Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

St. Thomas Aquinas, Imam dan Doctor Gereja

Posted by admin on January 28, 2014
Posted in renungan  | 2 Comments

2 Samuel 6:12b-15, 17-19
Mark 3:31-35
Kita semua dipanggil untuk bertumbuh dalam cinta kepada Allah dan melakukan kehendakNya.
Saudara-i,
Kedua bacaan hari ini baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, dikatakan bahwa Raja Daud ditunjuk sebagai :”orang yang berkenan di hatiKu  dan yang melakukan kehendakKu” (Kis. Ras 13:22). Beberapa alasan bagi Raja Daud berkenan di hati Tuhan, betapapun ia telah banyak melakukan kesalahan dan dosa disertai kegagalan-kegagalannya , tetapi raja Daud tetap mencintai Allah, dan terus berusaha mendekatkan dirinya kepada Allah dalam doa, menyatakan kesetiaannya kepada Allah dan terus menerus menjawab dan melakukan panggilan Allah.
Raja Daud telah menunjukkan sejumlah kebajikan melalui kehidupannya dengan selalu berdoa kepada Allah sebelum ia maju ke medan peperangan agar ia selalu dijaga dan dilindungi, agar Allah akan selalu menunjukkan jalan kepadanya, serta memeberi dia kekuatan agar ia dapat memimpin dan menghantar bangsa Israel mencapai kemenangan atas musuh-musuh mereka. Setelah raja Daud menerima pesan atau tanda dari Allah secara langsung dan personal, atau melalu para nabi yang lain, ia selalu berusaha melakukan apa yang Tuhan kehendaki. Ia juga, sebagaimana dalam bacaan pertama hari ini telah menggambarkan bagaimana ia menghantar bangsa Israel dalam kegembiraan dan penuh rasa syukur dan terimakasih kepada Allah untuk segala rahmat dan berkat yang telah Allah curahkan kepada mereka.
Saudara-i,
Hari ini juga kita memperingati dan menghormati Santu Thomas Aquinas. Ia telah memberikan suatu contoh kepada kita sebagai seorang yang juga mencintai Tuhan, terus menerus bertumbuh dalam pengetahuan dan cintanya kepada Tuhan, dan dengan tegas mengatakan bahwa doa adalah bagian yang sangat integral dalam hidupnya, dan yang selalu berusaha untuk melakukan kehendak Tuhan. Beberapa hal yang menunjukkan perbedaan dalam kehidupan St. Thomas Aquinas disini bahwa St. Thomas adalah seorang yang lapar dan haus akan cintanya kepada Tuhan dan berusaha untuk selalu mencintai Tuhan melalui semangatnya untuk belajar dan bertekun dalam hidup doanya.
Dengan kemampuan intelektual yang sangat tinggi, St. Thomas memandang proses pembelajaran (pendidikan) adalah salah satu jalan bagi setiap orang untuk bertumbuh dan berkembang dalam cinta dan mencintai Tuhannya. Dengan menyelesaikan doctoralnya di Universitas di Paris, ia juga mulai mengajar dan menulis. Meskipun St. Thomas telah menulis pelbagai macan topik, secara umum dapat dikatakan bahwa ia percaya, segala tulisannya ia persembahkan untuk ajaran-ajaran kebenaran dan iman Katolik dalam logica, consistent dan systematic. Sampai dengan saat ini setelah lebih dari tujuh ratus tahun setelah kematiannya, semua hasil karyanya telah membantu banyak orang dalam ilmu pengetahuan dan dalam cinta mereka kepada Tuhan. St. Thomas adalah seorang pendoa yang telah bertumbuh dan berkembang dalam kedekatannya dengan Tuhan melalui kontemplasi, sembah sujud kepada Allah, dan secara terus menerus memupuk dan memelihara imannya melalu sakramen-sakramen.
Saudara-i,
Baik raja Daud maupun St. Thomas, keduanya telah memberikan kita semua contoh dalam kesetiaan kepada Allah dan ketekunan dalam melakukan kehendak Allah. Setelah diteguhkan oleh contoh-contoh hidup mereka, semoga kita semua dapat terus dan setia melakukan kehendak Allah dalam kehidupan kita setiap hari; dengan demikian apabila waktunya tiba untuk menghadap tahta Allah kita semua dapat tegak berdiri dihadapanNya, dan kita semua boleh diterima kedalam kehidupan keluarga anak-anak Allah. Dengan demikian kita semua dapat ikut ambil bagian dalam kehidupan bersama para malaikat dan para kudus di surga, Amin.

MENGHAKIMI DAN LABELING DAPAT MENYAKITI SESAMA DAN DIRI SENDIRI

Posted by admin on January 27, 2014
Posted in renungan 

Mark 3:22-30
Saudara-i terkasih,
Salam jumpa lagi dalam dan melalui renungan kita hari ini.
Bacaan injil hari ini, Yesus dituduh sebagai seorang yang kerasukan Setan dan bahkan dengan penghulu setan Yesus mengusir setan. Betapa Yesus disakiti perasaanNya, karena dengan pernyataan yang tidak bertanggungjawab itu akan hanya membuat orang lain takut untuk datang kepada Yesus. Tidak mustahil bahwa kita sendiripun akan menjadi sangat marah kalau kita sendiri mengalami hal yang sama seperti yang Yesus alami, dicap (labeled) atau dihakimi dengan pernyataan-pernyataan yang tidak benar dan tidak bertanggungjawab; dan yang akan menimbulkan ketegangan, stress dan bahkan sampai kita sendiri merasa terisolir dari kehidupan berkomunitas, kehidupan menggereja dan kehidupan bermasyarakan. Singkatnya, sungguh menyakitkan kalau kita dituduh yang bukan-bukan oleh orang lain.
Menghadapi kenyataan hidup yang demikian dalam kehidupan bersama dalam satu komunitas, dalam kehidupan menggereja, apa sikap kita untuk mengatasinya? Sementara orang akan mengambil sikap masa bodoh dengan apa yang orang lain katakan negatip tentang dirinya. Seringkali saya dengar keponakan-keponakan saya kalau mereka menunjukkan sikap masa bodoh tentang apa yang dicap/labeled terhadap dirinya dengan statement untuk merelativir pernyataan itu dengan mengatakan: “epen” alias “emang penting?” atau akan dijawab dengan statement “emang gua pikirin?” Sikap ini secara psikologis karena mereka tidak mau pernyataan-pernyataan yang tidak bertanggungjawab itu menghantui hidup mereka karena mereka mau menjaga ketenangan dan kedamaian dalam diri mereka sendiri. Pepatah mengatakan: “anjing menggonggong, kafila tetap berlalu”. Dipihak lain ada orang lalu mengambil sikap untuk membalas dendam terhadap orang yang melakukan penghakiman dan tuduhan yang tidak benar dan tidak bertanggungjawab itu.
Saudara, bagaimana sikap Yesus terhadap orang yang menantang dan menuduhNya dengan tuduhan-tuduhan yang tidak benar itu? Yesus mengambil sikap dialog dengan kaum Farisi itu betapapun itu tidak membawa banyak manfaatnya. Tetapi Yesus tetap melakukan dan menunjukkan sikap itu dengan menjelaskan satu aspek penting dan yang sangat hakiki tentang dosa yang melawan Roh Kudus…”Sesungguhnya semua dosa dan hujat anak-anak manusia akan diampuni, ya, semua hujat yang mereka ucapkan. Tetapi apabila seorang menghujat Roh Kudus, is tidak mendapat ampun selama-lamanya, melainkan bersalah karena berbuat dosa kekal.” Di dalam Katekismus dikatakan bahwa FITNAHAN adalah sikap yang sangat bertentangan dengan KEKUDUSAN DAN NAMA BAIK ALLAH. Karena kita semua diciptakan Tuhan sesuai dengan gambar dan rupa Allah, maka dengan fitnahan yang tilontarkan kepada orang lain itu bertenangan denan hakekat Allah sendiri yang adalah Kudus. Berarti nama baik Allah harus tetap dipelihara dan dijunjung tinggi. As the name of God is to be respected, considering the greatness of his majesty, so is every person entitled to a good name, for we are all made in the image and likeness of God.
Sama saudara/i ku yang terkasih.
Pada kesempatan ini kita semua diajak untuk mawas diri, karena sangat mungkin kita pernah memfitnah dan memberi label kepada orang lain? Karena apa yang telah kita lakukan itu sudah akan menghancurkan kehidupan dan masa depan orang lain dan kita sendiri telah berdosa kepada Tuhan yang telah menciptakan kita sesuai dengan gambar dan rupaNya. Semoga kita diteguhkan dan dikuatkan serta diterangi oleh RohNya yang Kudus untuk bisa selalu menjaga dan memelihara nama baik Allah dengan menghargai dan menghormati orang lain, ciptaanNya. Terimakasih dan sampai jumpa besok…

Tobat

Posted by admin on January 25, 2014
Posted in renungan  | 2 Comments

caravaggio-conversion-of-saint-paul-1600

Bacaan I      : Kis 22:3-19 atau Kis 9:1-22

Bacaan Injil : Markus 16: 15-18

Dalam website Majalah Hidup Katolik muncul satu pertanyaan cukup menarik: Tentang pertobatan Paulus, mengapa diceritakan dua kali dalam Kisah Para Rasul? Mengapa ada perbedaan rincian yang kontradiktif, yaitu tentang teman-teman Paulus (Kis 9:7 dan Kis 22:9). Mana yang benar? (http://www.hidupkatolik.com/2013/03/01/kisah-pertobatan-paulus)

Jawaban atas pertanyaan di atas pada dasarnya mengajak kita melihat, kebenaran “rincian” kisah (yang bukan hanya dua kali diceritakan tetapi tiga kali, plus Kis 26:12-18) bukan hal yang terpenting, karena kisah itu tidak ditulis sebagai laporan sejarah dalam pemahaman modern, tetapi sebagai pengantar pokok iman berangkat dari pengalaman Paulus: bahwa Yesus Kristus sungguh bangkit bahkan ia mengalami kehadiranNya secara langsung, bahwa keselamatan adalah rahmat yang diberikan cuma-cuma (Paulus bahkan dalam situasi berdosa berat saat menerima rahmat karena ia menganiaya pengikut Yesus), dan bahwa Yesus hadir dalam kesatuan dengan GerejaNya (lewat pertanyaan Yesus “mengapa engkau menganiaya Aku”) yang kemudian Paulus  refleksi sebagai Tubuh Kristus (Rom 12:5, 1 Kor 12:12,27, Ef 3:6, 4:12, Kol 1:24). Dalam banyak perbincangan iman pada umumnya, seperti juga dalam menjawab pertanyaan di atas, tak jarang kita perlu masuk ke kedalaman, tidak berhenti pada apa yang tertulis. Yang tersirat bisa jauh lebih luas dari yang tersurat. Dan itu bisa jadi salah satu panggilan pertobatan kita.

Seperti Paulus, sebagian dari kita cukup serius mendalami keagamaan kita dengan cara berusaha menambah pengetahuan kita atas hal-hal yang terkait dengan iman kepercayaan kita. Kita beri acungan jempol “Like” banyak-banyak untuk semangat ini. Sebagian dari kita yang mendapat pengetahuan lebih, ingin berbagi pengetahuan itu dan menggarami dunia mulai dari saudara-saudari seiman, dengan melihat dan menimbang pemikiran dan praktek keagamaan di sekitarnya sebagai bahan perbincangan. Kita beri acungan jempol “Like” lagi.  Sebagian dari kita, berbekal pengetahuan yang didapatnya dari belajar aneka sumber ini itu, mulai membagi dunia menjadi kelompok murid yang “murni”, kelompok murid yang “tidak cukup pengetahuan”, dan kelompok murid yang “sesat”. Tak jarang terhadap kelompok ketiga dilancarkan upaya untuk mengajak mereka “bertobat” kalau perlu dengan kata-kata dan tindakan yang keras. Maka muncullah “Saulus-Saulus” baru yang penuh semangat, seperti sebagian anggota inkuisisi Gereja yang dalam sejarah bertugas melawan dan menyingkirkan bidaah. Mereka menjadi penjaga “kebenaran” yang tangguh. Persoalannya, pencarian kebenaran justru tak jarang dihancurkan dalam kebekuan pemahaman akan doktrin. Maka tanpa disadari Gereja, kita, dapat mengulang peristiwa penyaliban Yesus, penganiayaan pengikut Sang Jalan, saat kita menghakimi dan menghukumi para pencari kebenaran yang merentang tafsir dan praktek iman yang melampaui pemahaman yang lazim. Untuk yang satu ini, tak bisa lah kita beri “Like”.

Jadi, apakah kemudian kita harus berhenti memperbincangkan soal liturgi yang benar, tentang praktek sakramen yang sesuai aturan Gereja, tentang pokok-pokok pemahaman teologi Gereja, karena bisa membuat kita jatuh pada kesalahan seperti Saulus? Mari kita resapi nasehat Injil, dari Yesus sendiri, saat Dia mengecam para ahli Taurat dan orang Farisi: “Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Mat 23:23). Melaksanakan tata aturan agama seperti persepuluhan (dalam konteks Yahudi) penting, tetapi ada yang lebih penting dan tidak boleh ditinggalkan: keadilan, belas kasih dan kesetiaan. Dalam bahasa Paus Fransiskus, kalau tidak hati-hati, Gereja bisa jatuh dalam bahaya “naval-gazing”, “self-referential”, sibuk dengan hal-hal dalam dirinya dan lupa untuk menjadi garam dan terang dunia memperjuangkan keadilan ekonomi dan sosial, menggarap persoalan kemiskinan, dan menebar kasih pada mereka yang terpinggirkan. Di satu sisi perbincangan “kebenaran iman” penting dan perlu dilakukan dengan keterbukaan hati, kesediaan masuk ke kedalaman dan mendengarkan pengajaran Roh Kudus, di sisi lain praksis cinta kasih tidak boleh diabaikan. Semoga semangat kasih dan keterbukaan terhadap gerak Roh Kudus yang mengajar kita, tetap menjadi dasar kita mengembangkan dan memperdalam iman. Di seputar altar, juga di “pasar”.

Suci

Posted by admin on January 24, 2014
Posted in renungan  | 1 Comment

79-Holy Spirit Coming

Bacaan I     : Efesus 3:8-12
Bacaan Injil : Yohanes 15:9-17

Dalam kotbahnya 24 Oktober 2013 yang lalu, Paus Fransiskus mengingatkan kita akan Panggilan Kesucian Universal:

We have been re-made in Christ! What Christ has done in us is a re-creation: the blood of Christ has re-created. It is a second creation! If before the whole of our life: our body, our soul, our habits, were on the road of sin, iniquity; after this re-creation we must make the effort to walk on the path of righteousness , sanctification – use this word: holiness. All of us were baptized: at that moment, our parents – we were just children – made the act of faith in our name: ‘I believe in Jesus Christ,’ who has forgiven us our sins’ I believe in Jesus Christ.”

“Really we are weak and many times, many times , we commit sins, imperfections – and is this the way of sanctification? Yes and no! If you get used to it: ‘My life is a bit so-so… I believe in Jesus Christ, but I live the way I want to’ Oh, no, that will not sanctify, that is wrong! It is a contradiction! If, however, you say, ‘I, even I am a sinner, I am weak,’ and if you go always to the Lord and say: ‘But, Lord, You have the strength, give me faith! You can make me clean,’ [and if] you let yourself be healed in the Sacrament of Reconciliation – yes, even our imperfections are used along the way of sanctification.

Sometimes we say ‘Christians at half-speed’, who do not take this seriously. We are holy, justified, sanctified by the blood of Christ: Take this sanctification and carry it forward!

Hari ini kita peringati pesta St Fransiskus de Sales, kelahiran Perancis pada tahun 1567. Dia dikenal sebagai uskup, penulis, pengkotbah, pembimbing spiritual yang ulung dan pendiri Ordo Visitasi. Tulisannya yang paling terkenal adalah The Introduction to the Devout Life, yang masih dibaca dan dipelajari hingga kini.

Berlawanan dengan pemahaman pada jamannya, dalam bukunya itu dia menunjukkan bahwa panggilan kesucian bukanlah untuk sekelompok orang elit. Ungkapan kemuridan seseorang termasuk hidup doa dan rohaninya juga pada akhirnya berbeda-beda tergantung panggilan, tanggung jawab dan aktivitasnya. Seorang bapak dalam keluarga misalnya, tidak bisa meniru cara hidup seorang biarawan dan sebaliknya seorang biarawan tidak bisa hidup seperti seorang pengusaha. Ia juga mengingatkan bahwa tak ada orang yang begitu baiknya sehingga tidak dapat dibelokkan oleh kuasa dosa, namun sebaliknya juga tidak ada orang yang begitu buruknya hingga tidak dapat diubah oleh rahmat Tuhan.

Hari ini, dengan pengantaraan Santo Fransiskus de Sales, mari kita mohon rahmat keberanian menjawab panggilan akan kesucian itu seraya merenungkan sabda Tuhan ini: “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.“ (Yoh 15:16)

 

Mengenal Profil Para Nara Sumber

Posted by admin on January 23, 2014
Posted in news  | 2 Comments

Fr Al Mary Ardi Handojozen?o, SJ

My Pics

 

 

Aloysius Maria Ardi Handojoseno SJ was born in 1969 in Tegal, Central Java, Indonesia. He is an alumnus of the Jesuit School, Loyola College, Semarang, and he received his Bachelor Degree in Electrical Engineering from ITS Surabaya.

He joined Society of Jesus in 1998 after working for a couple of years as a lecturer at Widya Mandala Catholic University Surabaya. He did his Philosophy in STF Driyarkara Jakarta, his regency as a Campus Minister and a lecturer in Sanata Dharma University Yogyakarta. Then he was sent to Melbourne to do his Theology in the United Faculty of Theology. After his ordination in Yogyakarta in mid 2008, he worked as an assistant parish priest in the parish of St Anne, Jakarta.

In preparation for his future ministry back at Sanata Dharma University, Fr Ardi came to Sydney and obtained his Master of Engineering at UTS. He is now working on his PhD on Biomedical Engineering-Health Technology while happily sharing community life and celebrating the sacraments with the Jesuit Community in the Parishes of Our Lady of the Way, North Sydney.

Translate »