Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Hitam Putih

Posted by admin on May 22, 2016
Posted in renungan 

black-and-white

Bacaan Injil: Markus 10:17-27

Waktu kita kecil, cara berpikir kita cenderung hitam putih. Di dunia ini yang ada benar atau salah. Tidak ada abu-abu. Cara pikir yang sederhana. Ada yang indah dari cara berpikir yang sederhana itu. Kita jadi mudah diajar, mudah percaya, dan mudah diarahkan. Tentu saja keindahan itu hanya benar dan baik kalau pengarah dan pengajarnya benar-benar menuntun kita pada Sang Jalan, Kebenaran dan Hidup, bukannya menjadi penyebar petaka untuk sesama.

Salah satu cara menggoncang kesadaran kita akan pentingnya memilih yang baik dan meninggalkan yang buruk adalah ingatan akan tujuan hidup. Setelah segala hiruk pikuk drama di dunia ini, senang dan susah hidup kita, akhirnya tinggal ini yang penting: setelah kematian menjemput kita, kehidupan macam apa mau kita peluk, hidup kekal, atau mati abadi? Hidup dalam kepenuhan keutuhan sukacita dan damai, atau mati dalam penderitaan dan kesia-siaan tak berujung. In short, surga atau neraka. Putih atau hitam. Hal ini menjadi penting, karena meski kita percaya akan Kerahiman Ilahi yang senantiasa melahirkan kehidupan bahkan di tengah dan usai badai sengsara duka derita, kebisaan dan kebiasaan kita memilih yang benar, baik dan indah, memudahkan transisi kita menjadi warga Kerajaan Surga. Di sana tak ada lagi ratap tangis dan kertak gigi, karena kasih menjadi satu-satunya bahasa. Sang Guru mengajarkan bahwa bahasa langit yang memancarkan kebenaran, kebaikan dan keindahan itu semestinya kita pelajari, dalami dan nyatakan dalam hidup kesementaraan kita, karena menjadi cara kita menyatakan kemuridan kita, cara orang mengenali kehadiran Dia dalam diri kita. Bahasa ini menempatkan kita secara jelas dan tegas pada wilayah putih, menyatukan tujuan dan cara berjalan menuju kesana.

Apa yang harus kuperbuat untuk mendapatkan hidup abadi? Seberapa serius kita bertanya ditunjukkan dari seberapa sungguh kita siap menanggapi jawaban dari Yang Ilahi. Ternyata kesempurnaan hidup itu ada tingkatannya. Tingkat minimal adalah menjalankan 10  perintah Allah: jangan membunuh, jangan berbuat zinah, jangan mencuri, jangan bersaksi dusta, hormati bapa ibumu. Dalam putih ada yang lebih putih: meninggalkan segala sesuatu, memberikan segala untuk mereka yang miskin, menjadi lebih miskin dari orang miskin, dan mengikuti Yesus. Untuk orang yang sedang bergulat jatuh dari kebaikan ke kejahatan atau dari jurang gelap turun ke tempat yang lebih gelap lagi, hal ini tidak menarik. Untuk mereka yang menginginkan hidup dalam ketinggian dan kemuliaan, ini panggilan.

Orang kaya yang saleh dan ingin lebih saleh lagi, pergi dari hadapan Yesus dengan bersedih hati. Hasrat hatinya memiliki hidup rohani yang lebih sempurna ternyata tidak sedalam yang dia impikan, Ah… cerita sederhana bukan? Cerita kita semua juga. Kita rindukan dunia hitam putih yang sederhana, yang membuat kita mudah memilih yang putih karena yang hitam jelas legam dan yang putih jelas jernih. Namun dunia ternyata berjuta warna. Sulit sekali memejamkan mata, menutup telinga, mengelukan lidah terhadap seribu satu goda yang mengaburkan pemahaman dan kesetiaan berjalan untuk meraih hidup yang lebih sempurna, yang lebih sejati. Toh kita tak boleh berhenti bertanya. Mungkin dengan rendah hati, kita perlu sedikit mengubah formula: Guru yang baik, apa yang harus kulakukan untuk bisa melakukan yang perlu untuk mendapatkan kehidupan abadi?

Sabtu, 21 Mei 2016

Posted by admin on May 20, 2016
Posted in renungan 

 

Injil: Markus 10:13-16

Orang tua adalah contoh iman yang hidup bagi anak-anak mereka. Apa yang mereka tunjukkan kepada anak baik positif maupun negatif akan ditiru dan diulang oleh anak mereka baik secara langsung maupun tak langsung. Orang tua yang membawa anak-anak mereka kepada Yesus tentu memiliki maksud mulia. Mereka ingin supaya Yesus menumpangkan tangan-Nya ke atas mereka dan memberkati mereka. Mereka sungguh menyadari kuasa yang menyembuhkan dan meneguhkan dari sentuhan Yesus.

Pada kesempatan tersebut, Yesus juga mencegat para murid-Nya yang melarang anak-anak datang kepada Yesus. Para murid mungkin merasa letih dan mereka tahu bahwa tentu Yesus lebih letih lagi. Namun, Yesus mengingatkan mereka untuk tetap mengutamakan pelayanan dan perhatian lebih-lebih kepada mereka yang sering diacuhkan dan disepelekan seperti anak-anak tersebut. Sikap Yesus yang tetap menerima dan menghargai antusiasme anak-anak untuk datang kepada-Nya ini membuktikan bahwa dalam hati Allah yang penuh kerahiman, selalu ada ruang kasih yang senantiasa siap merahimi setiap orang terlebih lagi mereka yang dipinggirkan dan sering dianggap tidak layak.

Untuk Allah, dalam Yesus, tidak ada satu orang pun yang tidak penting. Tidak ada satu orang pun yang dipinggirkan. Semuanya dihargai dan diapresiasi. Setiap orang itu unik, spesial dan tak tergantikan. Everybody counts. Yesus menyentuh kita bukan saja sebagai komunitas tetapi juga sebagai pribadi. Dia datang kepada setiap orang sebagai pribadi sehingga dia sungguh menyentuh, menyembuhkan dan membebaskannya secara pribadi. Yesus pun menghormati anak-anak. Sebagai umat Katolik, mari kita juga hormati kepentingan dan kebutuhan anak-anak kita. Tunjukkanlah kebaikan yang tulus dan penerimaan yang bersahabat kepada anak-anak kita. Kita mesti bersahabat dengan mereka dan tentu mengundang serta membimbing mereka kepada Yesus, kepada iman katolik yang benar. Doakan mereka. Dukung mereka. Jangan jatuhkan semangat dan antusiasme mereka. Hindari setiap bentuk label dan cap-cap negatif yang hanya melemahkan dan menghancurkan daya juang mereka. Yesus mendoakan anak-anak tersebut dengan penuh kasih, agar kita juga di tengah-tengah segala kesibukan kita yang beraneka macam, tetap berdoa bagi anak-anak kita, tetap mendukung mereka di manapun mereka berada, di mana pun mereka belajar, entah di Amerika, Eropa atau Asia ataupula Afrika. Jangan berhenti berdoa bagi kita satu sama lain sebab Yesus tidak pernah berhenti berdoa dan memberkati seluruh perjalanan hidup kita. Semoga. Amin.

Jumat, 20 Mei 2016

Posted by admin on May 19, 2016
Posted in renungan 

 

Injil: Markus 10:1-12

Perkara tentang perkawinan dan perceraian adalah tema paling besar dan juga seringkali sarat dengan drama dan kontroversi. Sinetron-sinetron kita di Indonesia dan juga acara-acara selebriti sering menampilkan adegan-adegan perkawinan yang gagal, kawin-cerai, sebagai sesuatu yang tidak lagi mesti disayangkan tetapi dirayakan dan digembar-gemborkan. Seakan berita kawin cerai itu adalah menú utama yang mesti disajikan kepada publik agar semakin mengumbar sensasi dan memicu kontroversi. Seakan-akan pemberitaan vulgar penuh sensasi itu menjadi suatu sajian yang makin umum dan orang anggap: “Ah normal-normal aja kok kawin-cerai, ngapain dipikirin terlalu serius?”

Dalam Injil hari ini, Yesus memecahkan persoalan perceraian dengan menghantar mereka untuk melihat kembali maksud dan tujuan utama dari penciptaan, merasakan apa sesungguhnya rencana Tuhan bagi umat manusia. Dalam kitab Kejadian, kita baca bahwa sesungguhnya maksud dan ideal yang Allah mau tunjukkan kepada umat manusia sejak awal penciptaan adalah supaya mereka (pria dan wanita, suami dan isteri), dua pribadi yang menikah mesti menjadi satu kesatuan badani dan jiwa yang utuh dan tak terpisahkan (indisolubilitas). Itulah ideal relasi yang tak terpisahkan dari Adam dan Hawa. Mereka diciptakan untuk satu sama lain dan tidak untuk yang lainnya. Mereka adalah contoh sempurna dan simbol ideal dari setiap persatuan kudus perkawinan.

Yesus kemudian menjelaskan bahwa Musa memberikan izin secara berat hati kepada beberapa orang Israel untuk bercerai justru karena kekerasan hati dan kekepalabatuan mereka ekstrim (extreme stubbornness). Yesus mau menegaskan bahwa apa yang Musa putuskan secara keliru kepada orang Israel itu justru didorong oleh sikap mereka yang buta mata hati dan tuli nuraninya. Untuk Yesus, apapun pilihan hidup itu, kesetiaan adalah harga yang mahal dan tidak boleh ditawar-tawar. Kesetiaan itu bukan sebuah keutamaan yang hari ini hangat, besok suam-suam kuku dan lusanya dingin dan membeku. Kesetiaan entah dalam kehidupan pernikahan maupun dalam kehidupan selibat (imam/ membiara) adalah sebuah panggilan istimewa dari Allah sendiri. Saat kita berjanji untuk setia, kita bukan hanya berjanji kepada pasangan kita (suami pada isteri atau sebaliknya) atau pada diri sendiri dan orang yang hadir (dalam upacara tahbisan dan kaul) tetapi kita juga berjanji pada Allah. Kita melibatkan Allah untuk terlibat dalam kesetiaan kita, untuk turut menguatkan dan mengutuhkan kesetiaan itu. Kesetiaan itu memang mahal dan dalam zaman modern menjadi sebuah hal yang semakin jarang. Namun apa yang jarang itu bukan berarti tidak mungkin. Tuhan sudah setia pada kita sampai mati. Petrus pernah tidak setia tetapi akhirnya bertobat. Thomas pernah tawar hati tetapi akhirnya percaya. Mari kita tetap belajar setia pada Tuhan, pada keluarga dan pada diri sendiri. Allah yang memanggil kita supaya setia akan setia pula menguatkan dan menjaga kita supaya jangan terantuk. Amin.

Mukjijat Bunda Maria bersama 3 Merpati (Miracle of Doves)

Posted by admin on May 19, 2016
Posted in news  | 1 Comment

 

fatimadove.jpg.scaled600Pada tahun 1946 ketika Portugal menyelenggarakan ulang tahun yang ke 300 “Immaculate Conception”, diadakanlah perarakan Patung Bunda Maria Fatima , yang di mulai dari Fatima di Cova de Iria dimana Bunda Maria menampakan diri kepada 3 anak, dan berakhir di Gereja Our Lady of Fatima di Lisbon , jaraknya kira2 70 miles

Para pengawal/ pembawa tandu Patung Bunda Maria berjalan sejauh 70 miles bergantian tanpa alas kaki dan diikuti oleh ribuan umat sepanjang perjalanan. Doa Rosario , adorasi serta Misa kudus diadakan di setiap kota yang dilalui.

Sebagai puncak acara yaitu tanggal 1 December 1946, dilepaskanlah 6 ekor burung merpati putih, dimana 3 diantara 6 merpati putih yang dilepaskan langsung terbang dan hinggap di kaki Patung Bunda Maria Fatima yang pada saat itu sedang diarak dan mengikuti perjalanan hingga di Lisbon.

Ketiga burung merpati tersebut tidak terusik dengan keramaian umat dan tetap hinggap di kaki Patung Bunda Maria , bahkan umat mencoba memberikan makanan dan minuman kepada ketiga burung merpati tersebut, namun ketiganya tidak terusik.

Pada Tanggal 5 December 1946,  perarakan patung Bunda Maria Fatima tiba di Gereja Our Lady of Fatima, Lisbon. Pada tanggal 7 December 1946, ribuan umat serta anak2 melakukan prosesi lilin bersama patung Bunda Maria Fatima dan dilanjutkan dengan Misa Agung hingga pagi hari.

Ketika Misa Agung diadakan tepatnya saat konsekrasi, 2 diantara 3 burung Merpati yang berada di kaki Bunda Maria terbang dan hinggap disebelah kiri dan kanan altar sambil membentangkan sayapnya , sedangkan merpati yang ketiga masih berada di kaki Bunda Maria. Ketika Romo mengangkat Hosti dan berdoa “Inilah Anak Domba Allah…”, merpati yang ketiga naik ke mahkota Bunda Maria dan membentangkan sayapnya

 

Melihat “Mukjijat Merpati” (Miracle of Doves) ,Bapak Uskup Lisbon mengirim surat kepada Sr Lucia meminta agar Patung tersebut bisa dibawa ke tempat2 lain didunia . Dalam balasan Sr Lucia, meminta agar dibuatkan Patung serupa yang dipahat oleh Jose Thedim pemahat asli Patung Bunda Maria Fatima , dan pada tanggal 13 Mei 1947 , patung tersebut di berkati dan dinamai International Pilgrim Virgin Statue of Our Lady of Fatima .

 

 

Cuplikan dari :  The Miracle of Our Lady of Fatima and the three white doves

154fc1828dda26bf59bd975101232346 1cee7d431e5b5d3a2867654126ec9cea

Translate »