Lukas 9:57–62 | Peringatan St. Theresia dari Lisieux – 1 Oktober
Rm Agung Wahyudianto O.Carm
Injil hari ini membongkar semangat ikut Tuhan yang terlalu romantis. Orang-orang datang kepada Yesus dengan niat yang tampaknya mulia—ingin mengikuti-Nya, bahkan rela meninggalkan segalanya. Tapi Yesus tidak menjawab dengan kata-kata manis. Ia justru menunjukkan kerasnya jalan itu: tidak ada tempat untuk bersandar, tidak ada jaminan kenyamanan, tidak ada ruang untuk menoleh ke belakang.
Dan di sinilah St. Theresia dari Lisieux menjadi contoh luar biasa—bukan karena ia mengalami banyak penghiburan rohani, tapi justru karena ia tetap setia ketika tak merasakan apa-apa. Ia mengalami masa-masa gelap dalam batin, di mana doa terasa kering, Tuhan seolah jauh, dan hidup biara penuh keterbatasan. Tapi ia tidak pergi. Ia tidak mengeluh. Ia taat, dalam diam.
Dalam dunia yang menyukai emosi positif, spiritualitas sering dikaitkan dengan rasa damai, sukacita, dan penghiburan. Tapi Injil hari ini dan hidup Theresia mengingatkan kita bahwa mengikuti Tuhan bukan soal merasa baik, tapi soal tetap hadir—meski tidak melihat terang. Kadang, cinta sejati justru lahir bukan dari perasaan, tapi dari keteguhan hati yang tetap mencintai dalam malam iman.
Theresia pernah menulis:
“Aku tidak melihat apa-apa, aku tidak merasakan apa-apa. Tapi aku percaya. Dan aku mencintai.”
Hari ini, mari kita bertanya dalam diam:
Apakah aku tetap setia kepada Tuhan ketika doa terasa kosong?
Apakah aku berani mencintai tanpa perlu merasa kuat atau bahagia?
Karena mungkin, ketaatan tanpa romantisme adalah bentuk iman paling jujur—dan paling menyentuh hati Tuhan.