
“Menangislah mereka semua tersedu-sedu dan sambil memeluk Paulus, mereka berulang-ulang mencium dia. Mereka sangat berdukacita, terlebih-lebih karena ia katakan, bahwa mereka tidak akan melihat mukanya lagi. Lalu mereka mengantar dia ke kapal” (kisah 20: 37-38)
Pernahkan kita berpisah dengan orang yang terkasih? Kita tentu sedih, menangis dan kehilangan. Apalagi kalau orang itu berkata, “inilah terakhir kali mau melihatku!”
Pengalaman kehilangan adalah peristiwa hakiki dalam hidup kita. Hari-hari ini saya mulai merasakan aura kehilangan. Saya menemani 14 frater yang akan segera bertugas pastoral di paroki selama 1 tahun. Selama setahun penuh, saya menemani mereka untuk menyiapkan diri. Proses yang intensif ini membuat saya makin mengenal lebih dekat, tahu pergulatan dan perjuangan tiap frater. Mereka orang muda yang ingin menjawab panggilan menjadi Imam. Masing-masing punya kekuatan dan kelemahannya. Unik, khas dan penuh berkah.
Kini tiba saatnya saya harus melepas mereka dan membiarkan jalan hidup mereka terbuka lebar. Pengalaman lepas dari seminari akan mendewasakan hidup mereka. Perpisahan itu membuka cakrawala baru. Meski pada awalnya menyedihkan, namun buah akhirnya adalah kedewasaan. Orang belajar hidup lebih mandiri, memutuskan sendiri, dan membiarkan diri bergulat. Tentulah semua itu membawa pada kemajuan diri dan hidup baru.
Paulus dalam karyanya mengalami perpisahan yang pilu. Dia semakin tua. Tak mungkin lagi bisa berjalan jauh mengarungi jalan dan samudera. Inilah perjalanan terakhirnya di Efesus. Dia tak akan pernah kembali lagi ke sana. Paulus akan meneruskan karya di Yerusalem, ditangkap, lalu dipenjara dan dibawa ke Roma. Akhirnya kata-katanaya terbukti. Dia tak pernah ketemu lagi dengann umat yang dia cintai selama 3 tahun di Efesus.
Pengalaman keterpisahan bisa berbagai macam bentuknya. Ditinggal mati saudara, ditinggal pergi jauh, terpisah dengan orang tua dan anak adalah contoh keterpisahan. Semua itu bisa meninggalkan kesedihan lama bila tidak diolah. Kita berdoa agar bisa mengolah dan menerimanya, sehingga pengalaman keterpisahan bisa menjadi jalan pendamaian diri dengan Tuhan dan sesama.

