Rm Max Agung Wahyudianto O.Carm
(Refleksi berdasarkan Markus 8:34—9:1,– 21 Februari)
Setiap tanggal 21 Februari, dunia merayakan Hari Bahasa Ibu Internasional, sebuah momen untuk menghormati bahasa sebagai bagian dari identitas dan warisan budaya. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga cara memahami dan mengalami dunia. Namun, di era globalisasi, banyak bahasa perlahan menghilang karena tergantikan oleh bahasa yang lebih dominan. Dalam usaha untuk menyesuaikan diri dengan dunia yang lebih luas, banyak komunitas akhirnya kehilangan sesuatu yang fundamental—cara mereka menamai realitas, cara mereka menghubungkan diri dengan yang lebih dalam.
Dalam Injil hari ini, Yesus berbicara tentang kehilangan dan penemuan dengan cara yang paradoksal: “Barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.” Kata-kata ini bukan hanya tentang pengorbanan, tetapi tentang melihat kembali apa arti hidup itu sendiri. Seperti bahasa yang hanya hidup jika digunakan dan diwariskan, hidup pun hanya memiliki makna ketika kita tidak hanya berusaha mempertahankannya, tetapi juga membiarkannya mengalir dan memberi diri.
Sering kali, kita mencoba mengamankan diri kita dengan menggenggam sesuatu terlalu erat—status, keyakinan, identitas, bahkan cara kita melihat dunia. Namun, semakin erat kita menggenggam sesuatu, semakin kita kehilangan kebebasan untuk benar-benar mengalaminya. Sama seperti bahasa yang kehilangan makna jika hanya disimpan dan tidak digunakan, hidup pun kehilangan kedalamannya jika kita hanya berusaha mengendalikannya tanpa benar-benar menjalaninya.
Yesus mengundang kita untuk melihat bahwa kehilangan bukanlah akhir, tetapi jalan menuju sesuatu yang lebih luas. Ketika kita melepaskan ketakutan akan kehilangan, kita mulai mengalami sesuatu yang lebih mendalam—sebuah kebebasan yang tidak bergantung pada kepemilikan, pengakuan, atau rasa aman, tetapi pada keterbukaan untuk menerima setiap momen sebagaimana adanya. Seperti bahasa yang terus hidup dalam pertukaran dan ekspresi, hidup sejati ditemukan dalam keberanian untuk membiarkan kasih dan kebenaran mengalir melalui kita.
Hari ini, kita diajak untuk bertanya: Apa yang masih kita genggam erat karena takut kehilangan? Apakah kita benar-benar hidup, atau hanya berusaha mempertahankan sesuatu yang akhirnya menghalangi kita untuk mengalami hidup secara utuh? Seperti bahasa yang berkembang ketika digunakan, hidup pun menemukan maknanya ketika kita berhenti melihatnya sebagai sesuatu yang harus dikendalikan, dan mulai menjalaninya dengan penuh kesadaran.
Dalam melepaskan, kita tidak kehilangan. Sebaliknya, kita menemukan bahwa apa yang kita cari selama ini sebenarnya selalu ada—hanya menunggu untuk dikenali.