Bacaan I : 1 Kor 4:6-15
Bacaan Injil : Lukas 6:1-5
Ibu setengah baya itu datang ke ruang tamu pastoran usai misa pagi dengan wajah murung dan nampak berbeban berat. Ia pun mengadu: “Romo, beberapa hari lalu seorang Ibu berkata pada saya, bahwa saya tidak boleh menerima komuni. Saya tanya: mengapa? Dia bilang, dia tahu perkawinan saya bukan perkawinan Katolik, dan itu menjadi halangan bagi saya untuk menerima komuni. Berpuluh tahun sudah berlalu sejak pernikahan itu, dan saya tidak pernah tahu bahwa kalau saya menikah bukan dengan tatacara Gereja, saya tidak boleh menerima komuni. Suami saya Hindu, Romo, dan saat itu kami menikah secara sipil saja, di desa kami. Anak-anak kami dibaptis Katolik dan rajin ke gereja sampai sekarang. Dan Romo tahu saya sendiri juga mendapatkan keteduhan hati dengan sering ikut misa harian pagi. Sejak ditegur Ibu itu, saya tidak pernah maju menerima komuni. Saya tetap datang misa harian juga, tetapi rasanya saya jadi agak hampa. Saya sangat rindu untuk bisa komuni lagi…”
Injil hari ini menampilkan Tuhan Yesus yang membela murid-muridNya yang kedapatan memetik bulir gandum, jenis aktivitas yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan pada hari Sabat itu, menurut beberapa orang Farisi. Sang Guru pun menunjukkan bahwa dalam sejarah Israel, suatu kali Daud dan para pengikutnya juga melanggar peraturan dan hukum agama (Yahudi) dengan memakan roti sajian yang hanya diperuntukkan bagi para imam. Kemudian Ia menandaskan pesanNya: “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat”.
Menarik untuk mendapatkan bahwa perikop setelah persoalan para murid yang memetik gandum pada hari sabat ini, Lukas menempatkan penyembuhan orang pada hari Sabat. Dalam peristiwa ini, lebih jelas lagi kriteria baru yang perlu menjiwai pelaksanaan dan penilaian atas hukum hari Sabat: nilai kebaikan sebuah tindakan melampaui tradisi agama yang dibangun di atas tafsir atas hukum pokok dari Allah. Tradisi dan hukum selalu perlu ditimbang dengan kritis dengn esensi keberadaan hukum tersebut.
Kardinal Walter Kasper baru-baru ini menulis artikel bagus di majalah America. Ia menyorot pentingnya menyadari bahwa Gereja adalah sakramen, tanda kehadiran kasih Allah dalam Kristus di dunia. Gereja juga sekaligus menjadi obyek belas kasih Allah karena dibangun dari para anggota yang berdosa, yang harus senantiasa mempertanyakan pada diri sendiri: sudahkah Gereja menghidupi semangat belas kasih Allah itu? Tanpa mempraktekkan sendiri apa yang diwartakannya, dengan menjadi kaku dan keras, Gereja tak lagi menjadi Gereja Yesus Kristus.
Di sisi lain, ada bahaya salah paham dan salah perwujudan manakala belas kasih didegradasi menjadi “cheap grace” yang menjadi pembenaran atas dosa, bukannya atas si pendosa. Dalam refleksi Dietrich Bonhoeffer: “cheap grace” adalah pewartaan pengampunan tanpa mensyaratkan penyesalan, pembaptisan tanpa disiplin Gereja, absolusi tanpa pengakuan dosa pribadi. Disiplin Gereja yang mengalir dari kuasa yang diberikan Tuhan Yesus pada Petrus dan para murid (Mat 16:19,18:18), menjadi sebuah “obat yang pahit” namun dibutuhkan.
Disinilah kebijaksanaan menjadi sangat penting, untuk menghindari dua kutub ekstrim yang sama-sama keliru: ekstrim tegas keras dan ekstrim laxism apa saja OK. Belas kasih praktis muncul dalam discernment dan kebijaksanaan Gereja, yang memadukan pendekatan hukum dan pastoral.
Dalam kisah Sang Ibu tadi, Gereja mendampingi, mendengar dan memberi jalan keluar. Ia akhirnya bisa difasilitasi untuk meresmikan pernikahannya –meski sudah berpuluhtahun berlalu – lewat salah satu kausul hukum kanonik Gereja: sanatio in radice (penyembuhan pada akarnya) (KHK 1161:1). Senyumnya pun kembali mengembang. Ia dapat menerima santapan rohani komuni suci kembali. Andai seseorang mempertanyakan, kini ia bisa menunjukkan surat perkawinan Gereja. Gereja telah menunjukkan secara nyata, Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat, dan bahwa cinta dan belas kasih adalah hukum yang utama. Karena Allah adalah Kasih.
