caravaggio-conversion-of-saint-paul-1600

Bacaan I      : Kis 22:3-19 atau Kis 9:1-22

Bacaan Injil : Markus 16: 15-18

Dalam website Majalah Hidup Katolik muncul satu pertanyaan cukup menarik: Tentang pertobatan Paulus, mengapa diceritakan dua kali dalam Kisah Para Rasul? Mengapa ada perbedaan rincian yang kontradiktif, yaitu tentang teman-teman Paulus (Kis 9:7 dan Kis 22:9). Mana yang benar? (http://www.hidupkatolik.com/2013/03/01/kisah-pertobatan-paulus)

Jawaban atas pertanyaan di atas pada dasarnya mengajak kita melihat, kebenaran “rincian” kisah (yang bukan hanya dua kali diceritakan tetapi tiga kali, plus Kis 26:12-18) bukan hal yang terpenting, karena kisah itu tidak ditulis sebagai laporan sejarah dalam pemahaman modern, tetapi sebagai pengantar pokok iman berangkat dari pengalaman Paulus: bahwa Yesus Kristus sungguh bangkit bahkan ia mengalami kehadiranNya secara langsung, bahwa keselamatan adalah rahmat yang diberikan cuma-cuma (Paulus bahkan dalam situasi berdosa berat saat menerima rahmat karena ia menganiaya pengikut Yesus), dan bahwa Yesus hadir dalam kesatuan dengan GerejaNya (lewat pertanyaan Yesus “mengapa engkau menganiaya Aku”) yang kemudian Paulus  refleksi sebagai Tubuh Kristus (Rom 12:5, 1 Kor 12:12,27, Ef 3:6, 4:12, Kol 1:24). Dalam banyak perbincangan iman pada umumnya, seperti juga dalam menjawab pertanyaan di atas, tak jarang kita perlu masuk ke kedalaman, tidak berhenti pada apa yang tertulis. Yang tersirat bisa jauh lebih luas dari yang tersurat. Dan itu bisa jadi salah satu panggilan pertobatan kita.

Seperti Paulus, sebagian dari kita cukup serius mendalami keagamaan kita dengan cara berusaha menambah pengetahuan kita atas hal-hal yang terkait dengan iman kepercayaan kita. Kita beri acungan jempol “Like” banyak-banyak untuk semangat ini. Sebagian dari kita yang mendapat pengetahuan lebih, ingin berbagi pengetahuan itu dan menggarami dunia mulai dari saudara-saudari seiman, dengan melihat dan menimbang pemikiran dan praktek keagamaan di sekitarnya sebagai bahan perbincangan. Kita beri acungan jempol “Like” lagi.  Sebagian dari kita, berbekal pengetahuan yang didapatnya dari belajar aneka sumber ini itu, mulai membagi dunia menjadi kelompok murid yang “murni”, kelompok murid yang “tidak cukup pengetahuan”, dan kelompok murid yang “sesat”. Tak jarang terhadap kelompok ketiga dilancarkan upaya untuk mengajak mereka “bertobat” kalau perlu dengan kata-kata dan tindakan yang keras. Maka muncullah “Saulus-Saulus” baru yang penuh semangat, seperti sebagian anggota inkuisisi Gereja yang dalam sejarah bertugas melawan dan menyingkirkan bidaah. Mereka menjadi penjaga “kebenaran” yang tangguh. Persoalannya, pencarian kebenaran justru tak jarang dihancurkan dalam kebekuan pemahaman akan doktrin. Maka tanpa disadari Gereja, kita, dapat mengulang peristiwa penyaliban Yesus, penganiayaan pengikut Sang Jalan, saat kita menghakimi dan menghukumi para pencari kebenaran yang merentang tafsir dan praktek iman yang melampaui pemahaman yang lazim. Untuk yang satu ini, tak bisa lah kita beri “Like”.

Jadi, apakah kemudian kita harus berhenti memperbincangkan soal liturgi yang benar, tentang praktek sakramen yang sesuai aturan Gereja, tentang pokok-pokok pemahaman teologi Gereja, karena bisa membuat kita jatuh pada kesalahan seperti Saulus? Mari kita resapi nasehat Injil, dari Yesus sendiri, saat Dia mengecam para ahli Taurat dan orang Farisi: “Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Mat 23:23). Melaksanakan tata aturan agama seperti persepuluhan (dalam konteks Yahudi) penting, tetapi ada yang lebih penting dan tidak boleh ditinggalkan: keadilan, belas kasih dan kesetiaan. Dalam bahasa Paus Fransiskus, kalau tidak hati-hati, Gereja bisa jatuh dalam bahaya “naval-gazing”, “self-referential”, sibuk dengan hal-hal dalam dirinya dan lupa untuk menjadi garam dan terang dunia memperjuangkan keadilan ekonomi dan sosial, menggarap persoalan kemiskinan, dan menebar kasih pada mereka yang terpinggirkan. Di satu sisi perbincangan “kebenaran iman” penting dan perlu dilakukan dengan keterbukaan hati, kesediaan masuk ke kedalaman dan mendengarkan pengajaran Roh Kudus, di sisi lain praksis cinta kasih tidak boleh diabaikan. Semoga semangat kasih dan keterbukaan terhadap gerak Roh Kudus yang mengajar kita, tetap menjadi dasar kita mengembangkan dan memperdalam iman. Di seputar altar, juga di “pasar”.