Semalam suntuk sejak Senin (25 Mei) gaung suara takbir berkumandang di seputar seminari, rumah kami. Itulah tanda akhir masa puasa 30 hari penuh. Umat Muslim merayakan Idul Fitri kemarin dan hari ini. Tadi pagi saat sholat Id, saya mendengarkan kotbah imam di masjid tetangga. “Puasa adalah saat kita mengalahkan nafsu keinginan makan dan minum, emosi dan kemarahan. Puasa saat ini juga mengajak kita menjaga jarak. Bisa jadi kita lebih banyak sendiri agar tidak banyak berbuat dosa. Menjaga jarak juga menjadi jalan menyelamatkan orang lain dan diri sendiri.”

Betapa sering kita tidak bisa mengahkan diri sendiri. Godaan dan keinginan spontan muncul, kita tanpa sadar mengikuti begitu saja. Berpuasa tanpa makan dan minum sejak jam 4 pagi sampai jam 5.30 sore menjadi jalan orang mengelola keinginan daging. Bahkan sebenarnya puasa juga mengajari orang mengelola emosi dan marah yang membuat orang makin tawakal. 

Injil Yohanes berkata, “Aku telah dipermuliakan di dalam mereka.” Dipermuliakan berarti manusia mampu mengarahkan dirinya pada Allah. Orang bisa fokus. Ia menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup. Bahkan sampai merasakan kalau Allah sendiri ikut bekerja dalam kegiatan harian kita. Itu semua hanya bisa dirasakan kalau kita peka pada gerakan hati. Kita cermat melihat hati dan suara-suara lembut yang Ilahi. Sering kali hal itu tidak mudah karena kebisingan sekitar kita. 

Kita menghargai usaha spiritual saudara Muslim yang berpuasa. Mereka menjadi teladan agar orang bisa mengalahkan diri dan memuliakan Allah. Mari kita berusaha mengenal suara hati dan sapaan kecil Allah lewat segala yang kita temui dalam hidup ini. 

selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir batin bagi saudara yang merayakan!