Hari Minggu ke-28 dalam Masa Biasa [B]
13 Oktober 2024
Markus 10:17-30

Gereja memahami kisah Yesus dan orang kaya ini sebagai salah satu dasar alkitabiah dari panggilan hidup bakti (consecrated life). Namun, apakah hidup bakti itu? Bagaimana kisah ini menjadi inspirasi bagi kita?

Hidup bakti adalah sebuah cara hidup yang radikal untuk mengikuti Yesus. Pada masa kini, kita dengan cepat mengenali pria dan wanita ini sebagai orang-orang yang mengenakan jubah khas, hidup selibat (tidak menikah), dan tinggal di dalam komunitas seperti pertapaan atau biara. Bentuk hidup ini disebut sebagai hidup bakti karena para pria dan wanita ‘membaktikan’ hidupnya untuk mencintai Tuhan secara lebih radikal. Namun, mengapa mereka harus menjalani kehidupan seperti ini? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat lebih dekat kisah Yesus dan orang kaya.

Ada seorang pria yang menyadari bahwa ada sesuatu yang mendasar yang kurang dalam hidupnya. Ketika Yesus datang, hatinya tahu bahwa Yesus tahu jawabannya. Ia bergegas mendatangi Yesus dan bertanya kepada-Nya bagaimana caranya untuk mendapatkan hidup yang kekal. Yesus menunjukkan perintah-perintah Allah, terutama yang berkaitan dengan mengasihi sesama (jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, dan hormatilah orang tuamu). Dengan segera, orang itu mengatakan kepada Yesus bahwa ia telah setia pada hukum-hukum ini. Yesus memandangnya dengan penuh perhatian dan mengasihinya karena keberaniannya untuk datang kepada-Nya. Yesus tahu bahwa orang ini tidak pernah melanggar perintah-perintah Allah, tetapi dia juga tidak memenuhi perintah pertama dan yang paling penting, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu (Ul 6:5).”

Namun, Yesus tidak hanya mengatakan kebenaran ini secara langsung, tetapi merumuskannya kembali menjadi sesuatu yang lebih konkret dan radikal: “Kasihilah Aku (Yesus) dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Panggilan ini bersifat radikal karena mengharuskan orang tersebut untuk meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya dan berjalan bersama Yesus dalam perjalanan menuju salib. Ini radikal karena undangan Yesus bertentangan dengan pemahaman umum pada masa itu bahwa menjadi kaya adalah tanda berkat Tuhan (lihat Ul. 28:1-14; Ams. 10:22). Ini adalah hal yang radikal karena seluruh waktu, tenaga, perhatian, bahkan hidup kita adalah untuk Yesus.

Pria ini tidak pernah merugikan orang lain, mencuri apalagi membunuh, mungkin juga pergi ke sinagoge setiap hari Sabat untuk beribadat, dan sesekali pergi ke Yerusalem untuk mempersembahkan kurban di Bait Allah. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, ia terpanggil untuk mengasihi Allah secara total. Sayangnya, ketika Yesus menawarkan kesempatan itu kepadanya, ia menghindar karena ia memiliki banyak harta. Apakah orang ini akan dihukum? Tentu tidak! Dia tidak akan dihukum dan akan tetap menjadi pewaris hidup yang kekal. Tetapi ia juga tidak dapat memenuhi kerinduan terdalamnya untuk mengasihi Allah secara radikal.

Pada masa kini, mengikuti Yesus secara radikal ini termanifestasi dalam diri pria dan wanita yang secara total memberikan diri mereka kepada Yesus dan Gereja. Para pria dan wanita ini tidak menikah, sehingga mereka dapat mendedikasikan waktu mereka untuk berdoa dan melayani. Mereka bekerja atau menerima donasi bukan untuk menjadi kaya, melainkan untuk mendukung kehidupan dan pelayanan mereka. Akhirnya, mereka dengan bebas menyerahkan kebebasan mereka untuk mengasihi Allah dan umat-Nya lebih penuh. Namun, Gereja memahami bahwa panggilan ini bukan untuk semua orang.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi:
Apakah kita mengasihi Allah secara total dan radikal? Apakah kita mengasihi Allah terlebih dahulu, atau kita mengasihi diri kita sendiri terlebih dahulu? Apakah yang menghalangi kita untuk mengasihi Allah? Uang, kekayaan, profesi, ketenaran, hobi, atau hal-hal lain? Apakah kita dipanggil ke dalam hidup bakti? Apakah kita siap untuk menjawab ya atas panggilan Yesus?