Rm Agung Wahyudianto

Kebanyakan dari kita dibesarkan dalam pemahaman bahwa hidup ini adalah perjalanan antara dua kutub:

atas dan bawah, terang dan gelap, jiwa dan tubuh, dunia dan surga, dosa dan rahmat, aku dan Allah.

Dualitas ini terasa nyata, bahkan masuk ke dalam cara kita berdoa dan memahami keselamatan. Kita membayangkan Allah sebagai “Yang Jauh di Atas Sana,” dan kita sebagai yang “di bawah,” berusaha mendekat, berjuang agar layak diselamatkan. Maka Paskah pun sering dipahami sebagai momen ketika Yesus “turun ke dunia” untuk membawa kita “naik ke surga.” Ceritanya selalu tentang pergerakan dari luar ke dalam, dari atas ke bawah, dari satu sisi ke sisi lain.

Tapi bagaimana jika Paskah justru bukan tentang pergerakan dari satu tempat ke tempat lain,melainkan tentang penghancuran ilusi bahwa ada dua tempat yang berbeda?

Bagaimana jika kebangkitan bukan soal berpindah dari mati ke hidup, tapi menyadari bahwa kehidupan itu tidak pernah berhenti hadir?

Bagaimana jika Paskah adalah peristiwa kesadaran, bukan pelarian dari dunia ini?

Batu Sudah Terguling, Tapi Kita Masih Bersembunyi

Kubur adalah simbol keterpisahan.

Ia memisahkan hidup dan mati, terang dan gelap, dalam dan luar.

Dan selama kita percaya bahwa kita adalah makhluk yang terpisah dari Allah, sesama, dan diri sendiri—kita hidup dalam kubur, meski tubuh kita berjalan di siang hari.

Kebangkitan Kristus menggulingkan batu besar itu.

Ia menghancurkan dinding antara ilahi dan manusia, antara yang kudus dan yang fana, antara surga dan bumi.

Tapi ironisnya, batu itu sudah terguling, namun banyak dari kita masih memilih tinggal di dalam.

Masih meyakini bahwa Allah terlalu jauh, kasih terlalu mahal, dan keutuhan hanya bisa ditemukan di akhirat.

Padahal Paskah justru mengungkapkan: tidak ada yang terpisah.

Yang kita cari di luar, ternyata sudah ada di dalam.

Yang kita doakan agar datang, ternyata tak pernah pergi.

Yang kita pikir akan menyelamatkan kita, ternyata sudah hidup di dalam diri kita sejak awal.

Tubuh Bukan Penjara, Dunia Bukan Musuh

Dalam tradisi rohani yang belum matang, tubuh sering dianggap penghalang rohani.

Kita diajarkan mencurigai dunia, mewaspadai keinginan, menghindari kesenangan.

Tapi Yesus bangkit dengan tubuh, bukan sebagai roh yang lepas dari dunia.

Ia makan, Ia menyentuh, Ia menunjukkan luka—bukan untuk menegaskan penderitaan, tapi untuk menyatakan bahwa semuanya telah disatukan.

Tidak ada lagi pemisahan antara yang rohani dan yang jasmani, antara yang sakral dan yang sehari-hari.

Setiap meja bisa menjadi altar.

Setiap pelukan bisa menjadi sakramen.

Setiap napas bisa menjadi doa.

Paskah Adalah Pengakuan: Aku dan Bapa adalah Satu

Inilah inti dari spiritualitas sejati:

bukan bahwa “aku adalah Allah”,

tetapi bahwa tidak pernah ada jarak antara aku dan Allah.

Tidak ada dua realitas, hanya satu:

yang disebut “Aku Ada” oleh semak yang menyala,

yang disebut “Inilah Tubuh-Ku” oleh roti yang dibagi,

yang disebut “Aku haus” oleh Dia yang tergantung di kayu salib.

Paskah bukanlah akhir dari penderitaan,

tetapi pengungkapan bahwa bahkan penderitaan pun bisa dipeluk dalam kesatuan.

Bahwa luka dan cinta bisa menyatu.

Bahwa terang bisa lahir dari gelap, bukan setelah gelap.

Kebangkitan adalah Kita

Maka pertanyaannya bukan lagi:

Apakah Yesus bangkit?

melainkan:

Apakah aku ikut bangkit bersama-Nya?

Apakah aku masih hidup dalam pemisahan, dalam ketakutan, dalam pertentangan palsu—

atau aku sudah mulai melihat bahwa semua yang kulawan selama ini adalah bagian dari diriku sendiri?

Kebangkitan bukan peristiwa satu kali dalam sejarah,

tapi momen kesadaran yang bisa terjadi kapan saja:

saat kita berhenti mengutuki gelap dan mulai merangkulnya,

saat kita berhenti mencari Tuhan dan mulai menyadari:

Tuhan tidak pernah jauh.

Karena yang bangkit itu bukan hanya Yesus—

yang bangkit adalah Aku yang sejati.