembali ke perjanjian lama, ranting hijau digunakan untuk menerima Yudas Makabe, yang berhasil merebut kembali Yerusalem dari tangan musuh [2 Mak 10:7]. Yesus memang raja yang lembut, tetapi Dia juga pemenang yang jaya atas musuh-musuh-Nya. Satu hal lagi adalah bahwa Markus menambahkan ungkapan ‘… Bapa kita Daud…” Daud sejatinya bukanlah salah satu dari bapa bangsa Israel [yaitu Abraham, Ishak, dan Yakub]. Namun, orang Israel mengakui raja Daud sebagai bapak bangsa mereka, seorang raja yang melindungi dan memimpin rakyatnya.
Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan yang menakjubkan pada Minggu Palma ini. Yesus menunggangi keledai muda untuk menunjukkan bahwa Dia adalah Raja Mesias dalam garis keturunan Daud, seperti Salomon dan Yehu, serta raja yang jaya yang akan menaklukkan musuh-musuh-Nya. Namun, ada sesuatu yang bahkan luar biasa. Markus memberi kita detail unik: keledai ini belum pernah ditunggangi. Artinya keledai ini masih liar dan belum terlatih. Pilihan Yesus untuk menunggangi binatang yang masih liar ini menunjukkan kekuasaann dan otoritas-Nya atas binatang-binatang buas dan alam. Dia bukan hanya raja Israel, raja umat manusia, tetapi Dia adalah raja dari segala alam. Sungguh, seekor keledai adalah tumpangan yang sempurna bagi raja alam semesta.
Namun, kita tidak boleh terlalu cepat gembira. Ada lebih banyak rahasia yang harus dibuka dan lebih banyak nubuatan yang harus digenapi saat kita memasuki drama Pekan Suci.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Dikurbankan

Posted by admin on March 26, 2021
Posted in renungan 

Sabtu Prapaska V, Yohanes 11: 45-56 27 Maret 2021

Ada kata-kata Kayafas, Imam Agung yang sangat terkenal dalam kisah Injil, “Kamu tidak tahu apa-apa! kamu tidak insaf, bahwa lebih berguna bagimu, jika satu orang mati untuk bangsa kita daripada seluruh bangsa kita ini binasa!”

Sebenarnya saat Kayafas mengatakannya, dia bermaksud mau mengatakan kalau “lebih baik Yesus dibunuh dan dikurbankan, dari pada semua orang Israel nanti dibinasakan oleh orang Roma!” Tindakan Yesus membangkitkan Lazarus membuat semakin banyak orang percaya padaNya bahwa dia adalah Mesias. Sayangnya, pengharapan mereka itu keliru dan berbeda dengan penggambaran mesias yang dimaksudkan Yesus.

Orang-orang Yahudi sangat berharap bahwa Yesus akan menjadi seorang mesias, pemimpin dan pahlawan yang mengusir orang Roma dari Yerusalem. Bahkan setelah Yesus membuat mukjijat penggandaan roti, orang banyak akan mengangkat Yesus sebagai Raja. Tapi Yesus meninggalkan mereka dan pergi seorang diri. Dia tidak mau! Mesias yang dibawa Yesus bukan mesias yang penuh kejayaan duniawi dengan mengalahkan musuh dan membawa kebebasan politik dan sosial.

Oleh karenanya, Imam Agung berfikir bahwa sebelum rakyat banyak terlalu eforia mengangkat Yesus sebagai raja dan memberontak pada Roma, lebih baik Yesus ditangkap dan gerakaannya diberangus! Dengan begitu orang Roma tidak akan membinasakan semua orang.

Mungkin kita juga pernah bersikap seperti Kayafas, mengurbankan orang lain demi mendapatkan sesuatu yang lebih menguntungkan. Kita mengurbankan janjian atau komitmen kita, mengurbankan ikatan persaudaran atau melepaskan relasi yang sudah ada demi mendapatkan sesuatu yang lebih membahagiakan.

DITOLAK

Posted by admin on March 25, 2021
Posted in renungan 

Jumat, Prapaskah V, Yohanes 10: 31-42, 26 Maret 2021

Dalam bab 10 ini, Orang Yahudi terutama imam kepala dan ahli Taurat makin tidak senang dengan Yesus karena menganggap Yesus sesat. Ia menyamakan dirinya dengan Allah dan menghujat ALlah. Itu tuduhan mereka. Lalu orang-orang ini akan melempari Yesus dengan batu. Apa yang Yesus ajarkan dan jelaskan tidak bisa mereka terima. Bahkan tindakan Yesus yang menyembuhkan orang banyak juga dianggap bukan sebagai tanda dari Allah. Pertentangan Yesus dengan orang Yahudi memang berpusat pada soal asal-usul Yesus dan perdebatan Yesus sebagai seorang mesias. Sebagian orang Yahudi dari kelompok orang biasa, menerima Dia. Namun para pemimpin agama, tua-tua dan orang Farisi menolak Yesus terang-terangan.

Anda pernah ditolak orang lain? Pasti pernah mengalami peristiwa tidak enak ini. Kita juga kadang menolak orang lain. Alasan penolakan pada seseorang bisa macam-macam. Bisa karena kita tidak cocok dengan pribadi orang tersebut. Kita merasa sudah dilukai dan marah. Kita merasa orang lain mengkianati kita, atau membohongi dan memanfaatkan kebaikan kita.

Penolakan itu bisa memunculkan rasa sakit hati, tidak diterima, tidak dihargai dan disingkirkan dari lingkaran pergaulan. Sampai-sampai karena benci dengan orangnya, kita juga menolak walau orang itu melakukan hal yang baik. Bahkan kita tahu hal tersebut baik. Tapi kita tetap menolaknya.

Itu pula yang dikatakan Yesus pada orang-orang yang menolakknya. “Jika kamu tidak percaya padaku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu supaya kamu tahu bahwa Bapa di dalam aku dan aku didalam Bapa!” Namun orang-orang itu tetap tidak mau percaya pada pekerjaan Yesus yang menyembuhkan, membuat mukjijat, memberi makan 5000 orang dan membangkitkan Lazarus.

Kita bisa bertanya pada diri sendiri, apakah saat kita menolak orang lain, kita menolak seluruh dirinya? ataukah kita menolak salah satu aspek hidupnya saja yang kita tidak suka? Yesus menasehati kita, kalau tidak menolak orangnya, sebaiknya kita masih bisa menerima perbuatan-perbuatannya yang baik. Siapa tahu itu menjadi jalan Tuhan untuk membuka hati kita agar menerimanya.

Hari Raya Kabar Sukacita

Posted by admin on March 24, 2021
Posted in renungan 

Kamis, 25 Maret 2021, Lukas 1: 26-38

Kata-kata Maria, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu!’ adalah perkataan yang sangat dikenal oleh semua orang Katolik. Kata-kata Maria itu menjadi kunci jawaban bagaimana manusia merelakan dirinya untuk dipakai ALlah menjadi sarana dan alat keselamatan di dunia ini. Itulah sebabnya kabar Sukacita menjadi perayaan besar karena Allah menghormati kebebasan Maria untuk rela dan sadar mengambil sikap mau bekerja sama dengan Allah.

Mungkin Maria saat itu tidak tahu apa konsekuensinya atas pernyataan dirinya! Dia pasti tidak pernah membayangkan bahwa mengasuh Yesus dan mengikutiNya akan membawa pada derita dan salib. Kalau dia tahu semua sebelum terjadi, secara manusiawi, Maria mungkin akan keberatan! Namun dalam ketidaktahuan itu, Maria menyerahkan semua kesanggupan dan masa depannya dalam tangan Allah. Dia membiarkan Tuhan sendiri yang menuntun dan mengatur hidupnya.

Menerima tawaran tugas yang jelas dan memberi keuntungan serta kegembiraan, tentu akan disanggupi oleh sebagian dari kita. Kita inginnya bahwa tugas yang kita terima itu jelas, ada hasil positif bagi diri sendiri, menguntungkan, serta kalau bisa tidak memberatkan hidup serta menyengsarakan. Tugas yang mendatangkan gengsi, prestise, serta menaikkan pamor atau menjadi terkenal juga diminati banyak orang. Tapi tugas yang rutin, menjemukan serta biasa saja, kadang dihindari oleh kita juga.

Kita perlu belajar dari semangat hidup bunda Maria yang membuka hati menerima perutusan apapun dari ALlah. Dia mau bekerja sama dengan Tuhan dan membiarkan Tuhan yang bekerja. Manusia diminta hanyalah suka rela memberikan dirinya. Mari kita berdoa agar setiap dari kita bisa berkata, “AKu ini hambaMu yan Tuhan, pakailah kebebasan, pikiran dan kehendakku untuk menjadi alatMu di dunia!”

Sadrakh, Mesakh, dan Abednego

Posted by admin on March 23, 2021
Posted in renungan 

Rabu, 24 Maret 2021

Daniel 3: 14-20, 24-25, 28.

Kisah pembakaran 3 orang pemuda dalam tanur api, Sadrakh-Mesakh, Abednego, adalah kisah terkenal dalam kitab Daniel. Ketiga orang itu dibakar hidup-hidup oleh Raja Nebukadnezar karena mereka tidak mau menyembah dewa asing. Bahkan ketika dibakar, sang raja heran karena ketiganya tidak merasa takut dan menyerah. Sang raja berkata, “bukanlah ada tiga orang yang dibakar? tetapi ada empat orang kulihat berjalan-jalan dengan bebas ditengah-tengah api itu. Mereka tidak terluka dan keempatnya itu rupanya seperti ana dewa!” Lalu sang Raja berseru, “Terpujilah Allah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego!”

kisah penganiayaan atas iman ternyata sudah terjadi sejak lama bahwa sudah ada sebelum Yesus terlahir di dunia. Kisah dalam Daniel ini menjadi cerita tentang keberanian orang untuk mempertahankan imannya ditengah kesulitan hidup. Tentu saja yang ditampilkan di sini kesulitannya adalah soal tidak mau menyembah dewa asing. Orang Yahudi hanya menyembah Yahwe saja, tak ada yang lain. “Berbaktilah kepadaKu saja, dan jangan membuat Allah lain!” itulah perintah Allah yang pertama pada Musa dan orang Israel saat mereka di gunung Sinai.

Sekarang ini kesulitan dan tantangan hidup beriman bisa bermacam-macam. Orang mengalami kesulitan karena menderita Covid-19, kesulitan ekonomi, persoalan relasi dalam keluarga, dan ada masih banyak soal lain yang bisa kita sebut panjang lebar. Dalam hidup Iman, Allah tidak akan menghilangkan persoalan itu, tapi Dia hadir dan menemani kita dalam menghadapinya. Allah tidak membuat api padam dan tetap membakar 3 saudara itu, tapi Dia menemani ketiganya menghadapai penderitaan dalam ketakutan dan iman. semoga setiap dari kita juga bisa setia karena Allah kita adalah Allah yang setia sejak dulu sampai sekarang dan sampai yang akan datang.

Translate »