Injil: Markus 10:1-12
Perkara tentang perkawinan dan perceraian adalah tema paling besar dan juga seringkali sarat dengan drama dan kontroversi. Sinetron-sinetron kita di Indonesia dan juga acara-acara selebriti sering menampilkan adegan-adegan perkawinan yang gagal, kawin-cerai, sebagai sesuatu yang tidak lagi mesti disayangkan tetapi dirayakan dan digembar-gemborkan. Seakan berita kawin cerai itu adalah menú utama yang mesti disajikan kepada publik agar semakin mengumbar sensasi dan memicu kontroversi. Seakan-akan pemberitaan vulgar penuh sensasi itu menjadi suatu sajian yang makin umum dan orang anggap: “Ah normal-normal aja kok kawin-cerai, ngapain dipikirin terlalu serius?”
Dalam Injil hari ini, Yesus memecahkan persoalan perceraian dengan menghantar mereka untuk melihat kembali maksud dan tujuan utama dari penciptaan, merasakan apa sesungguhnya rencana Tuhan bagi umat manusia. Dalam kitab Kejadian, kita baca bahwa sesungguhnya maksud dan ideal yang Allah mau tunjukkan kepada umat manusia sejak awal penciptaan adalah supaya mereka (pria dan wanita, suami dan isteri), dua pribadi yang menikah mesti menjadi satu kesatuan badani dan jiwa yang utuh dan tak terpisahkan (indisolubilitas). Itulah ideal relasi yang tak terpisahkan dari Adam dan Hawa. Mereka diciptakan untuk satu sama lain dan tidak untuk yang lainnya. Mereka adalah contoh sempurna dan simbol ideal dari setiap persatuan kudus perkawinan.
Yesus kemudian menjelaskan bahwa Musa memberikan izin secara berat hati kepada beberapa orang Israel untuk bercerai justru karena kekerasan hati dan kekepalabatuan mereka ekstrim (extreme stubbornness). Yesus mau menegaskan bahwa apa yang Musa putuskan secara keliru kepada orang Israel itu justru didorong oleh sikap mereka yang buta mata hati dan tuli nuraninya. Untuk Yesus, apapun pilihan hidup itu, kesetiaan adalah harga yang mahal dan tidak boleh ditawar-tawar. Kesetiaan itu bukan sebuah keutamaan yang hari ini hangat, besok suam-suam kuku dan lusanya dingin dan membeku. Kesetiaan entah dalam kehidupan pernikahan maupun dalam kehidupan selibat (imam/ membiara) adalah sebuah panggilan istimewa dari Allah sendiri. Saat kita berjanji untuk setia, kita bukan hanya berjanji kepada pasangan kita (suami pada isteri atau sebaliknya) atau pada diri sendiri dan orang yang hadir (dalam upacara tahbisan dan kaul) tetapi kita juga berjanji pada Allah. Kita melibatkan Allah untuk terlibat dalam kesetiaan kita, untuk turut menguatkan dan mengutuhkan kesetiaan itu. Kesetiaan itu memang mahal dan dalam zaman modern menjadi sebuah hal yang semakin jarang. Namun apa yang jarang itu bukan berarti tidak mungkin. Tuhan sudah setia pada kita sampai mati. Petrus pernah tidak setia tetapi akhirnya bertobat. Thomas pernah tawar hati tetapi akhirnya percaya. Mari kita tetap belajar setia pada Tuhan, pada keluarga dan pada diri sendiri. Allah yang memanggil kita supaya setia akan setia pula menguatkan dan menjaga kita supaya jangan terantuk. Amin.