Anak: Sebuah Berkat
 
Sabtu dalam Pekan Biasa ke-7
25 Februari 2017
Markus 10:13-16
 
Injil menyoroti realitas anak sebagai berkat Tuhan. Namun, apakah masyarakat kita masih menganggap anak sebagai berkat? Saya melihat bahwa saat ini masyarakat kita seperti sebuah Supermall raksasa. Secara virtual, kita tinggal dalam sebuah kompleks Supermall dimana hampir semuanya tersaji secara menarik dengan semua variasinya.
Dengan demikian, kita dikondisikan untuk percaya bahwa kita bebas untuk memilih apa pun yang kita inginkan. Perbedaan antara kebutuhan dan keinginan secara praktis telah kabur. Mentalitas Supermall ini akhirnya juga mempengaruhi dan merubah bagaimana kita lihat apa artinya memiliki keluarga dan anak-anak di zaman ini. Kita mulai mendikotomi kehidupan berkelurga, hanya mengambil bagian yang paling menyenangkan dan menghapus bagian tidak diinginkan saja. Kita hanya ingin menikmati seks tapi kita menolak tanggung jawab untuk memiliki anak. Kita ingin memiliki pasangan yang cocok, tetapi menolak hidup berkomitmen.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita cenderung untuk melihat kehamilan hanya dari sudut biologis dan bahkan ekonomis. Semuanya dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan dan kenyamanan kita. Bahkan kita dapat mengatur tanggal yang tepat untuk kelahiran anak kita dan dengan cara yang hampir tanpa rasa sakit. Mungkin sampai pada titik dimana, seperti memilih telepon selular, kita juga dapat menentukan fitur-fitur apa yang kita inginkan pada anak kita saat mereka lahir. Akan lebih cantik jika anak saya memiliki mata biru langit!
Hal ini membawa kita kepada konsekuensi yang mengerikan. Bagaimana jika kehadiran anak tersebut tidak terencana? Bagaimana jika seorang wanita yang sibuk dengan karirnya tiba-tiba hamil? Bagaimana jika karena ‘kecelakaan’, seorang gadis remaja menemukan hasil positif pada tes kehamilannya? Bagaimana jika seorang wanita cantik mengalami pelecehan seksual dan menemukan dirinya hamil? Apakah kita masih menganggap anak ini sebagai berkat atau penyusup dalam hidup kita yang semestinya untuk dihancurkan?
Kita hadapi sekarang salah satu masalah yang paling rumit dengan segala kompleksitas. Apa artinya untuk percaya bahwa seorang anak adalah berkat dalam situasi dilematis seperti ini? Pertanyaan kemudian adalah apakah kita bisa seperti Yesus yang memenerima anak-anak sebagai berkat karena mereka adalah empunya Kerajaan Allah?
Setiap anak yang lahir adalah berkat karena ia mengingatkan tentang kita siapa kita sesungguhnya. Memilih untuk melahirkan dan kehidupan tidaklah seperti memilih antara iPhone atau Samsung, tetapi menegaskan siapa kita sebenarnya. Kita adalah pribadi-pribadi yang mampu memiliki keberanian dan iman yang luar biasa bahkan di dalam situasi yang sangat mustahil sekalipun. Biarkan anak-anak ini menjadi sumber sukacita karena mereka membawa Kerajaan Allah kepada kita.
 
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP