Rm. Agung Wahyudianto O.Carm
(Refleksi berdasarkan Yohanes 3:16–21 dan Peringatan Santo Paus Pius V)
Hari ini Gereja memperingati Santo Paus Pius V, seorang paus dari abad ke-16 yang dikenang karena hidupnya yang saleh, sederhana, dan penuh dedikasi. Ia tidak hanya memimpin Gereja dalam masa krisis dan reformasi, tetapi juga menjalankan kepemimpinannya dengan hati seorang pelayan—berani, jujur, dan terbuka terhadap terang kebenaran. Walau menduduki posisi tertinggi di Gereja, ia tetap hidup seperti seorang biarawan sederhana. Ia dikenal bukan karena kekuatan duniawi, tetapi karena kesetiaan pada apa yang benar.
Injil hari ini membawa kita pada inti dari segalanya: kasih Allah yang tidak menunggu dunia menjadi layak, tetapi datang terlebih dahulu, memberi tanpa syarat. Dalam kasih itu, tidak ada pemaksaan—hanya undangan untuk menerima terang dan tinggal di dalamnya. Paskah merayakan kasih seperti ini, kasih yang menyelamatkan bukan dengan kekuasaan, melainkan dengan kerelaan untuk memberi diri sepenuhnya.
Nilai ini mengingatkan kita pada salah satu prinsip mendalam dari budaya Andes yang hidup hingga kini di Peru: “ayni”—sebuah filosofi hidup yang memandang segala sesuatu sebagai saling memberi dan menerima. Ayni adalah keseimbangan kasih yang terus mengalir. Ketika seseorang menerima kebaikan, ia akan membalasnya bukan karena kewajiban, tetapi karena itu adalah bagian dari harmoni hidup. Begitu juga, ketika kita menerima kasih Allah, kita tidak tinggal diam. Kasih itu menumbuhkan dalam diri kita dorongan untuk memberi kembali—bukan sebagai beban, tetapi sebagai bagian dari irama kehidupan.
Santo Pius V adalah gambaran dari hidup dalam “ayni” rohani. Ia menerima panggilannya sebagai pemimpin Gereja bukan untuk dimuliakan, tetapi untuk melayani. Ia mengembalikan apa yang telah ia terima melalui hidup yang setia, doa yang mendalam, dan keberanian dalam reformasi. Ia tidak menyimpan kasih itu untuk dirinya, tetapi membiarkannya mengalir—menghidupi terang yang ia terima dengan seluruh keberadaannya.
Yesus berkata bahwa siapa pun yang hidup dalam terang akan tampak bahwa segala perbuatannya dilakukan dalam Allah. Artinya, terang itu bukan hanya sesuatu yang kita lihat, tetapi sesuatu yang mengalir melalui kita—menyentuh dunia, menyucikan relasi, dan menyembuhkan luka. Itulah kasih yang menyelamatkan: kasih yang hidup, yang terus bergerak, dan yang mengembalikan harmoni.
Dalam masa Paskah ini, kita diundang untuk merenungkan:
Apa yang telah kita terima dari kasih Allah? Dan bagaimana kita akan membiarkannya mengalir kembali ke dunia?
Kita tak perlu melakukan hal besar. Seperti Pius V yang hidup dalam keheningan dan pelayanan setia, kita pun dipanggil untuk hidup dalam terang—dengan membalas kasih bukan melalui balasan setimpal, tetapi dengan kehadiran yang penuh, dengan kesetiaan dalam hal-hal kecil, dan dengan keberanian untuk tetap percaya ketika dunia lebih memilih kegelapan.
Kasih yang datang dari Allah tidak pernah tinggal diam. Ia bekerja di dalam kita, agar kita pun hidup dalam ayni kasih itu: saling memberi, saling menghidupi, saling menyucikan.