Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Pindahan

Posted by admin on June 25, 2017
Posted in renungan 

Senin, 26 Juni 2017

Kejadian 12:1-9
Mazmur 33
Matius 7:1-5

Kalau anda pernah mengalami proses pindahan ke rumah baru atau kota baru, anda pasti bisa merasakan bagaimana repotnya mengurus semua itu. Pertama kita harus mengepak semua barang milik kita. Lalu untuk memindahkan barang itu mungkin harus menyewa truk yang besar atau bolak-balik dengan mobil biasa. Setelah itu kita harus mulai menata kembali barang-barang di tempat yang baru. Belum lagi proses penyesuaian di daerah baru. Anak-anak mungkin harus mencari teman baru di sekolah. Kita pun harus menyesuaikan diri dengan adat-istiadat dan kebiasaan di tempat baru kita. Lebih susah lagi kalau kita harus belajar bahasa lain di tempat baru kita.

Banyak alasan yang membuat seseorang menyibukkan dirinya dengan segala kesulitan untuk pindah ke tempat yang baru. Idealnya kita pindah karena ada kesempatan yang lebih besar di tempat yang baru, sesuatu yang akan membuat hidup kita dan keluarga kita menjadi lebih baik. Tapi kadangkala kepindahan itu karena terpaksa. Banyak orang pindah dari desa ke kota karena panen mereka gagal atau kekejaman ekonomi yang membuat hasil bumi mereka dihargai dengan sangat rendah. Ada juga yang harus pindah karena perang. Dan ada juga yang harus melarikan diri dari penganiayaan karena agama, ras, suku, atau identitas seksual mereka. Misalnya banyak umat Kristen yang melarikan diri dari Syria dan Iraq karena mereka dianiaya kelompok ISIS atau Daesh. Tetapi tidak hanya mereka yang Kristen saja, karena kadangkala umat Muslim yang tidak setuju dengan ideologi ISIS pun merasa terancam hidupnya. Untuk mereka semua yang harus meninggalkan tanah airnya karena kekerasan dan ancaman, kita terus berdoa dan berusaha supaya situasi mereka menjadi lebih baik.

Dalam bacaan pertama hari ini kita melihat bagaimana Abraham mendapatkan panggilan dari Tuhan untuk pindah ke tanah terjanji. Pindahan pada jaman itu tidaklah mudah. Mereka harus berjalan kaki melintasi padang gurun. Tidak ada truk besar yang membawa barang-barang berat. Mereka harus menggunakan tenaga binatang atau mendorong sendiri gerobak-gerobak barang. Perjalan memakan waktu berhari-hari dan setiap malam mereka harus mendirikan tenda untuk beristirahat. Jika memikirkan semua itu, rasanya tidak ada dari kita yang langsung mau pindah. Jadi apakah yang membuat Abraham bersedia untuk menjalani proses yang brutal itu?

Sangat mungkin janji Allah sendiri yang menggerakkan hati Abraham. Allah berjanji akan membuatnya menjadi bangsa yang besar, memberkatinya serta membuat namanya masyhur, dan membuatnya menjadi berkat bagi seluruh bangsa di muka bumi. Sungguh sebuah janji yang besar. Inilah panggilan sejati Abraham. Ia sudi melalui segala kesulitan untuk mewujudkan rencana Allah bagi dirinya. Ia sadar bahwa ia akan dipakai Tuhan untuk membawa berkat kepada segala bangsa di dunia.

Bagaimanakah Tuhan memanggil anda untuk pindah hari ini? Bukan pindahan secara fisik, tetapi pindahan yang lebih mendalam. Mungkin Tuhan ingin anda pindah dari duka ke sukacita, dari kegelapan menuju terang, dari kebencian menuju kasih, dari kedengkian dan iri hati menuju kemurahan hati. Apapun kepindahan itu, semuanya harus melalui proses yang tidak mudah dan terkadang tidak nyaman. Misalnya lebih mudah untuk menyimpan dendam pada orang yang pernah menyakiti kita. Untuk melepaskan dendam itu dan berubah menjadi kasih dan kebaikan kita harus bisa berserah diri akan perasaan kita yang sudah disakiti itu. Naluri kita mengatakan bahwa kita harus membalas dendam. Tapi jika kita menyelam lebih dalam lagi ke hati nurani kita, tempat Tuhan berbicara, kita akan menyadari bahwa segala kejahatan dan penderitaan harus dibalas dengan kebaikan.

Marilah kita memulai perjalanan kita untuk pindah menuju sesuatu yang lebih baik. Janji Tuhan tidak hanya pada Abraham ribuan tahun yang lalu. Janji yang sama diucapkanNya pada kita hari ini juga: “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.”

Life of a Preacher

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on June 24, 2017
Posted in renungan 

Life of a Preacher
 
Twelve Sunday in Ordinary Time
June 25, 2017
Mathew 10:26-33
 
“What I say to you in the darkness, speak in the light; what you hear whispered, proclaim on the housetops (Mat 10:27).”
 
St. Francis of Assisi once said, “Preach the Gospel all time. When necessary, use words.” He correctly points out that preaching is not only the job of the priests in the pulpit, or lay preachers in the prayer meetings. Preaching the Gospel is the mission of all of us.  The preaching can happen in the family, as we show our children the meaning of true love, fidelity and respect. Preaching can take place in our workplaces as we uphold honesty, hard work, and dedication. Preaching may manifest in our daily life as we do justice, service to the needy, and kindness to our neighbors.
However, to preach Jesus Christ is not always smooth sailing. I myself have been in the ministry of preaching for some years, and at times, I have to face tough moments. When, I preach with a content and style that are outside of the box, some good and honest people come and rightly question the orthodoxy of my preaching. Yet, when I preach with predicted insight and usual delivery, young people will come and tell me it is boring. There are times that nobody’s listening to my preaching or reading my reflection. Sometimes, I feel tired, frustrated and bored. The same feelings may also befell us as we do our preaching in the family, workplace, the parish, or the society. It is frustrating when we are honest, but the rest are not. It is tiring when we know that we are the only one working hard. It is hurting to be backstabbed after all our service to others.
Yet, our life as a preacher is a lot better and safer than my brothers and sisters in other places. Our Dominican sisters of St. Catharine of Siena in Iraq chose to stay despite the ongoing war and turmoil that hit the country, and serve the refugees without any discrimination. In 2003, when US-led coalition invaded Iraq, they kept running the hospital in Baghdad amidst heavy fighting and looting in the capital. In 2014, when IS took the city of Mosul, the sisters were walking together with the refugees, and at forefront in helping and managing several refuge centers. For some others to preach Christ means violence and death. Last May, Fr. Miguel Angel Machorro was in critical condition after he was stabbed in the neck just right after saying the mass in Mexico City’s Cathedral. Fr. Teresito Suganob who was working among the Muslims in Marawi City, Philippines, was abducted when the group of extremists occupied the city. Nobody knows yet what happened to him.
What makes them preach the Gospel despite constant dangers to their lives? I believe that it is because they love the Lord dearly. This love, as Roman poet Virgil wrote, conquers all. Their love drives out the fear of death, empowers them in trials, and encourages them in face of frustrations and failures. In the words of St. Paul, “What will separate us from the love of Christ? Will anguish, or distress, or persecution, or famine, or nakedness, or peril, or the sword… No, in all these things we conquer overwhelmingly through him who loved us (Rom 8:35-37).”  True preaching, then is fuelled by true love of God and not seeking after our own glory. Without this love, we will back out when our preaching seems to fail, or we will feel proud when our ministry meets success. Do we have this love for Jesus? Are our preaching motivated by this love? Are we allowed to be overwhelmed by God’s love for us?
 
Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

System Problem, mohon maaf

Posted by admin on June 23, 2017
Posted in news 

Mohon maaf buat pemirsa, bahwa masalah system , sehingga email terkirim berulang kali.

Renungan akan terkirim kembali setelah system diperbaiki.

Redaksi,

Yohanes Pembaptis: Orang Kedua yang Terbaik

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on June 23, 2017
Posted in renungan 

Yohanes Pembaptis: Orang Kedua yang Terbaik
 
Hari Raya Kelahiran Yohanes Pembaptis
24 Juni 2017
Lukas 1:57-66, 80
 
“Menjadi apakah anak ini nanti?” Sebab tangan Tuhan menyertai dia (Luk 1:66).”
 
Masyarakat kita memiliki sebuah sistem dimana tidak semua orang bisa menjadi orang nomor satu. Dalam kompetisi renang Olimpiade, tidak masuk akal jika semua perenang meraih medali emas. Atau, dalam dunia usaha, perusahaan akan runtuh jika memiliki lebih banyak CEO daripada karyawan biasa. Oleh karena ini, hanya sedikit dari kita yang bisa mencapai tampuk pimpinan teratas, sementara sebagian besar umat manusia harus menempati posisi yang lebih rendah. Kabar baiknya walaupun menempati posisi yang lebih rendah, kita terus dipanggil untuk menjadi yang terbaik.  
Namun, untuk menjadi orang nomor dua sekaligus menjadi yang terbaik adalah salah satu tugas yang paling sulit. Hal ini terjadi karena kita menghadapi dua godaan: yang pertama adalah hasrat kita untuk selalu lebih unggul dari orang lain dan terkadang kita menghalal segala cara. Mengapa kita harus puas menjadi nomor dua jika kita bisa keluar sebagai nomor satu?” Pelari memang akan bersaing di dalam trak, tetapi jika persaingan kemudian keluar dari arena, ini akan menjadi tidak sehat dan bahkan berbahaya. Godaan kedua adalah tendensi bersikap hangat-hangat kuku. Jika kita tidak bisa mencapai puncak, mengapa kita harus mencoba menjadi yang terbaik?Sebuah bisnis tidak akan berhasil jika hanya CEO yang bekerja begitu keras namun seluruh perusahaan hanya duduk bermalas-malasan. Jelas, kedua sikap ini tidak benar.
Hari ini kita merayakan Yohanes Pembaptis. Dia adalah personifikasi dari orang nomor dua yang tebaik. Dia tahu bahwa dia memiliki karisma dan kekuatan untuk menarik banyak orang kepada dirinya sendiri. Dia bisa saja menjadi seorang pengkhotbah terkenal dan bahkan menjadi pemimpin politik, andai saja ia memproklamirkan dirinya sebagai Mesias. Namun, dia tidak melakukan itu. Dia tahu betul bahwa Mesias adalah Yesus dan untuk membuka tali sepatu-Nya pun’ ia bahkan menyatakan tidak layak. Itu menerima bahwa dia adalah orang nomor dua bagi Yesus, sahabat terbaik dari sang mempelai laki-laki. Namun, apa yang membuat Yohanes ‘terbaik adalah hal lain. Sadar bahwa dia bukan Mesiah, Yohanes bukannya mencari profesi lain atau sekedar suam-suam, tetapi ia melakukan apa yang terbaik untuk melayani Mesias dan untuk mempersiapkan jalan bagi kedatangan-Nya. Dia memiliki kerendahan hati untuk menerima identitasnya sebagai orang kedua, dan ia menunjukkan komitmen besar kepada panggilannya untuk menjadi yang terbaik.
Seperti Yohanes, kita bukanlah Mesiah. Dalam kehidupan kita sehari-hari, tidak semua dari kita memegang posisi tertinggi di kantor, atau menjadi imam paroki, tetapi itu tidak berarti bahwa kita menjadi sekedar penonton. Ribuan umat datang ke Gereja Santo Domingo, Gereja kami di Metro Manila, untuk mengikuti Misa hari Minggu. Bayangkan jika hanya seorang imam melayani umat ini tanpa bantuan asistan imam, lektor dan putra altar, sang imam bisa pingsan kapan saja. Tentunya, ada banyak cara untuk yang menjadi yang terbaik meskipun tidak berada di posisi teratas.
Sungguh tidak mudah untuk menjadi orang kedua yang terbaik dalam pelayanan, tetapi belajar dari Yohanes Pembaptis, kita dapat berkembang juga menjadi orang kedua terbaik versi kita sendiri.
 
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Hari Raya Hati Kudus Yesus : Hati Yesus dan Kuk

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on June 22, 2017
Posted in renungan 

Hati Yesus dan Kuk
 
Hari Raya Hati Kudus Yesus
23 Juni 2017
Matius 11:25-30
 
“Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. (Mat 11:29)”
 
Kita orang Indonesia memiliki banyak ungkapan dengan menggunakan kata hati. Orang yang mengerjakan sesuatu dengan sepenuh hati adalah orang yang penuh dedikasi. Orang yang tidak berperasaan atau tidak peduli disebut sebagai orang yang tidak memiliki hati. Orang yang siap dan banyak berbuat baik adalah orang yang bermurah hati. Hati adalah lambang dari sumber kasih, kerahiman dan semangat. Hati tidak hanya menjadi simbol dari sumber kehidupan, tetapi juga kepenuhan hidup. Karena kata hati sangat dekat dengan ‘hati’ orang Indonesia, tidak salah jika banyak dari kita memiliki devosi terhadap Hati Kudus Yesus.
Jika kita bertanya siapa kira-kira yang berada di dalam hati kita, jawabannya tentu tidak sulit. Mereka adalah orang-orang yang kita sayangi, anggota keluarga, dan sahabat karib. Kemudian, kira-kira siapa yang berada di dalam hati Yesus? Injil hari ini memberikan kita jawaban. Mereka adalah orang-orang sederhana, orang-orang yang mengandalkan Tuhan dalam hidup mereka, orang-orang yang walaupun banyak menghadapi tantangan dan kesulitan dalam hidup tidak kehilangan harapan pada Yesus. Berbeda dengan orang-orang sederhana, orang-orang bijak dan pintar kadangkala sering merasa cukup dengan diri mereka sendiri, bisa menyelesaikan permasalahan mereka sendiri, tidak lagi mengadalkan Tuhan dalam hidup mereka. Hati Yesus selalu terbuka untuk mereka tetapi mereka tidak merasa perlu untuk masuk ke dalam hati Yesus.
Hati Yesus juga terbuka bagi kita yang letih lesu dan berbeban berat. Tetapi jika Yesus sungguh bermurah hati dan lemah lembut, kenapa Yesus bersabda kepada mereka yang berbeban berat untuk memikul kuk Yesus? Bukankah ini justru menambah beban dan semakin melelahkan? Kuk adalah alat yang dipasang di leher untuk mengangkat atau menarik beban. Biasanya kuk diletakkan di hewan seperti kerbau atau kuda untuk membajak sawah atau menarik gerobak. Namun kadang kala bagi orang yang miskin mereka sendirilah yang menarik dan memikul kuk saat bekerja. Awalnya Yesus terkesan memberikan beban baru dan bukannya istirahat, tetapi sungguh Yesus tidak memberi beban baru.
Di Palestina maupun di Indonesia, ada yang namanya kuk kembar. Ini adalah jenis kuk untuk digunakan oleh dua hewan sekaligus. Saat Yesus berkata, “Pikullah kuk milik-Ku”, Yesus sebenarnya mengajak kita untuk berbagi beban dengan-Nya karena hanya ada satu kuk. Saat kita lelah dan berbeban, kita bisa percayakan kuk berat kita kepada Yesus sehingga kita bisa beristirahat. Hati-Nya yang lembut dan penuh belaskasih akan selalu terbuka dengan kita yang memikul beban berat kehidupan, asalkan kita mau belajar menjadi orang-orang yang sederhana.
 
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Translate »