Rm Ignasius Joko Purnomo

                Yohanes 20:11-18

  1. Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,

Paskah adalah perayaan sukacita dan kemenangan atas maut. Namun Injil hari ini memperlihatkan Maria Magdalena yang dalam kesedihan mendalam berdiri di depan kubur Yesus sambil terus menangis. Hal itu terjadi karena Maria Magdalena memiliki cinta yang besar dan mendalam kepada Yesus, dan cinta itulah yang membawa kerinduan yang dalam, yang terungkap dalam tangisan yang tiada henti. Maria tidak hanya kehilangan seorang guru, ia kehilangan harapan, makna hidup, dan kehadiran yang telah mengubah hidupnya. Suatu yang sangat manusiawi, dan bisa terjadi pada kita semua.

  • Namun di tengah tangis itu, Yesus hadir. Bukan dengan mukjizat besar atau cahaya kemuliaan, tetapi dengan satu kata sederhana: “Maria!”
    Dan dengan sapaan itu, Maria mengenali Dia. Bukan hanya secara fisik, tetapi dengan hati. Ia menjawab, “Rabuni!” – Tuhanku, Guruku. Seruan “Rabuni!” menjadi suatu pengakuan iman. Maria mengenali bahwa Dia yang berdiri di hadapannya bukan sekadar manusia, bukan hanya Guru dari masa lalu, tetapi Tuhan yang hidup, yang telah mengalahkan maut.
  • Apa yang bisa kita renungkan dan teladani dari kisah ini.
  1. Iman yang Personal dan Dewasa

Maria menjawab Yesus dengan panggilan pribadi: “Rabuni!” Ia mengenali Yesus bukan hanya sebagai guru, tapi sebagai Tuhan yang mengenalnya secara pribadi. Iman yang sejati adalah iman yang personal, bukan sekadar ikut-ikutan, bukan sekadar tahu tentang Tuhan, tapi benar-benar mengenal Tuhan dan merasa dikenal oleh-Nya.

  • Kesetiaan dalam Duka Adalah Iman yang Murni

Maria tidak lari dari tempat kesedihan. Ia tetap tinggal, menangis, mencari, dan berharap, walau tidak ada tanda bahwa Yesus akan kembali. Maria tetap tinggal di dekat kubur walau harapannya merasakan kehadiran Yesus tampak sia-sia. Ia tidak menyerah dalam kesedihan. Cintanya kepada Yesus lebih besar daripada rasa takut atau kecewa. Iman sejati adalah iman yang bertahan di tengah kegelapan. Saat segala sesuatu tampak tak pasti, mari kita seperti Maria: tetap setia, tetap mencari Tuhan, meski dengan air mata.

  • Tuhan Tidak Pernah Benar-Benar Jauh

Maria merasa Yesus telah hilang, padahal Yesus sudah berdiri di dekatnya. Ia hanya belum menyadari.

Saat kita merasa Tuhan jauh, sering kali kita hanya belum mengenali-Nya dalam cara baru Ia hadir, mungkin lewat orang lain, lewat penderitaan, lewat tantangan hidup yang mengajar kita untuk bertumbuh.

  • Saudara-saudari terkasih. Semoga seperti Maria Magdalena, kita pun berani tinggal di “taman kesedihan”, sampai pada waktunya, Tuhan memanggil nama kita, dan kita menjawab dengan sukacita: “Rabuni!”