Posted by admin on January 28, 2014
Posted in renungan | 2 Comments
Posted by admin on January 27, 2014
Posted in renungan
Posted by admin on January 25, 2014
Posted in renungan | 2 Comments
Bacaan I : Kis 22:3-19 atau Kis 9:1-22
Bacaan Injil : Markus 16: 15-18
Dalam website Majalah Hidup Katolik muncul satu pertanyaan cukup menarik: Tentang pertobatan Paulus, mengapa diceritakan dua kali dalam Kisah Para Rasul? Mengapa ada perbedaan rincian yang kontradiktif, yaitu tentang teman-teman Paulus (Kis 9:7 dan Kis 22:9). Mana yang benar? (http://www.hidupkatolik.com/2013/03/01/kisah-pertobatan-paulus)
Jawaban atas pertanyaan di atas pada dasarnya mengajak kita melihat, kebenaran “rincian” kisah (yang bukan hanya dua kali diceritakan tetapi tiga kali, plus Kis 26:12-18) bukan hal yang terpenting, karena kisah itu tidak ditulis sebagai laporan sejarah dalam pemahaman modern, tetapi sebagai pengantar pokok iman berangkat dari pengalaman Paulus: bahwa Yesus Kristus sungguh bangkit bahkan ia mengalami kehadiranNya secara langsung, bahwa keselamatan adalah rahmat yang diberikan cuma-cuma (Paulus bahkan dalam situasi berdosa berat saat menerima rahmat karena ia menganiaya pengikut Yesus), dan bahwa Yesus hadir dalam kesatuan dengan GerejaNya (lewat pertanyaan Yesus “mengapa engkau menganiaya Aku”) yang kemudian Paulus refleksi sebagai Tubuh Kristus (Rom 12:5, 1 Kor 12:12,27, Ef 3:6, 4:12, Kol 1:24). Dalam banyak perbincangan iman pada umumnya, seperti juga dalam menjawab pertanyaan di atas, tak jarang kita perlu masuk ke kedalaman, tidak berhenti pada apa yang tertulis. Yang tersirat bisa jauh lebih luas dari yang tersurat. Dan itu bisa jadi salah satu panggilan pertobatan kita.
Seperti Paulus, sebagian dari kita cukup serius mendalami keagamaan kita dengan cara berusaha menambah pengetahuan kita atas hal-hal yang terkait dengan iman kepercayaan kita. Kita beri acungan jempol “Like” banyak-banyak untuk semangat ini. Sebagian dari kita yang mendapat pengetahuan lebih, ingin berbagi pengetahuan itu dan menggarami dunia mulai dari saudara-saudari seiman, dengan melihat dan menimbang pemikiran dan praktek keagamaan di sekitarnya sebagai bahan perbincangan. Kita beri acungan jempol “Like” lagi. Sebagian dari kita, berbekal pengetahuan yang didapatnya dari belajar aneka sumber ini itu, mulai membagi dunia menjadi kelompok murid yang “murni”, kelompok murid yang “tidak cukup pengetahuan”, dan kelompok murid yang “sesat”. Tak jarang terhadap kelompok ketiga dilancarkan upaya untuk mengajak mereka “bertobat” kalau perlu dengan kata-kata dan tindakan yang keras. Maka muncullah “Saulus-Saulus” baru yang penuh semangat, seperti sebagian anggota inkuisisi Gereja yang dalam sejarah bertugas melawan dan menyingkirkan bidaah. Mereka menjadi penjaga “kebenaran” yang tangguh. Persoalannya, pencarian kebenaran justru tak jarang dihancurkan dalam kebekuan pemahaman akan doktrin. Maka tanpa disadari Gereja, kita, dapat mengulang peristiwa penyaliban Yesus, penganiayaan pengikut Sang Jalan, saat kita menghakimi dan menghukumi para pencari kebenaran yang merentang tafsir dan praktek iman yang melampaui pemahaman yang lazim. Untuk yang satu ini, tak bisa lah kita beri “Like”.
Jadi, apakah kemudian kita harus berhenti memperbincangkan soal liturgi yang benar, tentang praktek sakramen yang sesuai aturan Gereja, tentang pokok-pokok pemahaman teologi Gereja, karena bisa membuat kita jatuh pada kesalahan seperti Saulus? Mari kita resapi nasehat Injil, dari Yesus sendiri, saat Dia mengecam para ahli Taurat dan orang Farisi: “Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Mat 23:23). Melaksanakan tata aturan agama seperti persepuluhan (dalam konteks Yahudi) penting, tetapi ada yang lebih penting dan tidak boleh ditinggalkan: keadilan, belas kasih dan kesetiaan. Dalam bahasa Paus Fransiskus, kalau tidak hati-hati, Gereja bisa jatuh dalam bahaya “naval-gazing”, “self-referential”, sibuk dengan hal-hal dalam dirinya dan lupa untuk menjadi garam dan terang dunia memperjuangkan keadilan ekonomi dan sosial, menggarap persoalan kemiskinan, dan menebar kasih pada mereka yang terpinggirkan. Di satu sisi perbincangan “kebenaran iman” penting dan perlu dilakukan dengan keterbukaan hati, kesediaan masuk ke kedalaman dan mendengarkan pengajaran Roh Kudus, di sisi lain praksis cinta kasih tidak boleh diabaikan. Semoga semangat kasih dan keterbukaan terhadap gerak Roh Kudus yang mengajar kita, tetap menjadi dasar kita mengembangkan dan memperdalam iman. Di seputar altar, juga di “pasar”.
Bacaan I : Efesus 3:8-12
Bacaan Injil : Yohanes 15:9-17
Dalam kotbahnya 24 Oktober 2013 yang lalu, Paus Fransiskus mengingatkan kita akan Panggilan Kesucian Universal:
We have been re-made in Christ! What Christ has done in us is a re-creation: the blood of Christ has re-created. It is a second creation! If before the whole of our life: our body, our soul, our habits, were on the road of sin, iniquity; after this re-creation we must make the effort to walk on the path of righteousness , sanctification – use this word: holiness. All of us were baptized: at that moment, our parents – we were just children – made the act of faith in our name: ‘I believe in Jesus Christ,’ who has forgiven us our sins’ I believe in Jesus Christ.”
“Really we are weak and many times, many times , we commit sins, imperfections – and is this the way of sanctification? Yes and no! If you get used to it: ‘My life is a bit so-so… I believe in Jesus Christ, but I live the way I want to’ Oh, no, that will not sanctify, that is wrong! It is a contradiction! If, however, you say, ‘I, even I am a sinner, I am weak,’ and if you go always to the Lord and say: ‘But, Lord, You have the strength, give me faith! You can make me clean,’ [and if] you let yourself be healed in the Sacrament of Reconciliation – yes, even our imperfections are used along the way of sanctification.
Sometimes we say ‘Christians at half-speed’, who do not take this seriously. We are holy, justified, sanctified by the blood of Christ: Take this sanctification and carry it forward!
Hari ini kita peringati pesta St Fransiskus de Sales, kelahiran Perancis pada tahun 1567. Dia dikenal sebagai uskup, penulis, pengkotbah, pembimbing spiritual yang ulung dan pendiri Ordo Visitasi. Tulisannya yang paling terkenal adalah The Introduction to the Devout Life, yang masih dibaca dan dipelajari hingga kini.
Berlawanan dengan pemahaman pada jamannya, dalam bukunya itu dia menunjukkan bahwa panggilan kesucian bukanlah untuk sekelompok orang elit. Ungkapan kemuridan seseorang termasuk hidup doa dan rohaninya juga pada akhirnya berbeda-beda tergantung panggilan, tanggung jawab dan aktivitasnya. Seorang bapak dalam keluarga misalnya, tidak bisa meniru cara hidup seorang biarawan dan sebaliknya seorang biarawan tidak bisa hidup seperti seorang pengusaha. Ia juga mengingatkan bahwa tak ada orang yang begitu baiknya sehingga tidak dapat dibelokkan oleh kuasa dosa, namun sebaliknya juga tidak ada orang yang begitu buruknya hingga tidak dapat diubah oleh rahmat Tuhan.
Hari ini, dengan pengantaraan Santo Fransiskus de Sales, mari kita mohon rahmat keberanian menjawab panggilan akan kesucian itu seraya merenungkan sabda Tuhan ini: “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.“ (Yoh 15:16)
Posted by admin on January 23, 2014
Posted in news | 2 Comments
Aloysius Maria Ardi Handojoseno SJ was born in 1969 in Tegal, Central Java, Indonesia. He is an alumnus of the Jesuit School, Loyola College, Semarang, and he received his Bachelor Degree in Electrical Engineering from ITS Surabaya.
He joined Society of Jesus in 1998 after working for a couple of years as a lecturer at Widya Mandala Catholic University Surabaya. He did his Philosophy in STF Driyarkara Jakarta, his regency as a Campus Minister and a lecturer in Sanata Dharma University Yogyakarta. Then he was sent to Melbourne to do his Theology in the United Faculty of Theology. After his ordination in Yogyakarta in mid 2008, he worked as an assistant parish priest in the parish of St Anne, Jakarta.
In preparation for his future ministry back at Sanata Dharma University, Fr Ardi came to Sydney and obtained his Master of Engineering at UTS. He is now working on his PhD on Biomedical Engineering-Health Technology while happily sharing community life and celebrating the sacraments with the Jesuit Community in the Parishes of Our Lady of the Way, North Sydney.