Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Yesus, Sang Imam Agung kita

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on October 19, 2024
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu ke-29 dalam Masa Biasa [B]
20 Oktober 2024
Ibrani 4:14-16

Surat Ibrani menyebut Yesus sebagai Imam Agung kita. Sebagai umat Katolik, kita tidak asing dengan kata ‘imam’ karena imam adalah pemimpin liturgi atau pemimpin ibadah kita. Namun, penulis surat Ibrani tidak menyebut Yesus hanya sebagai imam biasa, melainkan sebagai Imam Agung. Mengapa penulis surat ini menyebut Yesus dengan gelar ini? Apa yang membedakan imam agung dengan imam-imam lainnya? Apakah maknanya bagi kita?

Pertama, kita perlu mengerti kata “imam”. Banyak dari kita sudah tahu bahwa seorang imam ditunjuk untuk memimpin ibadah, tetapi ada satu tanggung jawab khusus yang hanya dapat dilakukan seorang imam dan sering kali luput dari perhatian kita. Dalam Alkitab dan banyak peradaban kuno, bagian paling penting dari ritual penyembahan adalah persembahan kurban. Pada umumnya, kurban terdiri dari persembahan sesuatu yang paling berharga kepada Tuhan. Dalam masyarakat agraris kuno, hewan seperti domba dan hasil panen seperti gandum dapat menjadi persembahan kurban. Dalam kasus pengorbanan hewan, ritual dimulai dengan umat menyerahkan hewan kepada imam, dan kemudian imam akan menyembelih hewan tersebut dengan memisahkan darah dan tubuhnya. Setelah itu, imam membawa hewan tersebut ke altar untuk dibakar sebagai simbol bahwa Tuhan telah menerima kurban tersebut. Dalam hal ini, seorang imam berfungsi sebagai perantara antara Tuhan dan umat.

Pemimpin di antara para imam disebut ‘imam agung’. Kata Ibrani untuk imam agung adalah כֹּהֵן גָּדוֹל, kohen gadol, yang secara harfiah berarti “imam besar”. Dalam bahasa Yunani, imam besar adalah ἀρχιερεύς, archiereus , dan dapat diterjemahkan sebagai “imam yang pertama.” Tentu saja, imam agung harus memimpin para imam lainnya dan bertanggung jawab atas seluruh sistem peribadahan. Namun, fungsi utamanya adalah menjadi perantara utama antara Tuhan dan umat. Dengan demikian, hanya dia yang dapat memimpin ibadah yang paling penting. Dalam Alkitab, hanya imam agung yang dapat mempersembahkan kurban kudus pada hari pendamaian (Yom Kippur) dan masuk ke ruang maha kudus sebagai bagian dari ritus yang membawa penebusan dosa-dosa bangsa Israel (lihat Imamat 16).

Dengan latar belakang alkitabiah ini, kita dapat lebih memahami mengapa penulis surat Ibrani menyebut Yesus sebagai Imam Agung kita. Yesus adalah pengantara tertinggi antara Allah Bapa dan kita. Selain itu, Yesus jauh lebih sempurna daripada imam agung lainnya karena Dia ilahi. Namun, Yesus juga sepenuhnya manusia, mengalami semua penderitaan dan berbagai masalah dan kelemahan manusia. Karena itu, Dia mengetahui dengan tepat pergumulan dan kegagalan kita. Namun, yang paling penting, Imam Agung kita juga menjadi kurban yang sempurna bagi Bapa ketika Dia mempersembahkan diri-Nya di kayu salib. Oleh karena itu, ketika kita datang kepada Yesus dengan kerendahan hati, kita dapat berharap dengan keyakinan bahwa Yesus akan menerima kita karena Dia mengenal kita, dan akhirnya, Dia akan membawa kita kepada Bapa dan kita menerima belas kasih.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi:
Bagaimana kita memandang para imam di paroki/gereja kita? Apakah kita mengenali mereka sebagai orang-orang yang membawa kita lebih dekat kepada Allah? Apakah kita tahu bahwa Ekaristi adalah kurban Yesus Kristus dan, dengan demikian, merupakan penyembahan kita yang sejati kepada Allah? Pengorbanan apakah yang kita bawa ke dalam Ekaristi? Apa yang membuat kita tidak dapat mendekati Yesus? Malu, takut, marah, kecewa, dendam, tidak pantas?

Hidup Bakti

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on October 12, 2024
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Hari Minggu ke-28 dalam Masa Biasa [B]
13 Oktober 2024
Markus 10:17-30

Gereja memahami kisah Yesus dan orang kaya ini sebagai salah satu dasar alkitabiah dari panggilan hidup bakti (consecrated life). Namun, apakah hidup bakti itu? Bagaimana kisah ini menjadi inspirasi bagi kita?

Hidup bakti adalah sebuah cara hidup yang radikal untuk mengikuti Yesus. Pada masa kini, kita dengan cepat mengenali pria dan wanita ini sebagai orang-orang yang mengenakan jubah khas, hidup selibat (tidak menikah), dan tinggal di dalam komunitas seperti pertapaan atau biara. Bentuk hidup ini disebut sebagai hidup bakti karena para pria dan wanita ‘membaktikan’ hidupnya untuk mencintai Tuhan secara lebih radikal. Namun, mengapa mereka harus menjalani kehidupan seperti ini? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat lebih dekat kisah Yesus dan orang kaya.

Ada seorang pria yang menyadari bahwa ada sesuatu yang mendasar yang kurang dalam hidupnya. Ketika Yesus datang, hatinya tahu bahwa Yesus tahu jawabannya. Ia bergegas mendatangi Yesus dan bertanya kepada-Nya bagaimana caranya untuk mendapatkan hidup yang kekal. Yesus menunjukkan perintah-perintah Allah, terutama yang berkaitan dengan mengasihi sesama (jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, dan hormatilah orang tuamu). Dengan segera, orang itu mengatakan kepada Yesus bahwa ia telah setia pada hukum-hukum ini. Yesus memandangnya dengan penuh perhatian dan mengasihinya karena keberaniannya untuk datang kepada-Nya. Yesus tahu bahwa orang ini tidak pernah melanggar perintah-perintah Allah, tetapi dia juga tidak memenuhi perintah pertama dan yang paling penting, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu (Ul 6:5).”

Namun, Yesus tidak hanya mengatakan kebenaran ini secara langsung, tetapi merumuskannya kembali menjadi sesuatu yang lebih konkret dan radikal: “Kasihilah Aku (Yesus) dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Panggilan ini bersifat radikal karena mengharuskan orang tersebut untuk meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya dan berjalan bersama Yesus dalam perjalanan menuju salib. Ini radikal karena undangan Yesus bertentangan dengan pemahaman umum pada masa itu bahwa menjadi kaya adalah tanda berkat Tuhan (lihat Ul. 28:1-14; Ams. 10:22). Ini adalah hal yang radikal karena seluruh waktu, tenaga, perhatian, bahkan hidup kita adalah untuk Yesus.

Pria ini tidak pernah merugikan orang lain, mencuri apalagi membunuh, mungkin juga pergi ke sinagoge setiap hari Sabat untuk beribadat, dan sesekali pergi ke Yerusalem untuk mempersembahkan kurban di Bait Allah. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, ia terpanggil untuk mengasihi Allah secara total. Sayangnya, ketika Yesus menawarkan kesempatan itu kepadanya, ia menghindar karena ia memiliki banyak harta. Apakah orang ini akan dihukum? Tentu tidak! Dia tidak akan dihukum dan akan tetap menjadi pewaris hidup yang kekal. Tetapi ia juga tidak dapat memenuhi kerinduan terdalamnya untuk mengasihi Allah secara radikal.

Pada masa kini, mengikuti Yesus secara radikal ini termanifestasi dalam diri pria dan wanita yang secara total memberikan diri mereka kepada Yesus dan Gereja. Para pria dan wanita ini tidak menikah, sehingga mereka dapat mendedikasikan waktu mereka untuk berdoa dan melayani. Mereka bekerja atau menerima donasi bukan untuk menjadi kaya, melainkan untuk mendukung kehidupan dan pelayanan mereka. Akhirnya, mereka dengan bebas menyerahkan kebebasan mereka untuk mengasihi Allah dan umat-Nya lebih penuh. Namun, Gereja memahami bahwa panggilan ini bukan untuk semua orang.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi:
Apakah kita mengasihi Allah secara total dan radikal? Apakah kita mengasihi Allah terlebih dahulu, atau kita mengasihi diri kita sendiri terlebih dahulu? Apakah yang menghalangi kita untuk mengasihi Allah? Uang, kekayaan, profesi, ketenaran, hobi, atau hal-hal lain? Apakah kita dipanggil ke dalam hidup bakti? Apakah kita siap untuk menjawab ya atas panggilan Yesus?

Mengapa Musa mengizinkan perceraian?

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on October 5, 2024
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Hari Minggu ke-27 dalam Masa Biasa [B]
6 Oktober 2024
Markus 10:2-16

Orang-orang Farisi sekali lagi menguji Yesus. Kali ini, mereka mengajukan pertanyaan tentang perceraian. Namun, Yesus melakukan sesuatu yang tidak terduga. Dia ‘mengubah’ hukum perceraian. Mengapa Yesus “menghapus” hukum perceraian?

Yesus menjawab para Farisi dengan menanyakan dasar dari hukum perceraian ini. Orang-orang Farisi menunjuk Musa sebagai sumber hukum karena dia mengizinkan perceraian selama sang suami memberikan surat cerai kepada istri (lihat Ul. 24:1). Kemudian, Yesus membalas, “Karena kekerasan hatimu, maka Ia menuliskan perintah ini kepadamu. Tetapi sejak awal penciptaan, ‘Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan’.” (Mar 10:5-6) Yesus menegaskan bahwa perceraian bukanlah kehendak Allah, tetapi Musa terpaksa mengizinkannya karena “kekerasan hati” bangsa Israel. Namun, apakah kekerasan hati ini?

Kita perlu tahu bahwa bangsa Israel pada zaman Musa sangat terbiasa dengan praktik-praktik hidup Mesir kuno, termasuk perceraian. Di Mesir kuno, pernikahan pada dasarnya adalah acara pribadi, bukan agama. Pasangan itu sendiri yang mengatur pernikahan. Mereka akan menceraikan pasangan mereka jika mereka tidak lagi melihat pernikahan mereka menguntungkan. Tapi perceraian bukanlah satu-satunya solusi. Jika seorang pria merasa istri pertamanya tidak lagi menarik, ia dapat menikahi istri yang lain tanpa harus menceraikan istri pertamanya.

Ketika Tuhan membebaskan bangsa Israel dari Mesir, Tuhan memperkenalkan kembali kehendak-Nya bahwa pernikahan itu kudus dan merupakan bagian dari rencana Tuhan bagi pria dan wanita. Pernikahan tidak hanya didorong oleh faktor biologis atau budaya, tetapi juga didirikan oleh Allah sendiri. Oleh karena itu, Allah menetapkan bahwa pernikahan haruslah monogami dan tidak dapat diceraikan. Namun, memperkenalkan rencana awal Allah kepada bangsa Israel kuno terbukti sulit. Memang, bangsa Israel secara fisik telah dibebaskan dari Mesir, tetapi mentalitas mereka tetap diperbudak. Orang Israel mungkin dapat menerima pernikahan monogami, tetapi menambahkan persyaratan lain, yaitu ‘tidak boleh bercerai’ terlalu berlebihan dan terlalu cepat bagi mereka. Musa tahu bahwa jika dipaksakan, bangsa Israel akan melakukan lebih banyak pemberontakan, dan bahkan para pria akan membunuh istri mereka untuk menyingkirkan mereka. Oleh karena itu, Musa mentolerir perceraian selama hak-hak para wanita terlindungi melalui surat cerai.

Sekarang, ratusan tahun setelah Musa, Tuhan menganggap bahwa waktunya telah tiba untuk membawa kehendak asli Tuhan ke dalam pernikahan. Oleh karena itu, Yesus datang bukan untuk ‘mengubah’ hukum perceraian, melainkan untuk memperkenalkan kembali kehendak Allah yang asli. Selain itu, Yesus juga membawa Roh Kudus untuk menciptakan kembali hati manusia, dari hati batu menjadi hati yang lembut. Sekarang, pilihan ada di tangan kita. Akankah kita mengikuti kehendak Tuhan dalam hidup dan pernikahan kita dengan mengandalkan kasih karunia-Nya, atau sebaliknya, akankah kita menjadi keras kepala dan mengikuti rancangan kita sendiri?

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi
Apakah kita berhati keras dan menolak kehendak Allah dalam hidup kita? Bagaimana kita memahami pernikahan? Apakah pernikahan merupakan kebutuhan biologis, konvensi sosial, atau sesuatu yang dilembagakan secara ilahi? Bagaimana perasaan kita tentang pernikahan? Apakah itu sebuah beban, kewajiban, atau berkat? Apa yang ingin kita capai dalam pernikahan? Apakah kesenangan, kesejahteraan, kenyamanan, atau kekudusan? Apa yang kita lakukan ketika kita menghadapi kesulitan dalam pernikahan? Apakah kita melihat pernikahan tanpa perceraian sebagai sebuah kutukan atau jalan menuju surga?

Dosa dan Kasih Allah

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 28, 2024
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu ke-26 dalam Masa Biasa

29 September 2024

Markus 9:38-48

Beberapa orang tidak suka berbicara tentang dosa. Beberapa orang berpikir bahwa dosa tidak lagi relevan di dunia modern. Konsep ini merupakan pembatasan terhadap kebebasan dan kreativitas manusia. Sebagian orang lainnya melihatnya sebagai karangan Gereja untuk mengendalikan umatnya, terutama melalui rasa takut. Mereka yang berdosa akan dihukum di neraka! Yang lain menganggap bahwa berbicara tentang dosa tidak sesuai dengan Allah, yang adalah kasih. Bagi beberapa imam dan pengkhotbah, topik ini bahkan menjadi tabu untuk diwartakan. Namun, ini semua adalah kesalahpahaman. Pemahaman yang benar tentang dosa akan membawa kita pada penghargaan lebih penuh akan kasih Allah. Lalu bagaimana kita harus memahami konsep dosa?

Pertama, pemahaman dasar tentang dosa adalah pelanggaran terhadap hukum Allah, dan Allah membuat hukum-Nya bukan untuk membatasi kebebasan kita, tetapi justru sebaliknya. Hukum-hukum itu dibuat untuk melindungi kita dari bahaya, ancaman, dan bencana. Ini adalah tanda kasih Allah. Setiap pelanggaran terhadap hukum Allah membawa konsekuensi yang menghancurkan. Itu menghancurkan diri kita sendiri, orang lain, dan dunia. Aborsi membunuh bayi-bayi tak berdosa, menghancurkan panggilan kudus menjadi seorang ibu, dan memperlakukan tubuh perempuan yang suci sebagai alat belaka. Pornografi dan masturbasi tampaknya tidak terlalu menjadi masalah karena merupakan sesuatu yang ‘pribadi’. Tapi masturbasi menyebabkan masalah kesehatan mental karena kita semakin membutuhkan lebih banyak hormon dopamin (hormon kesenangan) untuk memuaskan kita. Kita tidak lagi bisa puas dengan hal-hal yang biasanya memuaskan kita, dan kita menjadi ketagihan. Sekali lagi, hal ini menyebabkan kita melihat tubuh kita dan orang lain hanya sebagai alat untuk memberikan kesenangan. Dengan mengikuti hukum-hukum Tuhan, kita tidak hanya menghindari bahaya dalam hidup kita tetapi juga berjalan di jalan kebahagiaan sejati.

Kedua, dosa adalah kontradiksi dari kasih Allah. Allah itu kasih, dan Dia mengasihi kita melebihi apa yang dapat kita bayangkan. Sebagai sang Kekasih Ilahi, Dia menghendaki hal-hal yang terbaik terjadi pada kita, dan Dia menghendaki kita untuk bersatu dengan-Nya sebagai satu-satunya yang dapat memuaskan hasrat kita yang tak terbatas. Namun, cinta sejati tidak memaksa dan memberikan kebebasan untuk memilih dan mengasihi Dia. Robot dapat mematuhi semua perintah kita, tetapi tidak ada kasih karena robot tidak memiliki kebebasan. Seekor anjing Labrador dapat mematuhi kita dan memberikan pelukan penuh emosi, tetapi ini bukanlah cinta sejati, melainkan insting seekor anjing untuk melekat pada pemiliknya untuk bertahan hidup. Kita memiliki kebebasan sejati. Sayangnya, kita menyalahgunakan kebebasan kita untuk memilih sesuatu yang lebih rendah dari Allah dan, dengan demikian, melanggar hukum-Nya. Oleh karena itu, dosa adalah pilihan radikal untuk berpaling dari Tuhan. Neraka bukanlah hukuman Allah, melainkan keputusan kita untuk terpisah dari Allah, kebahagiaan sejati kita.

Oleh karena itu, ketika membaca Injil, kita segera menyadari bahwa jika ada satu hal yang paling dibenci oleh Yesus, itu adalah dosa. Dia tahu betul apa itu dosa dan apa akibatnya bagi kita manusia. Adam dan Hawa berdosa, dan mereka membawa seluruh umat manusia ke dalam spiral kegilaan dan keputusasaan. Yesus datang ke dunia ini untuk menawarkan pengampunan dosa dan menunjukkan kasih Allah di kayu salib sehingga kita dapat tergerak untuk bertobat. Yesus mengasihi dan dekat dengan orang-orang berdosa karena Dia menghendaki mereka untuk menerima pengampunan Allah.

Oleh karena itu, mewartakan tentang dosa dan pertobatan serta berdoa bagi orang-orang berdosa adalah turut ambil bagian dalam misi Yesus dan kasih Allah. Namun, jika kita menghindar dari memberitakan pertobatan dan bahkan mempromosikan konsep yang salah tentang dosa, kita mungkin pantas untuk dilempar ke laut dengan batu kilangan.”

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan untuk refleksi:

Bagaimana kita memahami konsep dosa? Apakah kita berbicara tentang dosa dan pertobatan, atau apakah kita berusaha menghindarinya? Apakah kita terus mengevaluasi dan mengoreksi diri kita sendiri? Apakah kita sering mengunjungi sakramen pengakuan dosa? Apakah kita mengundang orang lain untuk merefleksikan kasih dan pertobatan Allah?

Keagungan yang Sejati

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 21, 2024
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu ke-25 dalam Masa Biasa [B]

22 September 2024

Markus 9:30-37

Pertanyaan tentang menjadi besar atau agung adalah pertanyaan yang paling sering muncul di benak para murid dan juga di benak kita. Apakah yang dimaksud dengan menjadi besar? Apakah kebesaran yang sesungguhnya? Apa yang membuat kita menjadi hebat? Apakah Yesus mengajarkan kita untuk mengejar keagungan, atau apakah Dia menghindarinya?

Para murid berdebat di antara mereka sendiri, “Siapakah yang terbesar? Dan pertanyaan ini tidak muncul begitu saja, melainkan karena Yesus menyatakan jati diri-Nya. Dalam bab sebelumnya, Yesus menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Dia adalah Kristus atau Mesias yang dinanti-nantikan oleh bangsa Israel. Namun, Yesus menjelaskan lebih lanjut bahwa Mesias ini harus mengalami penolakan, penderitaan, dan kematian. Sayangnya, para murid tidak memahami kebenaran ini dan tetap bertahan dalam keyakinan lama mereka. Mereka mengira Yesus adalah Mesias seperti Raja Daud, yang akan memimpin Israel menuju kemenangan melawan musuh-musuh mereka. Mesias tidak hanya harus membebaskan Israel dari penindasan Romawi, tetapi juga membawa kemakmuran ekonomi, kebebasan beragama, dan pembaharuan. Berpikir bahwa seorang Mesias akan menderita dan kalah adalah hal yang tidak dapat dipahami dan tidak dapat diterima.

Namun, Yesus mengambil kesempatan ini untuk mengajarkan tentang arti keagungan yang sebenarnya. Yesus tidak menentang gagasan kebesaran atau memiliki otoritas atau kekuasaan. Sebaliknya, Yesus menjelaskan bahwa untuk mencapai kebesaran yang sejati, seseorang harus menggunakan kuasa dan otoritasnya untuk melayani dan menjadi yang terakhir. Namun, apa yang dimaksud dengan melayani? Apakah cukup dengan bergabung dan melibatkan diri kita dalam program-program amal atau kerasulan? Apakah melayani sekedar berarti memberikan sumbangan kepada orang miskin atau Gereja?

Setelah Yesus mengajar para murid tentang keagungan yang sejati, Dia melakukan sesuatu yang luar biasa. Dia menempatkan seorang anak kecil di tengah-tengah para murid-Nya dan memberkati anak itu. Dia berkata, “Barangsiapa menyambut seorang anak kecil seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, ia tidak menyambut Aku, melainkan Dia yang mengutus Aku.” Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa untuk menjadi besar adalah dengan menerima seorang anak kecil di dalam nama Yesus. Lalu, di manakah kita menerima seorang anak kecil di dalam nama Yesus? Jawabannya adalah di dalam keluarga.

Menjadi orang tua, ayah, dan ibu adalah panggilan keagungan sejati. Menerima anak-anak kecil yang lemah dalam sukacita, membesarkan mereka dalam iman, dan akhirnya mempersembahkan mereka kepada Tuhan, semua ini membutuhkan pengorbanan seumur hidup. Hal ini secara praktis mengubah kita menjadi hamba yang rendah hati. Kebesaran ini tidak membuat kita menjadi terkenal, kaya secara materi, berkuasa secara politik, atau cantik secara fisik. Bahkan, kita menjadi sebaliknya! Tetapi hal ini memungkinkan kita untuk menerima Yesus dan Bapa dalam hidup kita. Yesus tampaknya berbicara tentang masa depan di mana anak-anak kecil ditolak dan bahkan dibunuh.

Akhirnya, keagungan sejati tidak ada di bumi ini, melainkan di surga. Tidak heran jika dalam tradisi Katolik, orang-orang kudus terbesar di surga adalah Maria, ibu Yesus, dan Yusuf, ayah angkat Yesus. Baik Maria maupun Yusuf menerima bayi kecil Yesus dalam hidup mereka dan membesarkan-Nya dengan penuh kasih dan sukacita. Mereka menjadi contoh utama kebesaran sejati.

Manila

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi:

Bagaimana kita memahami keagungan sejati? Apakah kita berusaha untuk menjadi hebat? Apakah kita melayani orang lain? Bagaimana caranya? Apakah kita juga berkorban untuk orang lain? Apa saja yang kita korbankan? Apakah kita menyadari menjadi orang tua sebagai panggilan hebat? Bagi para orang tua, bagaimana kita menerima dan mengasihi anak-anak kita? Pengorbanan apa yang kita lakukan untuk anak-anak kita? Apakah kita sadar bahwa kita harus membawa anak-anak kita kepada Allah? Bagi mereka yang belum menikah, bagaimana kita menerima dan mengasihi anak-anak kecil dalam hidup kita?

Translate »