Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

BERJALAN BERSAMA-NYA

Posted by admin on March 17, 2021
Posted in renungan 

Rabu, 17 Maret 2021

Yohanes 5 : 17-30

            Allah Bapa mengutus Putera-Nya untuk menyingkapkan misteri Allah yang Maha Agung. Melalui Sabda dan cara hidup Yesus Kristus, seseorang mengenal bahwa Allah bukan Allah yang jauh, tetapi Dia sangat dekat, peduli dengan penderitaan manusia dan selalu rindu untuk selalu bersama dengan umat-Nya. Oleh karena itu melalui Yesus Kristus, seseorang bertemu dengan Allah Bapa. Ketika bersama dengan Allah Bapa, maka seseorang tinggal dalam damai, perlindungan dan keselamatan yang datang dari Allah sendiri.  “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup.”(Yoh 5:24). Dengan demikian di dalam Yesus Kristus kuasa Allah Bapa sendiri yang hadir dan pada saat akhir jaman Dia yang akan datang kembali untuk menjadi hakim bagi umat manusia. “Dan Ia telah memberikan kuasa kepada-nya untuk menghakimi, karena Ia adalah Anak Manusia.”(Yoh 5:27). Yesus Kristus akan mengadili dengan adil menurut kehendak Bapa-Nya. “Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku.”(Yoh 5:30).

            Oleh karena itu, di dalam Kristus semua orang diundang untuk datang kepada-Nya, sebab sudah jelas kehendak Bapa, yaitu melalui Putera-Nya, semua orang akan sampai kepada Allah Bapa.”Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman.”(Yoh 6:40).  Kerinduan Allah ini akan disambut dengan gembira oleh mereka yang rendah hati dan percaya kepada-Nya.  Sebab  kehadiran Allah yang kudus tidak akan bisa diterima oleh orang-orang yang menyukai kejahatan dan yang merasa sudah tidak membutuhkan Allah. “Orang fasik tertangkap dalam kejahatannya.”(Amsal 5:22). Tuan bagi orang yang tidak percaya pada Allah adalah keinginan-keinginan danging mereka sendiri. Oleh karena itu ia akan mengejar keinginan yang satu, dan mengejar keinginan yang kedua, ketiga, dan seterusnya tanpa berhenti. Jika seseorang menempatkan keinginan daging diatas segalanya, maka ia menjadi hamba dari keinginannya. Ketika hati manusia sudah dikuasai oleh keinginan-keinginan yang tidak teratur ini, maka jiwa manusia menjadi jauh dari Allah. Jika ia tidak percaya dan jauh dari Allah ia menjadi sangat rentan untuk bisa jatuh dalam dosa atau kejahatan. “Saudara-saudaraku yang kekasih, akau menasehati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau, kamu menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang melawan jiwa.”(1 Petrus 2:11).

            Oleh karena itu, seseorang akan bisa menerima dan percaya kepada Allah yang hadir dalam diri Yesus Kristus, jika ia berani memberi ruang khusus bagi Dia dalam hatinya.  Dengan cara bagaimana agar seseorang bisa memberikan hatinya bagi Tuhan?  “Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair.”( Mzm 63:2). Jiwa manusia akan haus akan Allah jika ia menyadari bahwa Allah terlebih dahulu memiliki kerinduan untuk selalu ada bersama dengan manusia, karena Dia mengasihi manusia. Sejak awal diciptkan Allah menciptakan manusia bukan untuk hidup terpisah dengan-Nya, tetapi supaya setiap orang hidup dalam Kerajaan Allah yang penuh dengan kedamaian. Oleh karena itu, semakin seseorang menyadari kebaikan dan kasih Tuhan, maka ia akan semakin memiliki kerinduan untuk datang kepada-Nya.  Dengan kasih-Nya, Allah telah menciptakan seseorang, memelihara, menjaga,  menuntun, dan berjalan bersamannya untuk  melakukan hal-hal yang baik yang telah dipercayakan kepadanya. Oleh karena itu hidup orang yang percaya kepada Kristus, ada ditangan-Nya. “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang disiapkan Allah sebelumnya. Ia mau supaya kita hidup di dalamnya.”(Efesus 2:10).                Serawai, ditulis oleh Rm. A. Didik Setiyawan, CM

HIDUP DALAM TERANG

Posted by admin on March 16, 2021
Posted in renungan 

Selasa, 16 Maret 2021

Yohanes 5:1-16

            Pada suatu saat, Yesus menyembuhkan seorang yang lumpuh, sehingga ia bisa berjalan kembali. “ Kata Yesus kepadanya: “Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah.” Dan pada saat itu juga sembuhlah orang itu lalu ia mengangkat tilamnya dan berjalan.”(Yoh 5:8-9). Dengan kesembuhan tersebut maka orang yang telah disembuhkan bersyukur memuji Tuhan dan bersuka cita bersama semua orang yang percaya kepada Yesus. Namun sebaliknya yang dirasakan oleh orang-orang Yahudi, justru mereka merasa gerah melihat kesembuhan tersebut. Mereka mancari alasan untuk menyalahkan orang yang telah disembuhkan dan juga mengutuk perbuatan yang telah dilakukan oleh Yesus. Hanya orang yang hatinya jahat  yang bisa tersulut oleh kemarahan besar saat  Yesus menolong menyembuhkan orang yang sakit. “Dan karena itu orang-orang Yahudi berusaha menganiaya Yesus, karena Ia melakukan hal-hal itu pada hari Sabat.”(Yoh 5:16).

            Sikap orang-orang Yahudi yang menolak dan menganiaya Yesus menjadi ungkapan nyata apa ada di dalam hati dan pikiran mereka yang jahat. Jika seseorang yang hatinya jernih, ia akan bersukacita jika ia melihat kebaikan-kebaikan bermunculan disekitarnya. Sebaliknya jika hati seseorang jahat maka akan selalu menolak kebaikan atau terang, karena ia lebih menyukai kegelapan. Saat seseorang mengendaki dan menyukai yang jahat berarti memilih jalan kegelapan, dan dengan demikian ia memilih hidup dalam belenggu kegelapan, karena saat gelap tidak ada yang bisa dilihat selain kegelapan itu sendiri. Ia menghukum dirinnya sendiri karena saat kegelapan mengendalikan dirinya, ia terjerat oleh kejahatan-kejahatan yang dibuatnya. “Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat.” (Yoh 3:19).

            Kegelapan adalah kondisi yang mencekam dan menipu, sehingga yang ditawarkan adalah sesuatu yang semu dan menjerumuskan. Orang menyukai cara hidup yang demikian membutuhkan pertolongan. Yesus Kristus hadir untuk menolong manusia keluar dari kegelapan tersebut. “Maka Yesus berkata pula kepada orang banyak, kata-Nya : “Akulah terang dunia; barang siapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.”(Yoh 8:12). Yesus menunjukan jalan yang terang dengan cara; hadir sebagai seorang hamba yang siap untuk melayani mereka yang papa dan menderita, berkorban demi nilai-nilai kebaikan, pengampunan bagi orang-orang berdosa yang bertobat, ketabahan dalam memanggul salib, ketaatan pada kehendak Allah, dan persembahan diri untuk perdamaian dan menghapusan dosa manusia di atas kayu salib.  “Ketika ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil. Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh”(1 Petrus 2:23-24).  Cara hidup Yesus adalah cara hidup yang jauh dari kesombongan, karena Dia rendah hati dan lemah lembut . Jalan-jalan yang dilalui adalah jalan terang menuju Bapa. “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.”(Mat 11:29).

            Jika seseorang percaya pada Yesus Kristus, maka ia hidup dalam terang, sehingga terang tersebut akan mengusir kegelapan di dalam dirinya. Saat itulah akan tampak bahwa kebenaran ada di dalam diri orang yang percaya dan kejahatan tidak mendapat tempat lagi di dalam dirinya. “Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.”(Roma 13:14).

                                                                                                    Serawai, ditulis oleh Rm. A. Didik Setiyawan, CM

KESIAPAN MENGIKUTI-NYA

Posted by admin on March 15, 2021
Posted in renungan 

Senin, 15 Maret 2021

Yohanes 4:43-54

Suatu ketika ada seorang datang kepada Yesus dan memohonkan kesembuhan bagi anaknya yang sakit keras dan hampir mati. Yesus berkenan menyembuhkannya karena belas kasihan-Nya, sekalipun Yesus tidak langsung menjumpai anaknya. “Ia bertanya kepada mereka pukul berapa anak itu mulai sembuh. Jawab mereka: “Kemarin siang pukul satu demamnya hilang.” Maka teringatlah ayah itu, bahwa pada saat itulah Yesus berkata kepadanya: “Anakmu hidup”. Lalu  ia pun percaya, ia dan seluruh keluarganya.”(Yoh 4:52-53). Dengan imannya kepada Yesus Kristus, seorang ayah telah menyelamatkan anaknya. Ia menempatkan iman sebagai fondasi hidupnya, sehingga ia berani untuk datang  kepada Yesus. Jika seseorang tidak memiliki iman atau ia masih ragu-ragu, tidak mungkin ia akan mengandalkan kekuatan Tuhan.

Ketika seseorang memohon kepada Tuhan Yesus, maka pertama-tama dibutuhkan adalah iman. Jika iman sudah menjadi dasar atau fondasi hidup seseorang, maka ia akan selalu hidup dalam kasih dan selalu ada pengharapan. “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” ( Ibrani 11:1 ). Ia berada di dalam Allah; sumber air hidup, oleh karena itu seorang beriman tidak akan pernah mengalami kekeringan akan harapan dan kasih.  “Tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.”(Yoh 4:14). Iman adalah kekuatan dari dalam diri seseorang. Iman yang kuat menjadikan pribadi yang kuat pula, sebaliknya iman yang dangkal, membuat manusia pada posisi bimbang. “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” (lihat, Mat 14:31). Kebimbangan bisa membuat orang takut dan cemas sehingga tidak tahu apa yanh harus diperbuat. “Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya?” (lihat, Mat 8:26).

Oleh karena itu kekuatan iman akan Kristus tidak perlu di ragukan. Yang perlu dilihat adalah bagaimana kesiapan seseorang untuk bisa mengikuti Kristus, sebab iman bukan soal rumusan yang diucapkan “Aku percaya….”, namun juga suatu keputusan bebas yang bertanggung jawab dan siap mengikuti Kristus dan memanggul salib. ”Kata-Nya kepada mereka semua: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Luk 9:23). Kesiapaan seseorang menyangkut soal perubahan cara pandang atau paradikma dan sikap hidup atau prilaku manusia. Mengikuti Kristus berarti menjadi pribadi yang tidak lagi memikirkan kepentingan diri sendiri, namun menjadi pribadi yang siap berkorban demi keselamatan sesama. Puncak korban Yesus Kristus di atas kayu salib adalah teladan yang nyata bagi setiap orang yang mau mengikuti-Nya.  Arti berkoban ; berbuat baik bukan untuk keuntungan diri sendiri, tetapi berbuat baik untuk kebaikan bersama, perdamaian, solidaritas, dan membawa banyak orang pada pertobatan dan percaya akan Yesus Kristus Sang Mesias. “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarilah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”(Mat 28:19-20).

                                                                                                      Serawai, ditulis oleh Rm. A. Didik Setiyawan, CM

The Serpent, the Manna and the Eucharist

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on March 13, 2021
Posted in renungan  | Tagged With: , ,

Fourth Sunday of Lent [B]
March 14, 2021
John 3:14-21

Today’s Gospel presents us with one of the most cryptic sayings of Jesus, “Just as Moses lifted up the serpent in the desert, so must the Son of Man be lifted up, so that everyone who believes in him may have eternal life.” To unpack this, we cannot but go back to the Old Testament, especially the Book of Numbers.

In the book of Numbers chapter 21, we will discover Israelites’ story in the desert who complained about God’s given food. They even called Manna from God as the wretched or even worthless food. Indeed, this ungrateful act brought upon themselves a terrible punishment. The seraph serpents assaulted and killed many Israelites. Aware that they were perishing, the Israelites begged for mercy. God instructed Moses to make a bronze serpent and mount it on a pole for people to see. Those who had been bitten saw the bronze serpent and recovered. With this story as a background, Jesus presented Himself like the bronze serpent. He would be lifted on the cross so that those who see Him and believe will receive eternal life.

Yet, there are more! We notice that the reason behind this punishment is that the Israelites failed to appreciate the bread from heaven and even called it worthless. Indeed, that was an act of ingratitude, but it was also an act of the desecration to the heavenly bread itself. No wonder that the punishment was so severe. Interestingly, Jesus pointed out that the Manna in the desert is a type of Eucharistic bread that He would give [see John 6:48-50]. Thus, the incident in Number 21 teaches us a hard lesson about what will happen if we dishonor not only any God’s gift but also the most precious gift, the Body of Christ in the Eucharist.

The one responsible for the death of the Israelites was the seraph serpents. This serpent was not an ordinary snake like cobra or python. The word ‘seraph’ or the ‘burning one’ reminds us of the seraphim, one of the higher echelons of angelic beings. Aside from that, the image of a serpent that attacked humanity brought us to Satan’s first assault against Adam and Eve. The attack against the Israelites in the desert was not merely a natural phenomenon but supernatural. The devil himself wreaked havoc on the people of Israel.

If we connect the dots, we will see the relation between the Manna, the serpent, and the bronze serpent. When the Israelites desecrated the Manna, the seraph serpents broke loose and began their onslaught. The Manna was not only nourishing the Israelites but also protecting them from spiritual harm. If Manna in the desert is a type of the Eucharist, the serpent is the devil, and the bronze serpent is Jesus crucified, we can move one step further. Every time we desecrate the Eucharist, we do not only insult God but also open the gate of hell and let diabolic power overpower us and our societies. This desecration can only be remedied by true repentance and the cross of Jesus.

If we see ourselves, our families, and our communities are falling apart and becoming an easy target of the devil, the root is that we fail to honor the Eucharist. Like the Manna that protected the Israelites against the serpents and nourished them along their journey, the eucharist is our bulwark against the onslaught of the devil, and it is our spiritual food that nourishes and strengthens us in this earthly journey.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ular, Manna dan Ekaristi

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on March 13, 2021
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu Keempat Prapaskah [B]
14 Maret 2021
Yohanes 3: 14-21

Injil hari ini memberi kita salah satu perkataan Yesus yang paling sulit dimengerti, “sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” Untuk memahami perkataan ini, kita perlu kembali ke Perjanjian Lama, terutama Kitab Bilangan.

Dalam kitab Bilangan bab 21, kita akan menemukan kisah bani Israel di padang gurun yang mengeluh tentang Manna yang diberikan Tuhan. Mereka bahkan menyebut Manna dari Tuhan tersebut sebagai makanan tidak ada gunanya atau bahkan tidak berharga. Tentunya, tindakan mereka ini membawa hukuman yang mengerikan. Ular tedung menyerang dan membunuh banyak orang Israel. Sadar bahwa mereka akan binasa, orang Israel memohon belas kasihan. Tuhan memerintahkan Musa untuk membuat ular perunggu dan memasangnya di tiang untuk dilihat orang. Mereka yang telah digigit dan melihat ular perunggu itupun pulih. Dengan latar belakang cerita ini, Yesus menampilkan diri-Nya seperti ular perunggu. Dia akan ditinggikan di kayu salib sehingga mereka yang melihat Dia dan percaya akan menerima hidup yang kekal.

Namun, ada hal yang menarik yang kita tidak boleh lewatkan! Jika kita memperhatikan, alasan dari mengapa orang Israel kena hukuman adalah bahwa orang Israel gagal menghargai roti dari surga dan bahkan menyebutnya tidak berharga. Tentunya, ini adalah tindakan tidak tahu berterima kasih, tetapi lebih dalam, ini merupakan tindakan penodaan terhadap roti surgawi itu sendiri. Inilah mengapa hukumannya sangat berat. Yang menarik adalah Yesus menunjukkan bahwa manna di gurun adalah tanda dari roti Ekaristi yang akan Dia berikan [lihat Yoh 6: 48-50]. Jadi, kejadian di Bilangan 21 mengajarkan kita pelajaran pahit apa yang akan terjadi jika kita tidak menghargai anugerah Tuhan, dan terutama anugerah yang paling berharga yakni, Tubuh Kristus dalam Ekaristi.

Yang bertanggung jawab atas kematian orang Israel adalah ular tedung. Jika kita perhatikan, kata ibrani yang digunakan adalah ‘saraph.’ Kata ‘saraph’ atau ‘yang terbakar’ mengingatkan kita pada seraphim, salah satu malaikat di surga. Selain itu, cerita tentang ular yang menyerang umat manusia mengingatkan kita pada serangan pertama Setan terhadap Adam dan Hawa. Ular ini bukanlah ular biasa seperti ular cobra atau ular sanca. Serangan terhadap bangsa Israel di padang gurun bukan hanya fenomena alami, melainkan supranatural. Iblis sendiri yang datang membawa malapetaka bagi orang-orang Israel.

Jika sekarang kita menghubungkan hal-hal ini, kita akan melihat hubungan antara manna, ular ‘saraph’ dan ular perunggu. Ketika orang Israel menodai manna, ular seraph terlepas dan memulai serangan mereka. Manna tidak hanya memberi makan orang Israel, tetapi juga melindungi mereka dari bahaya rohani. Sekarang, jika manna di gurun adalah tanda dari Ekaristi, ular adalah iblis, dan ular perunggu adalah Yesus yang disalibkan, kita bisa melangkah lebih jauh. Setiap kali kita menodai Ekaristi, kita tidak hanya menghina Tuhan, tetapi juga membuka gerbang neraka dan membiarkan kekuatan jahat menguasai kita dan komunitas kita. Penodaan ini hanya dapat diperbaiki dengan pertobatan sejati dan salib Yesus.

Jika kita melihat diri kita sendiri, keluarga kita dan komunitas kita berantakan dan menjadi sasaran empuk iblis, akarnya adalah kita gagal menghormati Ekaristi. Seperti Manna yang melindungi orang Israel dari ular, dan memberi makan mereka sepanjang perjalanan mereka, ekaristi adalah benteng pertahanan kita melawan serangan setan, dan makanan rohani kita yang memelihara dan memperkuat kita dalam perjalanan duniawi ini menuju tanah air surgawi.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »