Minggu ke-4 Masa Adven [C]
22 Desember 2024
Lukas 1:39-45
Maria dan Elisabet adalah dua wanita yang paling kuat di dalam Alkitab. Namun, kekuatan mereka tidak berasal dari kekuatan fisik. Maria adalah seorang wanita muda dan lembut, sementara Elisabet sudah lanjut usia. Kekuatan mereka yang luar biasa terletak pada komitmen mereka yang teguh untuk mengikuti kehendak Allah. Mereka dipanggil untuk menjadi ibu. Namun, bagaimana mereka melihat panggilan mereka sebagai ibu? Dan apa hidup mereka masih relevan bagi kita sekarang?
Menjadi seorang ibu sering kali dipandang sebagai perkembangan alamiah dalam kehidupan seorang wanita. Setelah menikah, umumnya seorang wanita akan mengandung dan melahirkan anak. Tubuh wanita mengalami transformasi yang luar biasa untuk menciptakan lingkungan yang sehat bagi bayi yang sedang tumbuh. Perubahan fisiologis ini tidak hanya banyak tetapi juga bertahap, beradaptasi dengan kebutuhan bayi selama kehamilan. Aktivitas jantung, paru-paru, ginjal, dan organ-organ lainnya meningkat secara signifikan untuk mendukung ibu dan anak. Selain itu, tubuh memproduksi hormon-hormon baru yang memengaruhi berbagai organ, metabolisme, dan kondisi psikologis. Bahkan setelah melahirkan, tubuh ibu tidak langsung kembali ke kondisi sebelum hamil, melainkan terus bertransformasi untuk mendukung bayi yang baru lahir. Sebagai contoh, tubuh memproduksi ASI, yang volume dan nutrisinya, terus berubah menyesuaikan kebutuhan bayi.
Terlepas dari keajaiban proses ini, karena proses kehamilan terjadi di mana-mana dan di setiap waktu, tidak sedikit orang yang memandangnya hanya sebagai fungsi biologis yang diperlukan untuk kelangsungan hidup kita sebagai spesies. Beberapa orang melihat tubuh wanita hanya sebagai alat reproduksi belaka atau melihat rahim tidak lebih dari sebuah wadah sementara untuk bayi. Perspektif yang salah terhadap tubuh dan hubungan ibu-anak ini telah mendorong beberapa orang untuk mengambil keputusan ekstrem, termasuk aborsi. Alasan untuk keputusan tersebut beragam – ketakutan akan populasi yang berlebihan, kekhawatiran akan peningkatan emisi karbon, tantangan ekonomi, atau hanya sekedar ketidaknyamanan yang dirasakan karena memiliki anak.
Di sinilah Maria dan Elisabet menjadi sangat relevan bagi kita. Mereka memahami risiko yang ada dalam situasi unik mereka. Maria, meskipun telah bertunangan dengan Yusuf, hamil tanpa keterlibatan seorang pria pun. Ia berisiko dituduh berzinah, sebuah kejahatan yang dapat dihukum rajam menurut hukum Taurat (Ulangan 22:22-24). Di sisi lain, Elisabet menghadapi bahaya fisik akibat kehamilan di usia tua, yang dapat membahayakan nyawanya. Terlepas dari risiko-risiko tersebut, kedua perempuan ini tetap menjalankan peran mereka sebagai ibu. Mengapa? Karena kedua wanita ini menyadari bahwa kehamilan mereka bukan hanya proses biologis, namun percaya bahwa menjadi ibu adalah kehendak Tuhan bagi mereka – sebuah panggilan suci. Mereka percaya bahwa Tuhan yang memanggil mereka ke dalam misi kudus ini juga akan menopang dan memenuhi kebutuhan mereka.
Kekudusan adalah kunci kebahagiaan sejati. Inilah sebabnya mengapa pertemuan antara Maria dan Elisabet ditandai dengan sukacita dan bukannya ketakutan atau kecemasan. Di dunia saat ini, di mana memiliki anak sering kali dipandang sebagai beban dan bukan sebagai berkat, tindakan iman, atau sumber sukacita, Maria dan Elisabet menjadi tanda pengharapan. Keberanian dan iman mereka mengilhami kita untuk melihat menjadi seorang ibu sebagai panggilan ilahi dan sumber kebahagiaan yang mendalam.
Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Pertanyaan-pertanyaan untuk Refleksi:
- Bagaimana kita memandang kehamilan? Apakah kehamilan hanyalah sebuah proses biologis, peristiwa sosial-budaya, beban ekonomi, atau panggilan ilahi untuk menjadi kudus?
- Untuk para ibu: Bagaimana Anda memandang anak-anak Anda? Bagaimana Anda mengasuh mereka dan membimbing mereka dalam perjalanan hidup mereka?
- Untuk laki-laki: Peran apa yang Anda mainkan dalam mendukung ibu hamil atau ibu yang merawat bayi mereka?
Selamat Hari Ibu!