Minggu ke-26 dalam Masa Biasa

29 September 2024

Markus 9:38-48

Beberapa orang tidak suka berbicara tentang dosa. Beberapa orang berpikir bahwa dosa tidak lagi relevan di dunia modern. Konsep ini merupakan pembatasan terhadap kebebasan dan kreativitas manusia. Sebagian orang lainnya melihatnya sebagai karangan Gereja untuk mengendalikan umatnya, terutama melalui rasa takut. Mereka yang berdosa akan dihukum di neraka! Yang lain menganggap bahwa berbicara tentang dosa tidak sesuai dengan Allah, yang adalah kasih. Bagi beberapa imam dan pengkhotbah, topik ini bahkan menjadi tabu untuk diwartakan. Namun, ini semua adalah kesalahpahaman. Pemahaman yang benar tentang dosa akan membawa kita pada penghargaan lebih penuh akan kasih Allah. Lalu bagaimana kita harus memahami konsep dosa?

Pertama, pemahaman dasar tentang dosa adalah pelanggaran terhadap hukum Allah, dan Allah membuat hukum-Nya bukan untuk membatasi kebebasan kita, tetapi justru sebaliknya. Hukum-hukum itu dibuat untuk melindungi kita dari bahaya, ancaman, dan bencana. Ini adalah tanda kasih Allah. Setiap pelanggaran terhadap hukum Allah membawa konsekuensi yang menghancurkan. Itu menghancurkan diri kita sendiri, orang lain, dan dunia. Aborsi membunuh bayi-bayi tak berdosa, menghancurkan panggilan kudus menjadi seorang ibu, dan memperlakukan tubuh perempuan yang suci sebagai alat belaka. Pornografi dan masturbasi tampaknya tidak terlalu menjadi masalah karena merupakan sesuatu yang ‘pribadi’. Tapi masturbasi menyebabkan masalah kesehatan mental karena kita semakin membutuhkan lebih banyak hormon dopamin (hormon kesenangan) untuk memuaskan kita. Kita tidak lagi bisa puas dengan hal-hal yang biasanya memuaskan kita, dan kita menjadi ketagihan. Sekali lagi, hal ini menyebabkan kita melihat tubuh kita dan orang lain hanya sebagai alat untuk memberikan kesenangan. Dengan mengikuti hukum-hukum Tuhan, kita tidak hanya menghindari bahaya dalam hidup kita tetapi juga berjalan di jalan kebahagiaan sejati.

Kedua, dosa adalah kontradiksi dari kasih Allah. Allah itu kasih, dan Dia mengasihi kita melebihi apa yang dapat kita bayangkan. Sebagai sang Kekasih Ilahi, Dia menghendaki hal-hal yang terbaik terjadi pada kita, dan Dia menghendaki kita untuk bersatu dengan-Nya sebagai satu-satunya yang dapat memuaskan hasrat kita yang tak terbatas. Namun, cinta sejati tidak memaksa dan memberikan kebebasan untuk memilih dan mengasihi Dia. Robot dapat mematuhi semua perintah kita, tetapi tidak ada kasih karena robot tidak memiliki kebebasan. Seekor anjing Labrador dapat mematuhi kita dan memberikan pelukan penuh emosi, tetapi ini bukanlah cinta sejati, melainkan insting seekor anjing untuk melekat pada pemiliknya untuk bertahan hidup. Kita memiliki kebebasan sejati. Sayangnya, kita menyalahgunakan kebebasan kita untuk memilih sesuatu yang lebih rendah dari Allah dan, dengan demikian, melanggar hukum-Nya. Oleh karena itu, dosa adalah pilihan radikal untuk berpaling dari Tuhan. Neraka bukanlah hukuman Allah, melainkan keputusan kita untuk terpisah dari Allah, kebahagiaan sejati kita.

Oleh karena itu, ketika membaca Injil, kita segera menyadari bahwa jika ada satu hal yang paling dibenci oleh Yesus, itu adalah dosa. Dia tahu betul apa itu dosa dan apa akibatnya bagi kita manusia. Adam dan Hawa berdosa, dan mereka membawa seluruh umat manusia ke dalam spiral kegilaan dan keputusasaan. Yesus datang ke dunia ini untuk menawarkan pengampunan dosa dan menunjukkan kasih Allah di kayu salib sehingga kita dapat tergerak untuk bertobat. Yesus mengasihi dan dekat dengan orang-orang berdosa karena Dia menghendaki mereka untuk menerima pengampunan Allah.

Oleh karena itu, mewartakan tentang dosa dan pertobatan serta berdoa bagi orang-orang berdosa adalah turut ambil bagian dalam misi Yesus dan kasih Allah. Namun, jika kita menghindar dari memberitakan pertobatan dan bahkan mempromosikan konsep yang salah tentang dosa, kita mungkin pantas untuk dilempar ke laut dengan batu kilangan.”

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan untuk refleksi:

Bagaimana kita memahami konsep dosa? Apakah kita berbicara tentang dosa dan pertobatan, atau apakah kita berusaha menghindarinya? Apakah kita terus mengevaluasi dan mengoreksi diri kita sendiri? Apakah kita sering mengunjungi sakramen pengakuan dosa? Apakah kita mengundang orang lain untuk merefleksikan kasih dan pertobatan Allah?