Saya teringat satu cerita kecil di dalam kelas waktu masih belajar di Seminari Tinggi Ledalero, Flores. Seorang professor yang kini sudah pensiun mengisahkannya saat itu kepada kami demikian. Ada seorang ibu punya seorang bayi yang masih kecil. Suatu ketika muncul dalam pikiran ibu ini untuk mengenal sejauh mana anaknya nanti kelak. Ketika anak itu menangis dia berusaha menghiburnya. Ia mengambil sebungkus gula-gula atau candy. Banyak permen dalam satu bungkusan itu. Ia lalu memberikan sebungkus itu semuanya kepada anaknya. Anak itu tenang dan nampak gembira sambil menggenggam kuat-kuat bungkusan itu dekat di dadanya. Dengan bahasa isyarat, ibu itu lalu meminta agar anaknya memberinya cukup satu permen dari dalam bungkusan itu.
Dengan kisah kecil ini sang professor berkata: Jika anak itu bisa memberikan kembali satu permen kepada ibunya, itu membuktikan bahwa ia mencintai ibunya. Cinta itu, kata sang professor, tidak terletak pada permen yang diberikan kembali. Cinta anak itu tidak terletak di situ. Sebab, dari dalam dirinya sendiri anak itu tidak bisa memberi karena permen itu, toh berasal dari ibunya. Satu-satunya yang bisa dikembalikan oleh anak itu adalah “cinta,” terang sang professor.
Cinta seperti yang ingin disampaikan oleh sang guru di atas adalah cinta yang tidak kelihatan karena ia ada pada kedalaman yang hanya bisa dilihat dengan hati. Ia bukan permen yang bisa dilihat, melainkan gerakan yang keluar dari dalam hati untuk memberi. Gerakan memberi yang timbul dari dalam hati seperti ini sulit dibahasakan, tetapi sang ibu mampu menangkap isyarat tersebut bahwa anaknya benar-benar mencintai dia.
Dalam Injil hari ini Yesus menambahkan sesuatu yang “asing” dalam mencintai, yakni mencintai musuh! Musuh adalah orang yang kita tidak suka. Musuh adalah orang yang jahat. Musuh adalah orang yang suka menyakiti orang lain. Musuh adalah orang yang sehari-hari kita menjauhkan diri darinya. Musuh adalah orang yang selalu negatif, sasaran empuk dari setiap gosip yang kita lancarkan sehari-hari.
Tetapi Tuhan menantang kita untuk bertanya diri: Mencintai orang-orang yang dekat dan kita kenal, teman-teman? Apa lebihnya? Mencintai orang-orang yang bisa memberi kembali balasan? Apa lebihnya?
Demikian juga kita ditantang kita untuk mengampuni: Apa saya menaruh dendam pada orang lain? Apakah saya cepat menghakimi sesama? Apakah saya mudah mengampuni?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu akan sulit untuk dituntaskan, apalagi kalau kita masih memiliki banyak musuh dalam hati kita. Tapi inilah kesempatan berahmat bagi kita untuk merenung. Kita perlu memeriksa dalam hati kita kerikil-kerikil permusuhan dan dendam yang melukai hati kita sehingga tidak mampu mencintai dengan sempurna seperti Allah. Roh Kudus adalah kekuatan Allah yang mampu menyembuhkan luka-luka kebencian dan dendam dalam
hati. Semoga kasih Tuhan terus bertumbuh dalam hati kita dan memancarkan sinar kebaikan-Nya bagi sesama dan dunia sekitar kita.