Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Keluarga: Sumber dari Hal-Hal Terbaik dalam Hidup

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on December 28, 2017
Posted in renungan 

Keluarga: Sumber dari Hal-Hal Terbaik dalam Hidup

Hari ke-5 dalam Oktaf Natal

Lukas 2:22-35

29 Desember 2015

Di zaman ini, keluarga terus diserang dan menghadapi pencobaan yang bertubi-tubi. Perceraian, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan terhadap wanita dan anak, eksploitasi anak, pornografi, penyalahgunaan kontrasepsi, aborsi, dan kemiskinan adalah penyakit-penyakit yang terus mengancam keluarga. Ini adalah tugas kudus dari setiap orang baik Katolik maupun bukan untuk melindungi keluarga. Namun, mengapa kita perlu menjaga keluarga dari segala kejahatan ini?

Salah satu alasan utama adalah bahwa di dalam keluarga,  kita semua belajar hal-hal terbaik dalam hidup. Selain belajar untuk mengatakan ‘Mama’ atau ‘Papa’ atau bagaimana cara berjalan, kita juga belajar untuk mengasihi dengan sungguh, untuk mempercayai orang lain, untuk setia kepada sesama, untuk memberi dengan murah hati, dan membuat pengorbanan yang sejati. Jika kita selalu ragu-ragu untuk mencintai, atau tidak mau untuk berbagi, akar penyebabnya mungkin ada dalam keluarga. Kita tidak melihat nilai-nilai luhur ini tumbuh berkembang di dalam keluarga kita. St Theresa dari Avila sendiri bersaksi dalam otobiografinya, “Jika saya tidak begitu jahat itu, ini karena saya dibantu dengan memiliki orang tua yang saleh dan takut akan Allah, dan juga bahwa Tuhan memberikan saya rahmat-Nya untuk membuat saya baik.”

Yesus dilahirkan  di dalam sebuah keluarga. Keluarga-Nya bukanlah yang paling sempurna karena Maria dan Yusuf bukan orang kaya dan tidak bisa memberikan banyak untuk Yesus, tapi tetap saja, Maria dan Yusuf adalah orang tua yang tepat bagi Yesus. Dia taat kepada Bapa-Nya di surga sebagai Ia melihat Maria yang telah taat kepada kehendak Allahsaat Maria menerima kabar dari malaikat Gabriel. Yesus adalah pengkhotbah yang tekun karena Yesus dilatih oleh Yusuf, sang tukang kayu yang tekunDan yang paling penting, jika Yesus mampu mengasihi sepenuhnya dan mengorbankan diri-Nya untuk keselamatan kita, itu karena Dia melihat Maria dan Yusuf yang sepenuh hati bersedia untuk meninggalkan segalanya demi Yesus.

Keluarga mungkin hanya unit terkecil dalam masyarakat, tetapi kita perlu mengingat bahwa keselamatan kita berasal dari keluarga. Perjalanan kita ke surga mengambil langkah pertama dalam keluarga kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

(English Edition)

Family: The Best Thing in Life

Fifth day in Christmas Octave

Lukas 2:22-35

December 29, 2017

Our families are fiercely attacked than never before in any history of humanity. Divorce, infidelity, domestic violence, child abuse and labor, sexual exploitation, pornography, contraception, abortion, and dehumanizing poverty are diseases that threaten the family. It is a sacred duty of every Christian to protect the family. Yet, why we need to guard the family from all these evil?

One of the ultimate reasons is that it is within the family that we all learn the best things in life. Aside from learning to say ‘Mama’ or how to walk, we learn to love genuinely, to trust others, to be faithful to one other, to give generously, and to make true sacrifice. If we are always hesitant to love, or unwilling to share, the root causes may be in the family. We did not see these virtues strive in our family. St. Teresa of Avila herself testified in her autobiography, “If I had not been so wicked it would have been a help to me that I had parents who were virtuous and feared God, and also that the Lord granted me His favor to make me good.”

Jesus was born into a family. It was not a perfect family since Mary and Joseph was not rich and perhaps could not provide much for Jesus, but still, Mary and Joseph were the right parents for Jesus. He obeyed His Father as He saw Mary who had been obedient to God’s will in the Annunciation. He was hard-working preacher because Jesus was trained by dedicated Joseph, the carpenter. Most importantly, if Jesus was able to love fully and sacrifice Himself for our salvation, it is because He saw in Mary and Joseph who wholeheartedly willing to abandon everything for the sake of Jesus.

Family may be just the smallest unit in the society, but we need to remember our salvation comes from the family. Our journey to heaven takes its first step in our families.

Hana

Posted by admin on December 28, 2017
Posted in renungan 

Hana

Lukas 2: 36-40

Lagipula di situ ada Hana, seorang nabi perempuan, anak Fanuel dari suku Asyer. Ia sudah sangat lanjut umurnya. Sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya, dan sekarang ia janda dan berumur delapan puluh empat tahun. Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa.

Dan pada ketika itu juga datanglah ia ke situ dan mengucap syukur kepada Allah dan berbicara tentang Anak itu kepada semua orang yang menantikan kelepasan untuk Yerusalem.

Dan setelah selesai semua yang harus dilakukan menurut hukum Tuhan, kembalilah mereka ke kota kediamannya, yaitu kota Nazaret di Galilea.

Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya.

Kalau and menonton video ini https://www.youtube.com/watch?v=24VU2U8DxW0, mungkin and dapat membayangkan reaksi Hana ketika Yusuf dan Maria membawa bayi Yesus ke dalam Bait Allah. Ada suatu kegembiraan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Hana memuji Allah dengan seluruh kekuatan seorang manula berusia 84 tahun. Mungkin ia pun tergerak untuk menari. Ia menghampiri semua orang dan menyebarkan kabar sukacita tentang kelepasan untuk Yerusalem.

Apa kiranya yang membuat Hana bereaksi begitu kuatnya? Ia seorang janda yang mengabdikan hidupnya untuk berpuasa dan berdoa di Bait Allah. Seperti orang-orang Yahudi pada jamannya, ia menantikan kedatangan sang Mesias keturunan David yang dijanjikan oleh para nabi. Ia menanti kebebasan Israel dari penjajahan Romawi. Ia mendambakan berkuasanya kembali kerajaan Allah yang penuh dengan damai (shalom).

Kata “damai” dalam bahasa kita tidak mencakupi seluruh aspek dalam kata shalom dalam bahasa Ibrani. Shalom tidak hanya berarti damai dan bebas dari peperangan atau kekerasan. Shalom mengandung arti “kepenuhan” atau “kesempurnaan,” di mana semua hubungan berjalan serasi sesuai dengan rencana Allah. Nabi Yesaya menggambarkan situasi itu sebagai berikut: “Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama… Tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk di seluruh gunung-Ku yang kudus, sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan TUHAN, seperti air laut yang menutupi dasarnya.” (Yesaya 11:6-9)

Di dalam dunia di mana kita hidup sekarang ini, mungkin sangat sulit membayankan kepenuhan damai atau shalom Tuhan. Mungkin yang bisa kita lakukan sementara ini adalah memusatkan perhatian kita pada “bayi Yesus” kecil yang datang menghampiri hidup kita. Dalam hal ini, kita bisa dibantu oleh “Hana” lain di dalam Bait Allah.

Di banyak gereja di Amerika ini sering saya temui para perempuan lanjut usia yang setia datang ke misa harian dan devosi pribadi atau komunal. Mereka tidak jauh berbeda dari Hana yang hidup, berdoa, dan berpuasa di Bait Allah. Dan sama seperti Hana, mereka pun menantikan kepenuhan kuasa Allah di dunia ini, baik dalam diri dan keluarga mereka, ataupun di dalam lingkungan tempat mereka hidup. Mereka jugalah yang pertama kali bersyukur ketika suatu hal baik terjadi di lingkungan paroki. Mungkin ada pasutri yang akan menikah atau baru melahirkan. Mungkin juga kabar baik itu adalah seorang putra paroki yang terpanggil menjadi imam. Mereka dengan sukacita merayakan kehadiran Allah dalam hidup komunitas kita, sekecil apapun tandanya.

Semoga dengan memperhatikan dan menghargai para “Hana” di lingkungan kita, kita juga menjadi sigap akan segala tanda Imanuel, bahwa Allah beserta kita. Di tengah dunia yang terkesan penuh dengan berita buruk dan mengecilkan hati, kita berpaling kepada para “nabi” dalam hidup kita yang dapat menunjukkan kehadiran Allah. Marilah kita bergabung dengan pujian dan tarian mereka.

Edisi Khusus Natal: Simeon

Posted by admin on December 27, 2017
Posted in renungan 

RENUNGAN NATAL LUBUK HATI  

[Simeon (Lukas 2: 21-32)] 

 

Semua orang yang hidup di dunia ini pasti mempunyai banyak impian dan juga harapan yang terus menerus dikejar dalam hidupnya. Tak seorang pun mau menjalani hari-hari tanpa ada harapan yang hendak dicapai. Sebab, tanpa pengharapan orang akan menjalani hidupnya asal-asalan, monoton, tanpa dedikasi dan tanpa semangat. Hal ini karena kita tahu bahwa semua orang ingin menjadi orang yang sukses, mapan dan bermasa depan cerah. Itulah sebabnya kita mulai merancang dan merencanakan segala sesuatunya sejak dini, agar apa yang kita harapkan menjadi kenyataan. Sebagai orangtua kita pasti memiliki pengharapan yang besar terhadap anak-anak kita: sukses dalam studi dan juga karir. Begitu juga bagi orang muda, mereka memiliki harapan-harapan dalam hidupnya: pekerjaan yang mapan, punya rumah dan mobil, serta memiliki pasangan hidup sesuai yang diinginkan. Itu adalah gambaran pengharapan semua orang selama hidup di dunia ini.  Semua impian-impian atau harapan ini senantiasa mendorong orang untuk melakukan segala macam daya upaya untuk meraihnya.   

Ungkapan Simeon yang kita baca dalam bacaan hari ini merupakan ungkapan seseorang yang sungguh lepas-bebas dan puas sebab telah terpenuhi harapannya. Tidak ada pengalaman Simeon yang lain di sepanjang hidupnya, yang bisa mengalahkan pengalaman perjumpaannya dengan bayi Yesus. Simeon bersukacita karena bisa bertemu, memandang, bahkan menatang (menggendong) bayi Yesus. Simeon sangat bahagia karena terpenuhi segala pengharapan dan penantiannya yang telah puluhan tahun dia rindukan. Kebahagiaan yang dialami oleh Simeon ini merupakan pengalaman puncak yang membuatnya sampai tidak mampu merumuskan dengan kata-kata. 

Sebagai orang beriman, apakah kita pernah mengalami pengalaman puncak ini dalam hubungan kita dengan Allah? Bila kita pernah mengalaminya, kita akan mendapatkan energi yang luar biasa dalam hidup, pekerjaan, hidup berkeluarga dan pelayanan-pelayanan kita. Pengalaman puncak itu membuat kita tidak mudah putus asa, mengeluh, ngambeg, komplain, protes, tidak mau berusaha dll. Melalui pengalaman iman Simeon yang kita dengarkan hari ini, kita diajak untuk senantiasa mensyukuri setiap pengalaman hidup kita sebagai anugerah dari Allah. Semoga hidup, penggilan, keluarga dan karya pelayanan kita senantiasa dalam lindungan dan bimbingan Allah. Tuhan memberkati. 

 

Fr. Peter Prasetyo, MSF. 

 

The Feast of the Holy Innocents

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on December 27, 2017
Posted in renungan 

Herodes dan Kanak-Kanak Suci
Pesta Kematian Kudus
Matius 2: 13-18
28 Desember 2017
Hari ini, kita memperingati hari raya Kemuliaan Kudus. Dari Injil hari ini, kita mengetahui bahwa orang-orang yang tidak berdosa ini adalah bayi laki-laki di Betlehem yang dibantai oleh tentara Herodes Agung. Setelah tertipu oleh orang-orang Majus, Herodes sangat marah dan memutuskan untuk membunuh semua anak laki-laki, dengan harapan bisa memusnahkan bayi Yesus. Diperingatkan oleh malaikat Gabriel, Yusuf membawa Maria dan bayi Yesus, dan melarikan diri ke Mesir. Namun, sayangnya, bayi-bayi lain yang tidak bersalah gagal melepaskan diri dari murka dan kekejaman Herodes.
Sejak awal pasal kedua injil Matius, kita menemukan bagaimana Herodes adalah gila dan tanpa ampun. Ambisinya untuk tetap berkuasa menghancurkan semua hal lainnya. Dari sumber-sumber tertulis lainnya, Herodes sangat gila dengan kekuasaan, bahwa dia melakukan pembunuhan terhadap istri dan beberapa anaknya sendiri, untuk mengamankan takhtanya sebagai Raja Israel. Tidak heran saat dia mengetahui bahwa raja yang baru lahir dari garis keturunan Daud, lahir di Betlehem, dia akan melakukan apapun untuk menghancurkan Yesus, sebuah ancaman nyata bagi takhtanya. Awalnya, dia berencana untuk menemukan Yesus melalui pertolongan orang Majus, namun ketika orang Majus mengetahui rencana jahat Herodes, mereka melarikan diri dari Herodes. Raja Herodes menjadi sangat marah, dan dalam keputusasaannya, dia memerintahkan pembunuhan bayi tak berdaya yang tak terhitung jumlahnya. Pastinya, dia tidak akan merasakan penyesalan karena ini hanya pembunuhan lain dan segala cara dibenarkan demi tahtanya.
Mengingat kanak-kanak suci berarti kita mengingat semua bayi dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan. Ada banyak bentuk kekerasan: aborsi, pekerja anak, kekerasan dalam rumah tangga, intimidasi, kemiskinan, putus sekolah, kurang gizi dan banyak lainnya. Seperti pada zaman Yesus, kekerasan ini diabadikan oleh Herodes Herodes zaman modern. Inilah orang-orang yang terikat pada ambisi mereka untuk mendapatkan uang, kesenangan, dan kesuksesan, bahwa yang lain, termasuk anak-anak kecil, hanyalah pion untuk dikorban. Mengingat kanak-kanak suci yang tidak berdosa berarti juga kita melindungi anak-anak kita dari Herodes-Herodes yang baru. Kita mungkin mulai memeriksa diri kita sendiri: “Apakah kita memperlakukan orang lain terutama anak-anak dengan kebaikan dan cinta? Apakah kita melihat orang lain, terutama anak-anak, seperti citra Tuhan, yang mampu tumbuh dan mencintai? Apakah kita berkontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak-anak kita? “
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno OP
(English version)
Herod and the Holy Innocents
The Feast of the Holy Innocents
Matthew 2:13-18
December 28, 2017
Today, we are commemorating the feast of the Holy Innocents. From today’s Gospel, we learn that these Holy Innocents are the baby boys in Bethlehem who are slaughtered by the army of Herod the Great. After being deceived by the Magi, Herod is furious and decides to kill all the young male boys, hoping that he may also annihilate the baby Jesus. Warned by the angel, Joseph brings Mary and baby Jesus, and escapes to Egypt. Yet, unfortunately, other innocent babies fail to escape the wrath and utter cruelty of Herod.
As early as chapter 2 of Matthew, we discover how mad and merciless Herod is. His ambition to stay in power eclipses all other things. From other ancient sources, Herod is so insane with power, that he commissions the murders of his own wives and sons, as to secure his throne as the King of Israel. No wonder when he learns that newly born king from the line of David, was born in Bethlehem, he will do anything to destroy Jesus, a real threat to his throne. Initially, he plans to find Jesus through the help of the Magi, but when the Magi are aware of Herod’s evil plan, they run away from Herod. The mad King gets so angry, and in his desperate move, he orders the killing of countless defenseless babies. Surely, he will not feel any remorse because it is just another killing spree and any means is justified for the sake of his throne.
Remembering the Holy Innocents means that we remember all babies and children who become the victims of violence. They are many forms of violence: abortion, child-labor, domestic violence, bullying, poverty, and many others. As in the time of Jesus, these violence are perpetuated by the modern-day Herods. These are those men and women who are attached to their ambitions for money, pleasure, and success, that the others, including the little children, are mere pawns to sacrifice. Remembering the Holy Innocents means also we protect our children from the new Herods. We may begin examining ourselves: “Do we treat others especially children with kindness and love? Do we see others, especially children, as the image of God, capable of growing and loving? Do we contribute to the growth and development of our children?”

Murid yang Dikasihi Yesus

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on December 26, 2017
Posted in renungan 

(bahasa Indonesia)
Murid yang Dikasihi Yesus

 

Pesta St. Yohanes, Rasul dan Penginjil

27 Desember 2017

Yohanes 20: 1-8

 

Hari ini, kita merayakan pesta Santo Yohanes, Rasul dan Penginjil. Dia adalah saudara dari Yakobus, anak-anak Zebedeus. Tradisi mengatakan bahwa meskipun mengalami penganiayaan, ia menikmati hidup yang panjang, dan menghabiskan hari-hari terakhirnya di Efesus, merawat Maria, Bunda Yesus. Injil keempat dan tiga surat katolik dikaitkan dengannya, dan mungkin ini adalah kontribusi terbesarnya. Dalam Injilnya, identitas Yesus sebagai Firman ilahi yang menjadi daging, diungkapkan dan diwartakan secara eksplisit. Dalam suratnya, kita menemukan esensi Tuhan yakni kasih (1 Yoh 4:8).

Dia juga disebut sebagai murid yang dikasihi Yesus. Belajar dari Injil hari ini yang berbicara tentang kubur yang kosong, kita dapat melihat mengapa kasih adalah keutamaan mendasar bagi Yohanes dan juga bagi setiap pengikut Yesus. Saat Petrus datang ke makam, dia tidak melihat apapun, kecuali kubur yang kosong. Bagi Petrus dan murid-murid lainnya, ini sangat tidak masuk akal dan masa depan mereka tanpa harapan, namun seorang murid tidak menyerah. Ia adalah murid yang mengasihi Yesus dan dikasihi Yesus. Sungguh, kasih menjadi titik nadir perubahan. Hanya mata kasih yang dapat menembus kubur yang kosong dan paling gelap dan melihat makna di dalamnya. Bagi mereka yang mengasihi, Yesus tidak hilang, dan bahkan tidak mati. Ia hidup, hadir dan penuh bersemangat. Dan semua ini, hanya mungkin bila ada kasih yang mengalahkan segalanya. Seperti St. Paulus yang berkata, “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih. (1 Kor 13:13).

Seperti Yohanes, kita semua dipanggil sebagai murid yang mengasihi dan dikasihi Yesus. Perayaan Santo Yohanes menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk belajar untuk melihat dengan mata sang rasul yang mengasihi Yesus, untuk melihat melalui mata kasih. Sebagai sang rasul melihat Tuhan yang bangkit di kubur yang kosong, kita akan melihat Kristus yang bangkit di dalam kekosongan hidup ini. Dengan mata kasih, seorang ibu tidak akan melihat bayi di dalam rahimnya hanya sebagai penyusup atau beban berat, tapi sebuah hidup yang memegang masa depan yang cerah. Dengan mata kasih, seorang istri tidak akan melihat suaminya yang tua, sakit-sakitan dan penuh dengan ketidaksempurnaan sebagai sebuah kesalahan, tapi sebuah jiwa pemberani yang telah mendedikasikan hidupnya bagi dia. Sekarang pertanyaan adalah: Apa yang Kamu lihat di kubur yang kosong di dalam hidupmu?

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 (English Edition)

The Beloved Disciple

The Feast of St. John, the Apostle and Evangelist

December 27, 2017

John 20:1-8

Today, we are celebrating the feast of St. John, the Apostle and Evangelist. He is the brother of James, the sons of Zebedee. The tradition has it that despite persecutions, he enjoys a long life, and spends his last days in Ephesus, taking care of Mary, the Mother of Jesus. The Fourth Gospel and three Catholic letters are attributed to him, and perhaps they are his best contributions. In his Gospel, the identity of Jesus as the divine Word made flesh, is explicitly expressed and proclaimed. In his letter, we discover the essence of God that is love.

He is also called as the disciple whom Jesus loves. Learning from today’s Gospel that speaks of the empty tomb, we may see why love is the fundamental value for John and every Christian. When Peter comes to the tomb, he does not see anything, but an empty space. For Peter and other disciples, this is so absurd and hopeless, but one disciple does not give up. He is John, the disciple who loves Jesus and whom Jesus loves. Indeed, love turns to be the game changer. Only the eyes of love can pierce through the darkest empty tomb and see a deepest meaning of it. In love, Jesus is not lost, and not even dead. He is fully alive, present and vibrant. And all of this, only possible when there is love that conquers all. As St. Paul would say, “So faith, hope, love remain, these three; but the greatest of these is love (1 Cor 13:13).”

We are called to be disciples that loves Jesus because Jesus loves us. Thus, it is the time for us to learn to see what the beloved sees, to see through the eyes of love. As the beloved disciple sees the risen Lord at the empty tomb, we shall see the resurrected Christ as well in this emptiness of life. With the eyes of love, a mother will not see a baby in her womb just as an intruder or burden, but life that holds bright future. With the eyes of love, a wife will not see her aging and sickly husband as mistake, but a living brave soul who dedicated his life for her, despite so many imperfections.  The question now is: What do you see in the empty tomb of your life?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »