Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Matius, 1:18-2

Posted by admin on December 17, 2015
Posted in renungan 

Jumat, 18 Desember 2015

Matius, 1:18-2; Jeremiah 23:5-8

Yosep merasa gamang dan tak pasti. Bagaimana mungkin, tunangannya Maria mengandung seorang bayi tanpa sepengetahuannya? Apa yang terjadi sesungguhnya? Sebagai seorang lelaki normal pada umumnya, mungkin dalam hati kecilnya ada keterlukaan dan kekecewaan. Bagaimanan mungkin sang gadis pujaan hati yang sangat dia hormati dan puja-puji menempatkan dia dalam situasi yang tak menetu seperti itu? Yosep ragu dan tidak tahu apa yang mesti dia lakukan. Dia merasa bahwa dia tidak mungkin bertanggung jawab tetapi dia tidak sampai hati untuk meninggalkan Maria begitu saja apalagi mempermalukan Maria karena dia menyayangi Maria. Allah mengetahui keraguan macam apa yang berkecamuk di dalam hati Yosep. Namun, Allah pun tahu bahwa bahwa Yosep adalah lelaki yang bertanggung jawab dan penyayang, seorang yang saleh, setia dan lurus hatinya. Ketika Allah meminta kerelaannya untuk mengikuti rencana kebesaran Allah, Yosef dengan sepenuh hati menerima dan melaksanakannya.

Yesus beruntung mempunyai ayah dan ibu yang sungguh lurus hati dan mendengarkan apa yang direncanakan Allah bagi mereka, sekalipun pada awalnya rencana itu kedengarannya berisiko, penuh tantangan, mustahil dan bodoh di mata manusia. Sebagaimana cerita dalam Injil, Yosep tho tetap bertanggung jawab untuk menjaga Maria. Bahkan diteguhkan oleh Allah sendiri, dia tidak ragu untuk mengambil Maria menjadi isterinya. Dia bukan saja seorang yang setia. Dia adalah seorang yang mau berbela rasa, seorang yang tidak membiarkan orang yang dia kasihi berjuang sendiri dalam kesia-siaan, orang yang percaya bahwa di ujung derita selalu ada asa dan harapan. Sekalipun tidak banyak cerita Injil yang berbicara tentang Yosep, namun teladan kesetiaan dan ketaatannya pada kehendak Allah adalah bentuk paling paripurna dari kesempurnaan seorang Santo yang dipercaya Allah untuk menjadi Ayah, Bapa di dunia bagi Yesus, Putera-Nya.

St Yosep percaya bahwa Allah mempunyai sebuah rencana keselamatan besar dalam diri Yesus dan dalam diri Maria. Sebagai orang yang patuh dan setia ada Allah, Yosef tanpa secuil pun keraguan menerima realita apa adanya. Alih-alih marah dan berang kepada Maria, Yosef berserah sepenuhnya kepada Allah. Yosef tidak mengatakan satu kalimat pun dalam Injil. Namun kita tahu bahwa seruan: “Terjadilah padaku, Ya Allah menurut kehendak-Mu tidak saja diucapkan Maria tetapi juga dilantangkan oleh Yosep sendiri.” Sikap pasrah dan tawakal Yosef mendapat pahala setimpal. Dia dikuatkan dan dihibur Allah. Sadar akan kepercayaan menjadi ayah bagi Yesus, Yosef bersedia menerima setiap risiko duniawi.

Apakah kita tetap berkanjang untuk setia pada janji Allah seperti Yosep, terutama ketika kita berhadapan dengan ketidakpastian dan kegamangan? Apakah kita masih menggunakan pertimbangan kemanusiaan yang sehat dan rasa belas kasihan dan simpati ketika berhadapan dengan kerumitan dan persoalan sesama kita? Ataukah kita melarikan diri dan membiarkan orang tertindih beban derita sendirian? Yosep dalam Injil hari ini membuka sebuah perspektif baru bagi kita bahwa kesalehan dan kelurusan hati, simpati dan empati kepada sesama adalah kualitas hidup yang mesti kita perjuangkan sepanjang hidup kita. Kita berdoa kepada Allah agar semangat berkanjang untuk percaya pada penyelenggaraan ilahi tetap menjiwai seluruh kehidupan kita seperti St. Yosef sendiri. Amin.

Matius: 1:1-17

Posted by admin on December 16, 2015
Posted in renungan 

Kamis, 17 Desember 2015

Matius: 1:1-17; Kejadian: 49:2,8-10

Saya yakin bahwa kita semua memiliki sejarah leluhur dan nenek moyang kita masing-masing. Dan saya bersyukur kalau masih ada orang tua yang sempat berkisah tentang sejarah orang tuanya, kakek nenek anak-anak mereka kepada putera-puterinya. Sebab, dalam zaman di mana segala sesuatu menjadi sekian tunggang langgang dan hiruk-pikuk sekarang ini, kembali kepada akar keluarga tempat kita berasal bukanlah suatu hal yang salah. Kita perlu tahu dari mana kita berasal, dari keturunan siapa, dan apa yang bisa kita pelajari dari sejarah keluarga dan orang tua serta leluhur kita. Pengalaman pahit manis kehidupan mereka dapat menjadi bekal yang sangat handal lebih-lebih ketika kita jauh dari mereka bukan hanya dalam jarak tetapi juga karena zaman yang berbeda.

Bukan tanpa maksud, Santo Matius memulai injilnya dengan silsilah Yesus Kristus. Riwayat keturunan para leluhur Yesus dibeberkan secara mendetail satu per satu. Untuk Matius sejarah silsilah ini penting. Sejarah itu memberi kepada kita gambaran tentang akar biologis nenek moyang Yesus Kristus sekaligus membantu kita mengerti apa-apa saja warisan mereka bagi sejarah keselamatan. Santo Matius secara gamblang menjelaskan bahwa keturunan Yesus dapat dinapaktilas mulai dari Abrahman, Bapa dari kaum beriman sampai pada garis Daud, raja orang Israel. Yesus Sang Mesias, adalah keturunan langsung dari pohon utama Abraham dan Daud. Allah dalam kasih setia-Nya memenuhi janji kepada Abraham dan Daud. Allah berjanji kepada mereka bahwa Ia akan mengirimkan seorang Raja sekaligus penyelamat untuk menjaga Israel dan membebaskan mereka dari musuh-musuh mereka.

Ketika Yakub memberkati anak-anaknya, dia menyatakan bahwa keturunan anaknya Yudah akan menerima janji kerajaan yang kita tahu terpenuhi dalam raja Daud. Kita juga menyadari bahwa berkat kerajaan juga terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Kerajaan Daud adalah kerajaan yang sifatnya fisik-duniawi. Namun KerajaanYesus Kristus keturunannya adalah kerajaan yang mencakup keselamatan paripurna jiwa dan raga, fisik dan psikis, mental dan spiritual. Yesus adalah pemenughan dari keseluruhan janji Allah kepada manusia dan semesta. Dia adalah batu karanag iman dan harapan bukan saja bagi orang Israel tetapi juga bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia.  Dia adalah penyelamat dan penebus dunia yang melunasi setiap hutang dosa kita dan membebaskan kita dari kungkungan perhambaan dosa dan setan. Dia mengangkat kita menjadi saudara/inya dan menjadi warga Kerajaan Allah. Dalam diri Yesus, kita menerima bukan saja penerimaan dalam Kerajaan Allah. Kita juga diangkat berkat inkarnasi, penyelamatan dan penebusannya untuk menjadi anak-anak dari Allah yang hidup. Kita bukan saja warga Kerajaan Allah. Kita juga adalah anak-anak Allah. Dalam diri Yesus, kita menemukan bahwa pohon keturunan kita bukanlah pohon keturunan manusiawi belaka tetapi juga pohon ilahi, sebab kita diciptakan oleh Allah sebagai citra-Nya dan sekalipun kita berdosa, kita tetap diselamatkan dan diangkat menjadi anak-anak Allah dalam penebusan Kristus sendiri. Bersama Yesus, kita masuk menjadi silsilah keluarga besar Allah sendiri.

Dengan menerima Yesus ke dalam hidup kita dan merajai hati kita, kita dipandang Allah sebagai anak-anak-Nya, Anak-anak Abraham dan Anak-anak Daud. Kita mengemban tanggung jawab pula sebagai imam untuk menguduskan hidup kita, sebagai raja untuk memimpin hidup ini dan sebagai Nabi untuk meluruskan lekak-lekuk hidup kita. Amin.

Lukas: 7:18-23

Posted by admin on December 15, 2015
Posted in renungan 

Rabu, 16 Desember 2015

Lukas: 7:18-23; Yesaya: 45:6-8, 18, 21-25

Waktu Yohanes menyuruh kedua muridnya untuk bertanya kepada Yesus apakah Yesuslah penyelamat yang dimaksudkan atau mereka mesti menanti orang lain. Yesus menjawab mereka untuk melihat perbuatan-perbuatan nyata yang sudah Dia lakukan. “ Pergi dan katakanlah kepada Yohanes, orang buta melihat, orang lumpuh berjalan kembali, orang kusta ditahirkan, orang tuli mendengar kembali, orang buta melihat kembali.” Yesus menekankan sebuah tindakan nyata bukan kebesaran figur yang kadang-kadang dihasilkan karena pencitraan palsu. Kesaksian kehidupan itu jauh lebih utama daripada beribu-ribu kata-kata saleh. Orang bisa berkotbah secara berapi-api tentang cinta kasih dan belas kasihan tetapi kalau dia sendiri tak pernah melaksanakan perbuatan cinta kasih dan belas kasihan itu dalam kehidupan sehari-hari maka percumalah segala kata-kata saleh itu. Kata-kata itu hanya sekedar lips service, pemanis bibir yang enak diucapkan tetapi nihil dalam realisasi nyata. Yesus menekankan kepada kedua murid Yohanes untuk melihat perbuatan konkret. Pewartaan kabar gembira mestilah berujung pada perbuatan-perbuatan cinta kasih yang nyata yang memampukan orang melihat kasih Allah yang menyentuh kehidupan mereka secara konkret. Pewartaan tidak boleh berhenti pada sekedar janji-janji indah dan ideal, kaat-kata yang kedengaran canggih dan menawan. Pewartaan mesti berbuah dalam tindakan cinta dan belarasa. Itulah bukti bahwa Sabda Tuhan sudah menjadi daging ketika Sabda itu tidak tinggal sebagai sabda tetapi betul-betul menjiwai seluruh aspek kehidupan kita.

Yohanes menyuruh kedua muridnya untuk bertanya pada Yesus perihal Mesias bukan karena Yohanes meragukan misi Kerajaan Allah dan kenabian Yesus. Jauh-jauh hari sebelumnya, Yohanes sudah menyatakan secara terang-terangan di sungai Yordan bahwa Yesuslah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Yohanes mengirimkan murid-muridnya untuk menyaksikan secara langsung apa yang dimaksudkan dengan keutamaan seorang pewarta. Dia ingin mereka melihat dengan mata kepala sendiri tanda dan bukti bahwa Sang Mesias sungguh hadir dalam diri Yesus dari Nazareth sebab antara apa yang dia ajarkan dan apa yang Dia buat, semuanya sinkron dan konsisten, semuanya terarah pada Allah dan kemuliaan-Nya.

Sebagaimana ramalan nabi Yesaya, Yesus adalah penggenapan dari setiap rahamalan para nabi berabad-abad sebelumnya. Dia datang dalam kekuatan Roh Kudus untuk membawa kebebasan dan kehidupan baru untuk semua mereka yang tertindas oleh penderitaan, kesakitan, dosa, perasaan bersalah dan roh-roh jahat. Perbuatan-perbuatan ajaib dan pengusiran setan adalah tanda langsung dari kekuatan dan kehadiran Allah dalam diri Yesus. Ketika orang ingin melihat bahwa kita sungguh orang Katolik yang sejati, kita tidak selalu perlu membuktikan dalam kata-kata bijak dan kalimat-kalimat canggih yang panjang. Tunjukkan kepada mereka kesaksian nyata dari perbuatan cinta kasih kita. Itu sudah cukup sebagai bukti iman, harap dan kasih kita pada Yesus. Amin.

Matius: 21:28-32

Posted by admin on December 14, 2015
Posted in renungan 

Selasa, 15 Desember 2015

Matius: 21:28-32; Zefanya: 3:1-2, 9-13

Pilihan dan keputusan yang kita buat saat ini selalu mengandung konsekuensi tertentu di masa depan. Kedua anak dalam cerita Injil yang kita dengarkan hari ini adalah satu contoh tipikal manusia yang memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan kehendak sesuatu yang dipercayakan kepada mereka. Yang lain bilang tidak, namun kemudian ia pergi untuk melakukannya. Yang satu bilang iya, namun tidak melaksanakannya. Yesus meneguhkan kita dalam injil hari ini bahwa keputusan kita untuk melakukan atau tidak melakukan kehendak Tuhan menentukan bagaimana masa depan keselamatan dan penebusan kita. Tentu rahmat keselamatan dan penebusan itu senantiasa terbuka bagi kita manusia. Namun rahmat keselamatan itu membutuhkan sebuah inisiatif dan keterbukaan dari pihak manusia untuk menerima dan melaksanakannya. Rahmat dapat bekerja kalau kita juga mau terbuka terhadap kerja rahmat itu dan berusaha menjalankannya secara praktis dalam segenap aspek kehidupan kita. Keputusan kita untuk bekerja berdasarkan gerakan rahmat Tuhan itu akan mempengaruhi kita dalam mewujudkan masa depan kita, baik di dunia ini maupun dalam masa yang akan datang, ketika Tuhan memanggil kita kembali kepada-Nya.

Cerita Yesus tentang dua anak dalam injil hari ini menjelaskan kepada kita tentang jalan menuju Kerajaan Surga. Ayah dalam ilustrasi Injil hari ini tentunya menjamin kehidupan anak-anaknya dengan memberikan mereka apapun yang mereka butuhkan. Apapun yang dia punya adalah juga kepunyaan anak-anaknya. Ia juga mempercayakan anak-anaknya dengan pekerjaan besar dalam kebun anggurnya. Betapa dia mengharapkan mereka mampu mengemban tanggung jawab tersebut secara penuh sebagai bukti tanda syukur, terima kasih dan loyalitas mereka.

Anak yang memberontak terhadap perintah ayahnya secara terang-terangan kemudian menyesali ketaktaatannya, mengubah keputusan untuk melaksanakan perintah ayahnya. Anak yang awalnya menyatakan ketaatannya kemudian justru menjadi anak yang tidak melakukan perintah ayahnya. Demi menuruti ego dan kesenangannya sendiri, ia melawan perintah ayahnya. Lalu, siapa kira-kira anak yang baik? Kedua anak tidak menaati perintah ayahnya- namun salah satunya bertobat dan melakukan apa yang dikatakan ayah-Nya. Dalam Injil hari ini, Yesus menunjukkan secara jelas bahwa maksud baik saja tidak cukup. Janji tidak pernah akan diperhitungkan tanpa realisasi nyata. Yesus berdoa bagi kita agar dalam maksud hati maupun dalam tindakan nyata, kita tetap setia berkanjang dalam kebaikan yang tertuju untuk kemuliaan Allah dan kebaikan sesama. Tranformasi hati dan budi mestilah diikuti oleh sikap terima kasih dan respek terhadap setiap kepercayaan yang Tuhan beri dalam hidup kita. Ketaatan kita pada Tuhan mestilah ketaatan yang tulus dalam kata dan perbuatan nyata. Amin.

Matius: 21:23-27

Posted by admin on December 13, 2015
Posted in renungan 

Matius: 21:23-27; Bilangan:24:2-7,15-17

Kadang-kadang ada saja orang yang suka nyentrik bertanya kepada kita, atas otoritas atau izin siapa, kita melakukan suatu hal atau tindakan yang benar. Ada yang betul-betul ingin tahu tetapi ada yang ingin menguji kesabaran kita. Dalam injil hari ini, kita melihat bagaimana respon Yesus terhadap imam-imam dan tua-tua bangsa Israel yang mempertanyakan atas otoritas siapa Yesus melakukan mujikzat dan pewartaan Kerajaan Allah. Mereka tidak melihat hasil positif dari perbuatan Yesus. Sebaliknya, mereka mempertanyakan otoritas. Seakan-akan segala hal yang dilakukan, sebaik apapun hasilnya, perlu mengantongi izin otoritas. Namun, secara sangat bijak, Yesus mempertanyakan ulang sikap serba formal dan resmi dari para pengujinya. Untuk Yesus, hukum yang paling utama adalah mengasihi sesama setotal-totalnya. Yang paling penting adalah bagaimana mempersembahkan komitmen dan dedikasi bagi kebaikan sesama.

Kadang-kadang, kita terperangkap dalam ketakutan. Kita takut kalau bertemu dengan penolakan. Kita tidak tahan kalau orang tidak setuju dengan apa yang kita buat sekalipun kita tahu bahwa hal tersebut pantas dan benar; dan sudah seharusnya kita lakukan. Karena takut ditolak dan dianggap berlawanan, kita menjadi orang yang membeo terhadap hal-hal yang tidak selalu benar. Karena ingin menghindar dari konfrontasi dan kritik, kita menjadi lembek dan tidak berpegang pada prinsip kebenaran.

Yesus mengatakan kepada para murid-Nya bahwa hanya kebenaranlah yang yang dapat membebaskan mereka. Kita perlu memiliki kebebasan untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan kebenaran, kejujuran dan kebaikan alih-alih menuruti segala sesuatu yang berlawanan dengan hati nurani, hal-hal yang membawa kita kepada kebohongan, tipu daya dan kejahatan.

Pelajaran berharga dari Injil hari ini adalah: sekalipun jalan menuju kebenaran dan kebaikan kadang-kadang adalah jalan yang sepi dan menantang namun itulah pilihan dan konsekuensi yang harus ditempuh pengikut Yesus. Patuh pada Roh kebenaran kristiani mesti dikedepankan. Yesus dan Yohanes Pembaptis ditolak bukan karena mereka menyesatkan orang banyak tetapi karena kebenaran yang mereka wartakan mengganggu kenyamanan segelintir orang yang merasa kepentingan ego terselubungnya dibahayakan. Mereka mengalami dirinya ditolak dan dimusuhi karena kebenaran yang mereka wartakan sangat terang-benderang.

Saudara/i, selama kita hidup di dunia, kita dihadapkan pada pilihan seperti itu. Kita diberi kesempatan memilih yang benar atau salah. Kita tidak mungkin berada pada wilayah abu-abu melulu. Kita harus menjatuhkan pilihan pada yang benar atau salah. Kalau ya, katakan ya. Kalau tidak katakan tidak. Apa yang berada di luar hal itu, berasal dari si Jahat. Yesus dan Yohanes sudah mengambil risiko untuk mengatakan yang benar apapun risikonya. Kebenaran tidak selalu bersahabat tetapi kita tahu kebenaran pada akhirnya mendapat pahal surgawi. Amin.

Translate »