Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Firman yang Menyelamatkan

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 7, 2024
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu ke-23 dalam Masa Biasa [B]
8 September 2024
Markus 7:31-37

Yesus melakukan banyak mukjizat, dan Ia melakukannya dengan berbagai cara. Kadang-kadang, Ia menggunakan kontak fisik untuk melakukan mukjizat. Namun, cara yang paling umum adalah dengan mengucapkan kata-kata. Yesus menghardik dan mengusir setan dengan perkataan-Nya (Mar. 1:25). Yesus menyembuhkan dan mengampuni dosa orang lumpuh dengan perkataan-Nya (Mar 2:5). Dalam Injil hari ini, Yesus menyembuhkan orang tuli dengan mengatakan ‘Efata’ (Mar 7:34), dan masih banyak lagi mukjizat-mukjizat lainnya. Pertanyaannya adalah, mengapa Yesus memilih menggunakan sabda-Nya untuk melakukan mukjizat-Nya? Apakah hanya sekedar untuk menyatakan fakta, atau ada sesuatu yang lebih dari itu?

Dengan melakukan mukjizat melalui sabda-Nya, Yesus menyatakan bahwa sabda-Nya memiliki otoritas yang sama dengan sabda Allah. Pada mulanya, Tuhan menciptakan dunia melalui firman-Nya yang penuh kuasa, bahkan untuk menciptakan sesuatu dari ketiadaan. “Jadilah terang,” dan terang itu pun jadi. Ketika Yesus berkata, “Enyahlah!”, setan-setan itu terikat dan taat pada perkataan-Nya. Ketika Yesus berkata, “Talitakum,” seorang gadis muda dibangkitkan dari kematian. Ketika Yesus berkata, “Efata!” seorang yang tuli dan bisu dapat mendengar dan berbicara. Sabda Yesus mengungkapkan identitas dan otoritas ilahi-Nya.

Sama seperti Allah membagikan kuasa firman-Nya kepada Adam, sehingga Adam dapat menamai makhluk-makhluk lain dan memiliki otoritas atas mereka, demikian pula Yesus membagikan firman-Nya yang penuh kuasa kepada Gereja-Nya. Yesus berkata kepada Petrus, “Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga dan apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kau lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga (Mat. 16:19).” Mengikat dan melepaskan adalah istilah para rabi untuk otoritas mengajar, dan Petrus, sang Paus pertama, mengajar dengan menggunakan kata-kata yang mengikat kita bahkan sampai di surga. Yesus juga berkata kepada murid-murid-Nya, “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni dan jikalau kamu menahan dosa orang, dosanya tetap ada (Yoh. 20:22-23).” Dengan mengambil bagian dalam sabda ilahi Yesus, para rasul berbagi misi untuk menyembuhkan dan menguduskan.

Sebagaimana Yesus mewariskan firman ilahi-Nya kepada para rasul-Nya, para rasul juga mewariskan firman yang sama kepada para penerus mereka dari generasi ke generasi. Kita, Gereja Katolik, memiliki kata-kata ilahi ini. Setiap kali seorang imam mengulangi kata-kata konsekrasi, “Inilah Tubuh-Ku” dan “Inilah Darah-Ku”, Yesus hadir secara nyata dalam Ekaristi. Setiap kali, dalam pengakuan dosa, seorang imam mengucapkan, “Aku melepaskan engkau dari dosa-dosamu,” dosa-dosa kita sungguh diampuni. Setiap kali, seorang imam (atau bahkan seorang awam) menuangkan air ke dahi kita dan berkata, “Yohanes, aku membaptismu dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus. Amin,” kita terlahir sebagai ciptaan baru.

Namun, firman ilahi ini bukan hanya milik para imam. Kata-kata ini adalah milik setiap anggota Gereja-Nya. Ketika seorang pria dan seorang wanita mengucapkan persetujuan dan janji pernikahan mereka, maka terciptalah kesatuan pernikahan yang tak terlihat namun tak terpisahkan. Ketika orang tua memberkati anak-anak mereka dengan tanda salib di dahi mereka, berkat Tuhan sungguh ada pada anak-anak ini. Misi kita adalah untuk menguduskan dunia, dan kita diperlengkapi untuk memenuhi tugas ini karena Yesus telah mempercayakan firman ilahi-Nya kepada kita.

Surabaya
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi:
Bagaimana kita menggunakan kata-kata kita? Apakah kita membangun dan memberkati orang lain dengan kata-kata kita? Apakah kita menyakiti dan menghancurkan orang lain dengan kata-kata kita? Bagaimana kita membawa orang lain lebih dekat kepada Tuhan melalui kata-kata kita? Apakah kata-kata favorit kita? Apakah itu kata-kata yang baik dan membangun? Apakah firman Allah mengubah kita? Apakah kita sering mendengar dan membaca firman Allah dalam Alkitab?

Memahami Hukum Tahir-Najis

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on August 31, 2024
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Hari Minggu ke-22 dalam Masa Biasa [B]
1 September 2024
Markus 7:1-8, 14-15, 21-23

Orang-orang Farisi mengkritik Yesus dan murid-murid-Nya karena tidak membasuh tangan sebelum makan. Kritik ini bukan berasal dari kepedulian mereka terhadap higenitas, melainkan untuk menghakimi ketaatan Yesus pada hukum tahir-najis, terutama berdasarkan tradisi para tua-tua. Namun, apakah hukum tahir-najis itu? Mengapa hal itu begitu penting bagi orang Farisi? Lalu, mengapa Yesus memilih untuk tidak mematuhinya?

Meskipun tidak sepenuhnya tentang moralitas (tentang tindakan yang baik atau salah), hukum tahir-najis merupakan bagian integral dari Taurat. Hukum tahir-najis menentukan apakah seorang Yahudi secara ritual bersih (tahir) atau kotor (najis). Artinya, ketika orang Yahudi tahir, mereka akan diizinkan untuk memasuki area Bait Allah di Yerusalem dan kemudian mempersembahkan kurban. Ketika mereka dapat mempersembahkan kurban, mereka menyembah Tuhan Allah dan menerima berkat-berkat seperti pengampunan dosa dan persekutuan dengan Tuhan dan sesama orang Yahudi. Seorang Yahudi dapat menjadi najis melalui kontak fisik dengan berbagai hal seperti mayat, cairan tubuh (darah menstruasi, air mani pria), hewan tertentu (babi, unta, serangga tertentu, dll) dan penyakit kulit (kusta). Jika mereka menjadi najis, mereka harus melakukan ritual pemurnian, biasanya dengan membasuh diri dengan air. Dengan demikian, hukum tahir-najis bermaksud untuk memastikan bahwa mereka dapat memasuki tempat kudus dengan layak.

Namun, pada zaman Yesus, hukum tahir-najis meluas hingga ke luar Bait Allah dan bahkan mengatur kehidupan sehari-hari mereka. Hukum tahir-najis menjadi penanda identitas bangsa Yahudi, yang membuat mereka berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, orang Yahudi harus selalu tahir, bahkan ketika mereka berada jauh dari Bait Allah, dan satu kelompok yang paling ketat menerapkannya adalah orang Farisi. Hukum tahir-najis juga berkembang dan menjadi kompleks karena para guru atau para rabbi menambahkan interpretasi mereka. Hukum tahir-najis menjadi sebuah sistem yang rumit yang mencekik orang-orang sederhana dan bukannya membantu mereka untuk menjadi layak bagi Bait Allah, tempat kediaman Tuhan.

Yesus menyadari tujuan sebenarnya dari hukum tahir-najis, dan dengan demikian, Yesus tidak mengikuti ekses yang dipaksakan oleh orang-orang Farisi. Namun, Yesus tidak hanya menentang ajaran orang Farisi yang berlebihan, Dia juga menyatakan bahwa hukum tahir-najis telah mencapai tujuannya. Jika tujuan dari hukum tahir-najis adalah untuk menjaga orang-orang yang tidak layak memasuki Bait Allah karena Bait Allah adalah tempat kudus Tuhan, tetapi sekarang, Yesus, Tuhan yang telah menjadi manusia, tidak lagi berada di Bait Allah, tetapi di tengah-tengah umat-Nya. Dia menyentuh orang kusta dan membuatnya menjadi tahir. Dia menjamah perempuan dengan pendarahan dan membuatnya menjadi tahir. Akhirnya, Yesus akan mati di kayu salib, dan tubuh-Nya akan menjadi sumber kenajisan, namun Dia bangkit, dan tubuh-Nya menjadi sumber kekudusan.

Yesus adalah Imanuel, Tuhan beserta kita. Tidak ada lagi hukum tahir-najis. Namun, Yesus juga mengajarkan dengan tegas bahwa meskipun kita tidak lagi terikat oleh hukum tahir-najis, berbuat dosa atau terpisah dari Allah tetap menjadi pilihan kita. Sekarang, setiap detik dalam hidup kita, setiap tempat yang kita datangi, dan semua yang kita lakukan adalah kesempatan untuk bersama dengan Yesus atau jauh dari-Nya.

Surabaya
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi:
Apakah kita menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup kita? Di mana dan kapan kita menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup kita? Apakah kita sadar bahwa Tuhan menyertai kita? Apakah kita sadar bahwa setiap pilihan adalah kesempatan untuk memuliakan Dia? Apakah kita mengotak-kotakkan Tuhan hanya di Gereja atau di waktu-waktu doa? Apakah kita sadar bahwa dosa-dosa membuat kita najis dan jauh dari Allah? Apakah kita tahu bahwa kita tidak dapat menerima perjamuan kudus ketika kita bertahan dalam dosa-dosa berat kita? Apakah saya pergi ke pengakuan dosa secara teratur?

Tunduklah pada Suamimu (?)

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on August 24, 2024
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Hari Minggu ke-21 dalam Waktu Biasa [B]
25 Agustus 2024
Efesus 5:21-32

Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Santo Paulus memerintahkan para istri untuk tunduk pada suami mereka, tidak hanya dalam hal ekonomi atau membesarkan anak tetapi dalam segala hal. Ajaran Santo Paulus ini tampak ketinggalan zaman, tidak relevan lagi dan bahkan salah. Bukankah perempuan dan laki-laki itu setara? Mengapa para istri harus taat kepada suami dalam segala hal? Apakah para wanita hanyalah budak dari suami mereka?

Pertama, kita perlu mengetahui konteks historis dari Paulus. Pada masa itu, wanita memang dianggap tidak setara dengan pria. Kecuali beberapa perempuan yang luar biasa, perempuan diperlakukan sebagai milik laki-laki. Sementara pria bekerja di luar, wanita tinggal di rumah. Para istri harus mengurus rumah, melahirkan anak, dan membesarkan mereka. Umumnya, perempuan tidak memiliki hak atas warisan, apalagi memiliki hak politik. Itu adalah waktu yang buruk bagi perempuan untuk hidup.

Paulus menyadari situasi ini dan menantangnya. Bagaimana? Dia menulis surat yang tidak hanya ditujukan kepada suami, tetapi juga ditujukan kepada para istri! Pada waktu itu, wanita tidak menerima surat, dan jika mereka menerima surat, surat itu harus melalui suami mereka. Dengan tindakan sederhana ini, Paulus tidak hanya menantang mentalitas budaya pada masa itu`, tetapi juga menegaskan tujuan awal Allah. “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut citra-Nya, menurut citra Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka (Kej. 1:27).” Baik laki-laki maupun perempuan diciptakan menurut citra Allah, dan dengan demikian, memiliki martabat yang sama sebagai anak-anak Allah.

Namun, Paulus juga mengakui bahwa meskipun pria dan wanita memiliki martabat yang sama, mereka memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Secara biologis, pria secara fisik lebih kuat dan, dengan demikian, bertanggung jawab untuk melindungi dan menafkahi. Sebagai perbandingan, perempuan memiliki karakter untuk memberi dan memelihara kehidupan. Baik pria maupun wanita saling melengkapi satu sama lain. Pada saat yang sama, hubungan timbal balik ini menciptakan sebuah komunitas kecil bernama pernikahan, dan keluarga. Dan, seperti kelompok atau komunitas lainnya, pernikahan mengandaikan adanya tatanan dan hirarki agar dapat berfungsi dengan baik. Kata ‘tunduk’ yang digunakan oleh Santo Paulus dalam bahasa Yunani adalah ‘ὑποτάσσω (hupotasso)’ yang secara harafiah berarti ‘di bawah pada sebuah tatanan’. Oleh karena itu, ‘tunduk’ berarti berada di bawah tatanan yang tepat. Tidak heran jika Santo Paulus memulai dengan sebuah perintah kepada suami dan istri, “Hendaklah kamu tunduk yang satu kepada yang lain sebagai tanda hormatmu kepada Kristus!” karena keduanya, suami dan istri, harus berada di bawah tatanan yang benar. Namun, tatanan macam apa?

Di sinilah kontribusi unik Paulus. Suami dan istri adalah seperti hubungan antara Yesus dan Gereja, mempelai-Nya. Seperti Yesus, suami adalah kepala dan figur otoritas. Namun, Paulus juga mengingatkan kita bahwa tatanan yang mengatur Yesus dan Gereja-Nya adalah kasih. Demikian juga, otoritas yang diberikan kepada para pria adalah untuk mengasihi istri mereka. Pria mengasihi istri mereka sampai mati, dan hanya dengan kematian mereka dapat memimpin istri mereka dalam kekudusan. Tanpa mati terhadap diri mereka sendiri, otoritas pria berubah menjadi tatanan yang penuh teror, dan wanita akan memberontak. Pernikahan menjadi tidak bahagia dan bahkan runtuh. Hanya ketika pria dan wanita menundukkan diri mereka pada tatanan kasih, mereka akan mencapai tujuan pernikahan, yaitu kekudusan.

Surabaya
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk direnungkan:
Untuk para suami: bagaimana Engkau mengasihi istrimu? Apakah Engkau rela mati untuk istrimu? Siap mati untuk Kesombongan, kemarahan, keegoisan? Apakah pernah Engkau menyakiti istrimu? Apakah Engkau meminta maaf kepada istrimu ketika Engkau melakukan kesalahan? Apakah Engkau memimpin istrimu ke dalam kekudusan? Bagaimana Engkau memimpin istrimu ke dalam kekudusan? Apakah Engkau seorang kepala/pemimpin keluarga yang baik?

Untuk para istri: bagaimana Engkau mengasihi suamimu? Apakah Engkau menaati suamimu? Apakah Engkau menolong suamimu untuk menjadi suami dan ayah yang baik? Bagaimana Engkau menolong suamimu untuk hidup dalam kekudusan? Apakah Engkau pernah menyakiti hati suamimu?

Kenapa Maria Diangkat ke Surga?

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on August 17, 2024
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga
15 Agustus 2024 [B]
Lukas 1:39-56

Hari ini Gereja merayakan hari raya Maria Diangkat ke Surga. Melalui perayaan ini, Gereja mengingatkan kita bahwa Maria, bunda Tuhan kita, ketika perjalanan hidupnya berakhir di bumi, jiwa dan raganya diangkat ke dalam kemuliaan surgawi. Namun, sebuah pertanyaan mungkin muncul: mengapa Maria harus naik ke surga dengan jiwa dan raganya segera setelah kematiannya, sementara kita semua, harus menunggu sampai penghakiman terakhir? Bukankah ini sedikit tidak adil?

Alasannya adalah kasih. Santo Thomas Aquinas mengajarkan bahwa kasih mencari persatuan dengan yang dikasihi (lihat ST. I.II. q.28 a.1). Secara sederhana, ketika kita mengasihi seseorang, kita berharap agar kita selalu dekat dengan orang tersebut, dan dengan menjadi dekat, kita dapat memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengasihi. Semakin kita mengasihi, semakin kita dipersatukan, dan semakin kita dipersatukan, semakin kita mengasihi. Contoh yang baik adalah orang tua yang baik. Mereka selalu ingin dekat dengan anak-anak mereka karena dengan dekat, mereka dapat lebih mengasihi anak-anak mereka dengan cara melindungi, menyediakan, dan mendidik anak-anak mereka.

Demikian juga, mereka yang mengasihi Allah berusaha untuk bersama dengan Allah. Ketika kita mulai mengasihi Allah, kita mulai meluangkan waktu untuk berdoa dan menghadiri Ekaristi setiap hari Minggu. Kita mulai membaca Alkitab dan belajar tentang iman kita. Ketika kita bertumbuh dalam kasih, kita menghabiskan lebih banyak waktu dengan Tuhan, lebih banyak waktu dalam doa, lebih sering mendengarkan Misa, terlibat dalam pelayanan dan dalam komunitas. Namun, kita juga menyadari bahwa kesatuan kita dengan Tuhan tidaklah sempurna di dunia ini. Kita perlu bekerja atau bersekolah. Kita perlu mengurus keluarga kita. Kita perlu mengurus urusan duniawi yang tak ada habisnya. Hati dan kasih kita pun terbagi.

Namun, ada satu orang yang mengasihi Allah secara total dan tidak terbagi bahkan di dunia ini. Dia adalah Maria. Hidupnya sepenuhnya didedikasikan untuk mengasihi Yesus, bahkan sejak sebelum kelahiran-Nya hingga akhir hayat-Nya di kayu salib. Dia tidak pernah terpisah dari Yesus dalam kehidupannya di dunia. Dan dengan demikian, ketika ia meninggal dunia, kasihnya yang luar biasa, yang disempurnakan oleh rahmat Allah, tidak hanya menarik jiwanya tetapi juga tubuhnya ke dalam persatuan dengan Allah.

Diangkatnya Maria ke surga mengajarkan kepada kita bahwa persatuan dengan Allah di surga dimulai dengan kasih kita di bumi. Semakin kita mengasihi Allah di bumi ini, semakin mudah kita ditarik ke surga. Namun, bagaimana kita dapat mengasihi Allah lebih dalam jika kita juga harus mengurus hal-hal duniawi? Memang, kita tidak dapat berdoa setiap saat, tetapi kita dapat selalu menyenangkan hati Allah dengan berbuat baik dan menghindari dosa dalam segala hal yang kita lakukan. Kita juga dapat mengasihi Allah melalui kasih terhadap sesama. Melalui kehidupan moral yang baik, kita dipersatukan dengan Tuhan bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kita tidak selalu sadar akan Tuhan setiap saat, kita tahu bahwa hidup dan tindakan kita berorientasi pada Tuhan.

Surabaya
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan panduan:
Apa yang ada di benak Saya ketika Saya mendengar Maria Diangkat ke Surga? Apa yang Saya pahami tentang dogma Maria ini? Apakah tiga dogma Maria yang lain? Apakah Saya memiliki hubungan khusus dengan Maria?

Bagaimanakah Saya mengasihi Allah? Seberapa kuatkah kasih Saya kepada Allah? Bagaimana Saya meningkatkan kasih Saya kepada Allah? Apakah Saya sering berdoa? Bagaimana cara Saya berdoa? Apakah Saya menjalani kehidupan moral yang baik? Apakah Saya menyenangkan hati Allah dalam tindakan Saya sehari-hari? Apakah Saya mengetahui hukum-hukum Allah? Apakah ada dosa yang sedang Saya hadapi sekarang?

Dua Roti

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on August 3, 2024
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu ke-18 dalam Masa Biasa [B]
4 Agustus 2024
Yohanes 6:24-35

Kita diciptakan sebagai makhluk yang terdiri dari raga dan jiwa. Oleh karena itu, untuk bertahan hidup dan berkembang, tubuh dan jiwa kita harus diberi makan. Memberi makan tubuh kita dengan cepat dilakukan melalui roti, nasi atau makanan fisik lainnya. Namun, bagaimana kita memelihara jiwa kita? ‘Makanan’ seperti apa yang harus kita berikan kepada jiwa kita agar jiwa kita tidak binasa?

Bagi kita umat Katolik, jawabannya sudah jelas. Tubuh Kristus dalam Ekaristi adalah roti surga yang memelihara jiwa kita. Seperti yang dinyatakan oleh Yesus sendiri, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu (Yohanes 6:53).” Namun, tantangan yang sebenarnya adalah bahwa kita sering tergoda, seperti halnya bangsa Israel, untuk memprioritaskan roti duniawi. Berapa banyak dari kita yang memilih untuk tidak ikut Misa Minggu untuk bekerja atau bersantai?

Tantangan lainnya adalah bahwa kita sering mencampuradukkan roti hidup yang sejati dengan roti duniawi. Kita cenderung menyamakan hal-hal rohani dengan hal-hal emosional. Kita lupa bahwa kebutuhan emosional tetap merupakan bagian dari konstitusi tubuh kita. Dengan demikian, kita mengira bahwa kita telah disentuh secara rohani ketika kita merasa terisi secara emosional melalui berbagai pengalaman keagamaan. Harus diakui, menghadiri Misa dan menerima Komuni kudus tidak selalu menjadi pengalaman yang penuh emosi. Ya, beberapa dari kita merasakan sensasi yang luar biasa selama Ekaristi, tetapi banyak dari kita yang mengalami ‘kekeringan’. Misa tampaknya tidak memuaskan kerinduan kita yang terdalam. Tidak heran jika sebagian dari kita mulai mencari pilihan, tempat, atau kegiatan lain yang memberi kita lebih banyak sensasi. Kita memperlakukan kegiatan-kegiatan keagamaan tidak berbeda dengan acara-acara pemuas emosi lainnya.

Tantangan terakhir adalah menukar makanan rohani kita dengan kebutuhan jasmani kita. Kita mencari Yesus agar Dia dapat memenuhi kebutuhan jasmani kita. Kita pergi ke Gereja dan meminta Yesus untuk menyembuhkan penyakit kita, menyelesaikan masalah keuangan kita, atau menyelesaikan masalah keluarga kita. Memang, tidak apa-apa untuk membawa masalah kita kepada Tuhan. Bagaimanapun juga, Dia juga memelihara kita. Namun, terkadang, kita menjadi sibuk dengan masalah-masalah kita dan kemudian melupakan tujuan Ekaristi yang sesungguhnya, yaitu untuk memberi makan jiwa kita. Hal ini seperti orang-orang Yahudi dalam Injil yang ingin menjadikan Yesus sebagai raja karena kebutuhan perut dan politik mereka dan bukan karena roti ilahi.

Jadi, bagaimana kita tahu bahwa jiwa kita bertumbuh melalui roti kehidupan? Jawabannya adalah kasih. Kita tahu bahwa rahmat bekerja di dalam diri kita ketika kita dapat mengasihi lebih banyak dan berkorban lebih besar. Kita menjadi lebih sabar terhadap orang-orang yang sulit di sekitar kita. Kita mengantisipasi kebutuhan orang lain. Kita terus melakukan hal-hal yang baik bahkan tanpa dihargai. Jiwa kita hanya dapat bertumbuh dan melakukan hal-hal besar ketika roti kehidupan terus menerus memberi kita makan.

Surabaya
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »