hands-in-air

Bacaan I : Kisah Para Rasul 5:27-33
Bacaan Injil : Yohanes 3:31-36

Seorang teman baru –baru ini sharing. Sewaktu remaja dulu, dia nakal sekali. Saat tinggal di asrama, malam-malam dia suka keluar dan membuat pesta dengan teman-temannya. Bahkan saat dia menemukan cintanya pada sebuah komunitas doa kontemplatif dan tinggal di biara bersama orang-orang muda awam lain yang tertarik dengan cara mereka berdoa, dia juga suka melanggar aturan dengan keluar mencari makan sementara di dalam biara sudah disediakan cukup makanan. Kini dia bekerja untuk sebuah Gereja di Sydney. Menariknya, meski dia bekerja di paroki yang punya kecenderungan “rileks” terhadap aturan-aturan Gereja umum, dia justru merasa “menderita”. Mengapa? Karena dia kini menemukan bahwa dirinya begitu mencintai aturan dan tradisi Gereja! Dia menemukan penting baginya sebuah kepastian, kejelasan , ketaatan yang menjaga kesatuan kawanan, yang menjaga kebenaran, yang menjaga ruang suci iman. Dengan heran dia bertanya: Romo, koq bisa ya saya berubah begitu…? Dari pemberontak terhadap aturan yang saya anggap mengekang kebebasan dan kemandirian, menjadi begitu mencintai aturan hingga kini saya justru menderita karena orang-orang lain kurang menghargai tradisi dan aturan Gereja, dan mereka tidak memahami saya yang nampak terlalu saleh jadinya!

Sejak lahir dan hadir di dunia, salah satu pelajaran penting yang terus menerus kita dalami adalah soal ketaatan. Setiap orang belajar mencari , menemukan dan merumuskan nilai-nilai apa yang mereka mau pegang dan perjuangkan dalam hidup. Setiap orang berjalan mengikuti arah tertentu yang ditunjukkan bintang di hatinya, magnet hidup yang menarik seluruh perhatiannya. Persoalan menjadi tak mudah saat perjalanan mengikuti bintang yang berbeda membenturkan satu sama lain. Pertikaian di dunia politik, dagang, sosial, bahkan keluarga dan teman, muncul karena kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda. Bahkan atas nama alasan mendasar yang sama, jika pemahaman yang dibangun diatasnya berbeda, bisa muncul gesekan dan pertarungan. Seperti yang terjadi antara Dewan Imam Yahudi Sanhedrin dengan Petrus dan para rasul.

Kiranya kita bisa mudah mengiyakan, bahwa Dewan Imam mendasarkan larangan mewartakan Injil Tuhan karena mereka menilai hal itu bertentangan dengan perintah Yahwe, sejauh mereka pahami. Bagi mereka, Yesus teruslah menjadi seorang penghujat Allah dengan keberanianNya menyatakan diri sebagai Anak Allah. Di sisi lain, Petrus dan kawan-kawan juga merasa Allah lah yang membuat mereka mewartakan Injil kebangkitan Sang Guru dan ajakan bertobat dan memberi diri dibaptis. Dihadapkan pada pengadilan yang mencoba mencari kompromi, mereka memberi tantangan yang menunjukkan bahwa jalan tengah dalam perkara mereka mustahil adanya: Ketaatan pada Allah jauh lebih utama dari ketaatan pada manusia.

Pernyataan yang sederhana namun kokoh kuat dan mendasar. Pernyataan yang harus dibaca dengan kecerdasan para cendekiawan, namun dengan hati yang tulus dan murni seperti hati seorang kanak-kanak. Dunia terus menunjukkan, intensi yang baik saja tidak cukup. Niat baik memberi hidup untuk Tuhan bisa mencetak ratusan ribu teroris yang siap menghancurkan hidup orang lain, karena mereka tak cukup cerdas dan terbuka untuk belajar mengkritisi jalan yang tawarkan orang pada mereka. Taat buta. Hari Sabat dimuliakan lebih dari Tuhan yang hendak dipuja dalam hari yang diistimewakan itu.

Namun di sisi lain, para pemuja ilmu juga bisa terjebak pada membangun menara gading yang tidak menjawab kebutuhan hidup sehari-hari, yang menolak ungkapan iman sederhana umat yang sungguh menjawab kerinduan umat, sibuk dengan refleksi ide dan kata-kata bahasa dewa. Dan betapa setiap kita punya pengalaman menyakitkan ditolak Gereja karena “tidak sesuai aturan”, meski sebenarnya Gereja universal selalu menekankan pentingnya pelayanan, cinta kasih, pengertina, pengampunan, nilai-nilai yang syukurlah dicuatkan kembali dengan kuat dalam diri Paus Fransiskus.

Setiap kita bisa jatuh pada sikap yang sama dengan Dewan Imam Yahudi: menekankan kepentingan diri atau kelompok, dan lupa mendengar kehendak Allah. Setiap kita diundang mengikuti teladan para Rasul, yang menerapkan semangat Sang Guru: taat pada Bapa melebihi apapun, bahkan saat ancaman kesengsaraan atau kematian disodorkan. Dan ini bukan teori, karena kita tahu tragedi pembunuhan orang-orang Kristen hanya karena mereka Kristen terus terjadi di Siria, Irak, Nigeria, Yaman dll. Kita bisa juga ikut jadi “martir putih” yang lewat hidup kita masing-masing memberi kesaksian hidup yang didasarkan pada pelaksanaan kehendak Allah, pada nilai-nilai KerajaanNya, terutama saat dihadapkan pada tantangan nilai-nilai duniawi. Dan ini bukan teori. Hidup kitalah medan pelaksanaannya.