
Bacaan Injil: Markus 10:17-27
Waktu kita kecil, cara berpikir kita cenderung hitam putih. Di dunia ini yang ada benar atau salah. Tidak ada abu-abu. Cara pikir yang sederhana. Ada yang indah dari cara berpikir yang sederhana itu. Kita jadi mudah diajar, mudah percaya, dan mudah diarahkan. Tentu saja keindahan itu hanya benar dan baik kalau pengarah dan pengajarnya benar-benar menuntun kita pada Sang Jalan, Kebenaran dan Hidup, bukannya menjadi penyebar petaka untuk sesama.
Salah satu cara menggoncang kesadaran kita akan pentingnya memilih yang baik dan meninggalkan yang buruk adalah ingatan akan tujuan hidup. Setelah segala hiruk pikuk drama di dunia ini, senang dan susah hidup kita, akhirnya tinggal ini yang penting: setelah kematian menjemput kita, kehidupan macam apa mau kita peluk, hidup kekal, atau mati abadi? Hidup dalam kepenuhan keutuhan sukacita dan damai, atau mati dalam penderitaan dan kesia-siaan tak berujung. In short, surga atau neraka. Putih atau hitam. Hal ini menjadi penting, karena meski kita percaya akan Kerahiman Ilahi yang senantiasa melahirkan kehidupan bahkan di tengah dan usai badai sengsara duka derita, kebisaan dan kebiasaan kita memilih yang benar, baik dan indah, memudahkan transisi kita menjadi warga Kerajaan Surga. Di sana tak ada lagi ratap tangis dan kertak gigi, karena kasih menjadi satu-satunya bahasa. Sang Guru mengajarkan bahwa bahasa langit yang memancarkan kebenaran, kebaikan dan keindahan itu semestinya kita pelajari, dalami dan nyatakan dalam hidup kesementaraan kita, karena menjadi cara kita menyatakan kemuridan kita, cara orang mengenali kehadiran Dia dalam diri kita. Bahasa ini menempatkan kita secara jelas dan tegas pada wilayah putih, menyatukan tujuan dan cara berjalan menuju kesana.
Apa yang harus kuperbuat untuk mendapatkan hidup abadi? Seberapa serius kita bertanya ditunjukkan dari seberapa sungguh kita siap menanggapi jawaban dari Yang Ilahi. Ternyata kesempurnaan hidup itu ada tingkatannya. Tingkat minimal adalah menjalankan 10 perintah Allah: jangan membunuh, jangan berbuat zinah, jangan mencuri, jangan bersaksi dusta, hormati bapa ibumu. Dalam putih ada yang lebih putih: meninggalkan segala sesuatu, memberikan segala untuk mereka yang miskin, menjadi lebih miskin dari orang miskin, dan mengikuti Yesus. Untuk orang yang sedang bergulat jatuh dari kebaikan ke kejahatan atau dari jurang gelap turun ke tempat yang lebih gelap lagi, hal ini tidak menarik. Untuk mereka yang menginginkan hidup dalam ketinggian dan kemuliaan, ini panggilan.
Orang kaya yang saleh dan ingin lebih saleh lagi, pergi dari hadapan Yesus dengan bersedih hati. Hasrat hatinya memiliki hidup rohani yang lebih sempurna ternyata tidak sedalam yang dia impikan, Ah… cerita sederhana bukan? Cerita kita semua juga. Kita rindukan dunia hitam putih yang sederhana, yang membuat kita mudah memilih yang putih karena yang hitam jelas legam dan yang putih jelas jernih. Namun dunia ternyata berjuta warna. Sulit sekali memejamkan mata, menutup telinga, mengelukan lidah terhadap seribu satu goda yang mengaburkan pemahaman dan kesetiaan berjalan untuk meraih hidup yang lebih sempurna, yang lebih sejati. Toh kita tak boleh berhenti bertanya. Mungkin dengan rendah hati, kita perlu sedikit mengubah formula: Guru yang baik, apa yang harus kulakukan untuk bisa melakukan yang perlu untuk mendapatkan kehidupan abadi?
Pada tahun 1946 ketika Portugal menyelenggarakan ulang tahun yang ke 300 “Immaculate Conception”, diadakanlah perarakan Patung Bunda Maria Fatima , yang di mulai dari Fatima di Cova de Iria dimana Bunda Maria menampakan diri kepada 3 anak, dan berakhir di Gereja Our Lady of Fatima di Lisbon , jaraknya kira2 70 miles
