Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Panggilan Menjadi Murid Kristus

Posted by admin on September 9, 2014
Posted in Podcast 

Apostles

Berdoalah di saat hening

Posted by admin on September 8, 2014
Posted in renungan 

berdoa

Bacaan Lukas 6:12-19

 Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah. Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul: Simon yang juga diberi-Nya nama Petrus, dan Andreas saudara Simon, Yakobus dan Yohanes, Filipus dan Bartolomeus, Matius dan Tomas, Yakobus anak Alfeus, dan Simon yang disebut orang Zelot, Yudas anak Yakobus, dan Yudas Iskariot yang kemudian menjadi pengkhianat. Lalu Ia turun dengan mereka dan berhenti pada suatu tempat yang datar: di situ berkumpul sejumlah besar dari murid-murid-Nya dan banyak orang lain yang datang dari seluruh Yudea dan dari Yerusalem dan dari daerah pantai Tirus dan Sidon.

Saya selalu ingat kakek saya yang berdoa tiap jam 2 pagi di depan gua Maria rumahnya. Dia mau bangun pagi, bukan hanay berdoa untuk kebutuhannya sendiri, tapi dia menyebut orang lain yang tinggal di sekitarnya. Mendoakan, memberkati, serta menyerahkan seluruh orang yang dikasihi pada Allah. Dia mencari waktu yang paling tenang dan dalam, di tengah keheningan menjelang pagi, dia berdoa setiap hari.

Itulah yang dilakukan oleh Yesus: berdoa semalaman seorang diri. Yesus masuk dalam keheningan, mencecap kasih dan kesatuan dengan Allah. Apa yang dihasilkan dari doa yang mendalam semalam-malaman ini? Doanya menghasilan komunitas orang-orang yang dipilihNya sebagai murid. Doanya menghasilkan hidup baru komunitas Gereja dan pelayanan. Selesai memilih murid, Dia meneruskan mewartakan sabda, menyembuhkan, mengusir setan, dan mengajar. Doanya menghasilkan kehidupan komunitas orang beriman.

Berdoalah di tengah keheningan dengan kehendak yang kuat! Berdoalah bukan hanya untuk kebutuhan diri sendiri, tapi juga berdoa untuk kehidupan orang lain, teman, sahabat, dan kelanjutan hidup Gereja kita. Dengan berdoa, kita membagikan energi positif dan meluaskan berkat Allah yang dianugerahkan pada kita, menyebar pada orang di seputar yang kita doakan hari ini.

Maka, berdoalah di tengah keheningan dengan kehendak yang kuat dan tulus!

Hukum

Posted by admin on September 6, 2014
Posted in renungan 

biblical-laws_724_481_80

Bacaan I      : 1 Kor 4:6-15
Bacaan Injil : Lukas 6:1-5

Ibu setengah baya itu datang ke ruang tamu pastoran usai misa pagi dengan wajah murung dan nampak berbeban berat. Ia pun mengadu: “Romo, beberapa hari lalu seorang Ibu berkata pada saya, bahwa saya tidak boleh menerima komuni. Saya tanya: mengapa? Dia bilang, dia tahu perkawinan saya bukan perkawinan Katolik, dan itu menjadi halangan bagi saya untuk menerima komuni. Berpuluh tahun sudah berlalu sejak pernikahan itu, dan saya tidak pernah tahu bahwa kalau saya menikah bukan dengan tatacara Gereja, saya tidak boleh menerima komuni. Suami saya Hindu, Romo, dan saat itu kami menikah secara sipil saja, di desa kami. Anak-anak kami dibaptis Katolik dan rajin ke gereja sampai sekarang. Dan Romo tahu saya sendiri juga mendapatkan keteduhan hati dengan sering ikut misa harian pagi. Sejak ditegur Ibu itu, saya tidak pernah maju menerima komuni. Saya tetap datang misa harian juga, tetapi rasanya saya jadi agak hampa. Saya sangat rindu untuk bisa komuni lagi…”

Injil hari ini menampilkan Tuhan Yesus yang membela murid-muridNya yang kedapatan memetik bulir gandum, jenis aktivitas yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan pada hari Sabat itu, menurut beberapa orang Farisi. Sang Guru pun menunjukkan bahwa dalam sejarah Israel, suatu kali Daud dan para pengikutnya juga melanggar peraturan dan hukum agama (Yahudi) dengan memakan roti sajian yang hanya diperuntukkan bagi para imam. Kemudian Ia menandaskan pesanNya: “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat”.

Menarik untuk mendapatkan bahwa perikop setelah persoalan para murid yang memetik gandum pada hari sabat ini, Lukas menempatkan penyembuhan orang pada hari Sabat. Dalam peristiwa ini, lebih jelas lagi kriteria baru yang perlu menjiwai pelaksanaan dan penilaian atas hukum hari Sabat: nilai kebaikan sebuah tindakan melampaui tradisi agama yang dibangun di atas tafsir atas hukum pokok dari Allah. Tradisi dan hukum selalu perlu ditimbang dengan kritis dengn esensi keberadaan hukum tersebut.

Kardinal Walter Kasper baru-baru ini menulis artikel bagus di majalah America. Ia menyorot pentingnya menyadari bahwa Gereja adalah sakramen, tanda kehadiran kasih Allah dalam Kristus di dunia. Gereja juga sekaligus menjadi obyek belas kasih Allah karena dibangun dari para anggota yang berdosa, yang harus senantiasa mempertanyakan pada diri sendiri: sudahkah Gereja menghidupi semangat belas kasih Allah itu? Tanpa mempraktekkan sendiri apa yang diwartakannya, dengan menjadi kaku dan keras, Gereja tak lagi menjadi Gereja Yesus Kristus.

Di sisi lain, ada bahaya salah paham dan salah perwujudan manakala belas kasih didegradasi menjadi “cheap grace” yang menjadi pembenaran atas dosa, bukannya atas si pendosa. Dalam refleksi Dietrich Bonhoeffer: “cheap grace” adalah pewartaan pengampunan tanpa mensyaratkan penyesalan, pembaptisan tanpa disiplin Gereja, absolusi tanpa pengakuan dosa pribadi. Disiplin Gereja yang mengalir dari kuasa yang diberikan Tuhan Yesus pada Petrus dan para murid (Mat 16:19,18:18), menjadi sebuah “obat yang pahit” namun dibutuhkan.

Disinilah kebijaksanaan menjadi sangat penting, untuk menghindari dua kutub ekstrim yang sama-sama keliru: ekstrim tegas keras dan ekstrim laxism apa saja OK. Belas kasih praktis muncul dalam discernment dan kebijaksanaan Gereja, yang memadukan pendekatan hukum dan pastoral.

Dalam kisah Sang Ibu tadi, Gereja mendampingi, mendengar dan memberi jalan keluar. Ia akhirnya bisa difasilitasi untuk meresmikan pernikahannya –meski sudah berpuluhtahun berlalu – lewat salah satu kausul hukum kanonik Gereja: sanatio in radice (penyembuhan pada akarnya) (KHK 1161:1). Senyumnya pun kembali mengembang. Ia dapat menerima santapan rohani komuni suci kembali. Andai seseorang mempertanyakan, kini ia bisa menunjukkan surat perkawinan Gereja. Gereja telah menunjukkan secara nyata, Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat, dan bahwa cinta dan belas kasih adalah hukum yang utama. Karena Allah adalah Kasih.

San Juan Capistrano

Posted by admin on September 5, 2014
Posted in videocast 

Pelayan

Posted by admin on September 5, 2014
Posted in renungan 

bucket with ice on a black backgroundBacaan I : 1 Kor 4:1-5

Empat belas tahun yang lalu, Malcom Gladwell menulis buku menarik, “The Tipping Point”. Buku ini membahas tentang daya ledak sebuah peristiwa kecil yang menciptakan fenomena perubahan besar. Berdasar riset atas wabah penyakit Sipilis di Baltimore tahun 1995-1996, awal mula trend sepatu Hush Puppies, serta macam-macam wabah lain, ia menyimpulkan ada 3 hukum the Tipping Point: the Law of the Few, the Stickiness Factor and the Power of Context. Wabah penyakit maupun sosial adalah fungsi dari orang-orang yang menyebarkan “agen” yang menular, “agen” yang menular itu sendiri, dan konteks beroperasinya “agen” tersebut.

Menarik untuk menggunakan teori Gladwell ini untuk meneropong sebuah wabah yang mulai mencuat tanggal 15 Juli yang lalu. Chris Kennedy, seorang pemain golf profesional di Saratosa, dinominasi seorang temannya untuk berpartisipasi dalam Ice Bucket Challenge yang belum punya sasaran untuk proyek charity tertentu. Mengingat saudaranya sepupunya, Anthony yang yang menderita ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis-Lou Ghrig’s disease), ia memposting video Ice Bucketnya dengan menominasi istri Anthony, Jeanette Senerchia sambil menyatakan intensi tantangannya untuk memberi sumbangan pada riset ALS jika yang bersangkutan memilih untuk tidak melayani tantangan mengguyur diri dengan air es tersebut.

Tak lama kemudian video aktivitas Ice Bucket Challenge untuk ALS itu merebak meluas menyentuh banyak orang di kota kecil Pelham, N.Y. di mana mereka tinggal. Akhirnya tantangan itu sampai pada Pat Quinn dari Yonkers, N.Y. dan Pete Frates di Boston, keduanya telah didiagnosa menderita ALS. Selanjutnya adalah sejarah yang terus bergulir sampai sekarang. 29 Juli sumbangan mulai mengalir ke Asosiasi ALS dan minggu lalu jumlah sumbangan di seluruh dunia dari aktivitas yang mendadak populer ini telah melampaui angka $100 juta, meningkat jauh dari $2.8 juta dalam periode yang sama sebelumnya.

Menurut kaca mata analysis berbasis teori Gladwell: Christ Kennedy, Pat Quinn dan Peter Frates adalah sekumpulan orang luar biasa yang dalam kerja mereka menjadi pemicu wabah sosial tantangan buket lewat jaringan sosial mereka. Aksi mengguyur diri dengan air dingin menjadi seperti virus yang melekat dalam benak banyak orang dan menular. Perpaduan antara model komunikasi sosial networking via video, populernya foto atau video selfie, serta model pemasaran ala surat berantai menjadi konteks yang mendorong wabah baru: Ice Bucket Challenge for ALS.

Dibalik pro kontra wabah ini, ada satu keberhasilan yang lebih dari terkumpulnya dana yang besar untuk riset and penanganan korban penyakit ALS ini: makin banyak orang tahu tentang ALS. Jutaan orang yang terlibat dalam wabah ini sekaligus menjadi duta-duta ALS, pelayan saudara-saudari yang menderita ALS.

Paulus dalam suratnya pada jemaat di Korintus mengingatkan akan tugas tanggung jawab mereka sebagai pelayan Kristus, agar setiap orang yang berjumpa dengan mereka merasakan misteri kasih Tuhan. Agar misteri iman itu makin menular dan menyebar. Kita pun dipanggil dan ditantang, bukan untuk menuangkan air dingin di kepala kita, tetapi untuk memancarkan kehadiran Kristus pada setiap orang yang kita jumpai. Semoga kita mampu melaksanakan panggilan dan menjawab tantangan itu, menjadi pelayan kasih Tuhan.

Translate »