Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Siapakah nabi kita sekarang ini …

Posted by admin on December 15, 2021
Posted in renungan 

KAMIS, 16 Desember

Lukas 7: 24 – 30

Istilah padang gurun dalam tradisi kerohanian dimengerti sebagai tempat mendekatkan diri pada Tuhan. Gurun tidak memberi jaminan dan kenyamanan duniawi bagi manusia. Sebaliknya, inilah tempat yang memaksa manusia untuk membuang apapun yang tidak penting dan merugikan hidupnya. Di padang gurun manusia dihadapkan pada pilihan hidup atau mati. Gurun memaksa manusia untuk jujur pada diri sendiri mengenai makna hidup, apa yang dicari dan bagaimana mencarinya. Inilah tempat pemurnian hidup. Mereka yang bertahan dan lulus tahap padang gurun ini, biasanya menjadi pribadi baru. Dia menjadi pribadi yang lebih otentik dan memiliki kejelasan arah hidup. Ia menjadi pribadi yang lebih dekat dengan Tuhan. Dia siap membawa warta kehidupan dengan komitmen jangka panjang yang lebih jelas.

Bangsa Israel melewati pada gurun selama 40 tahun, dan hanya kelompok kecil yang teruji dan selamat. Yesus retret 40 hari di sana sebelum menjalankan perutusanNya.

Setiap orang memiliki padang gurunnya sendiri. Fase padang gurun ini bisa terjadi karena pilihan atau karena terjadi dalam hidup tanpa pilihan bebas. Seringkali kita mengasingkan diri dari berbagai kesibukan dan fasilitas dengan hanya membawa perlengkapan seadanya. Misal pada saat retret, renewal, gladi rohani, perziarahan dst. Di sini kita masuk “padang gurun” dengan tujuan lebih mengenali diri di hadapan Pencipta kita. Di sana kita latihan berpuasa, laku tapa, self-denial dan praktek disiplin lainnya. Di akhir pengalaman gurun ini, diharapkan ada pertumbuhan kualitas hidup secara utuh.

Atau seringkali kita mengalami kegagalan dalam usaha, kehilangan makna dalam hidup dan kerja, kejenuhan yang berkepanjangan dan semacamnya. Itulah pengalaman gurun yang terjadi tanpa kita undang. Dalam hidup beriman, pengalaman gurun ini adalah peluang untuk pemurnian diri dan memperbahaui komitmen. Gurun model ini terjadi karena ada kelalaian dalam diri kita; atau kita terlena mengikuti kuasa jahat yang nampak seperti malaekat. Dan baru sadar ketika buahnya nampak dalam bentuk lunturnya kualitas hidup. Maka inilah saat untuk lebih mengenali diri lebih jujur demi pertumbuhan kualitas hidup. 

Yesus mengatakan gurun adalah sarana berjumpa dengan sang nabi dan pemandu kehidupan yang benar. Di gurun kita berjumpa dengan nabi yang memurnikan hati agar bisa mengalami Allah di dunia ramai ini. Lalu siapakah nabi kita sekarang?

Nabi kita ialah Hati Nurani.

Hanya dalam keheningan, kita akan berjumpa dengan nabi ini. Hanya kalau kita berani melepaskan kelekatan duniawi, suara nabi ini akan terdengar jelas. Ia menyuarakan jalan kehidupan, tetapi jalan itu agak terjal. Ia akan menyarankan langkah yang kadang berlawanan dengan selera kita. Dan semacamnya. Maka tidak mengherankan kalau suara Hati Nurani ini sering kita abaikan, disingkirkan dan malah dibunuh. Itulah nasib para nabi sejak dahulu kala. Tetapi kenyataan ini tidak mengingkari fakta bahwa hanya Suara Hati lah yang akan memberi hidup dan kedamaian sejati.

Kerajaan Allah sudah hadir …

Posted by admin on December 14, 2021
Posted in renungan 

RABU, 15 Desember

Lukas 7: 19 – 23

Yohanes tengah berada di dalam penjara ketika dia mengutus dua muridnya untuk bertanya pada Tuhan apakah Dia yang dinantikan semua manusia. Demi Mesias yang akan datang, Yohanes rela berjuang dan menderita. Di titik ini Yohanes mengalami pergulatan batin tidak mudah. Ini sangat manusiawi dan wajar. Termasuk di sini adalah keinginannya untuk mendapatkan kepastian terkait Yesus. Apakah Yesus itu Mesias yang ia siapkan selama ini. Bisa kita bayangkan bahwa hidup dan derita Yohanes bergantung pada kepastian akan Yesus ini. Yohanes sadar bahwa dia hanyalah menyiapkan jalan bagiNya. Tetapi sebagai manusia, Yohanes gagap juga: kalau Yesus itu Mesias, mengapa kini dia mengalami penderitaan demikian … Keraguan Yohanes bukanlah tanda kurangnya iman, tetapi itulah kerapuhan manusiawi di tengah penderitaan. Yesus pun mengeluh saat berdoa di Getzemani maupun saat menghadapi sakratul maut di atas salib.

Yesus memahami situasi Yohanes, sahabat dan sepupunya itu. Yesus tidak menegur apalagi memarahinya. Yesus tidak memberi banyak nasehat penuh kesalehan. Kita bayangkan, Yesus menunjukkan simpati yang tinggi pada Yohanes yang tengah di penjara. Bahkan Tuhan menghiburnya dengan menunjuk apa yang tengah terjadi di masyarakat. Itulah yang sering dikatakan oleh Yohanes pada saat Mesias datang. Dia akan membawa kehidupan, berita yang menggembirakan. Orang buta bisa melihat. Orang lumpuh bisa menari dan berlari. Orang tuli bisa menikmati indahnya suara alam. Semua ini menjadi bukti bahwa langkah dan tindakan Yohanes selama ini benar. Yesus yakin betul bahwa manusia sekaliber Yohanes akan menangkap semuanya itu sebagai tanda datangnya Kerajaan Allah. Yohanes adalah pribadi terbesar yang pernah dilahirkan perempuan di dunia ini; karena Yohanes lah yang menyiapkan kedatangan Tuhan, memperkenalkanNya pada dunia dan akhirnya Yohanes meninggal demi kemuliaanNya.

Berbagai tanda kehidupan seperti dikatan Yesus itu tidak tertangkap oleh mereka yang sibuk dengan nafsu dan selera, karena orang demikian tidak pernah bisa melihat kehidupan sejati di dalam diri dan di sekitarnya

Semua terpanggil untuk terlibat dalam mengembangkan hadirnya Kerajaan Allah ini. Siapapun yang menyediakan diri untuk terlibat dalam usaha mendatangkan Kerajaan Allah, Allah akan berkarya dalam dan lewat dirinya; sehingga ia bisa membuat si buta melihat, si tuli mendengar dan yang lumpuh berjalan.

Pendosa yang bertobat

Posted by admin on December 13, 2021
Posted in renungan 

SELASA, 14 Desember

Matius 21: 28 – 32

Perumpamaan dua anak laki ini sebenarnya cukup tajam dan menohok langsung ke hati manusia tipe Parisi. Anak pertama pada awal tampil sebagai penjaga moral dan tradisi, orang saleh dan suci penjaga hukum ilahi. Mereka ini hafal mantra agama dan tampil dengan simbol gamis. Tetapi hati mereka berlawanan dengan tampilan luarnya.  Maka pilihan dan tindakannya berlawanan dengan tampilan awalnya.

Anak kedua secara kasat mata digambarkan sebagai pembangkang, tidak santun, kotor dan amoral. Maka kelompok ini dianggap pengganggu dan polusi kehidupan; mereka merusak keberadaban dan agama. Tetapi pada dasarnya mereka ini manusia baik yang rusak karena situasi dan orang lain. Mereka masih memiliki kerinduan batin untuk baik. Mereka mempunyai kerinduan rohani. Maka ketika mereka disapa dan didengarkan, mereka bisa berubah dan hidup lebih bermartabat. Itulah kelompok pelacur, pemungut cukai dan orang berdosa lainnya. Mereka bisa mengenali Yohanes dan Yesus secara lugas dan benar.

Tak mungkin menilai manusia hanya dari tampilan luar. Manusia itu penuh misteri. Tetapi perubahan kualitatif selalu dilandasi dan dipicu oleh perubahan hati dan kejelasan nilai dalam hidup. Kalau perubahan itu dipicu karena nilai Injil, sering kita sebut sebagai pertobatan. Orang hanya mungkin bertobat, kalau dia menyadari diri sebagai pendosa. Sense of being a sinner. Dosa pada dasarnya menyalahgunakan rahmat. Anugerah Tuhan yang mestinya dibagikan dan diteruskan pada orang lain lewat pelayanan itu berhenti pada diri sendiri dan melayani diri sendiri. Kesadaran diri sebaai pendosa melahirkan kerinduan untuk bertobat, untuk berbagi rahmat; karena hanya dengan demikian rahmat akan tumbuh dan hidupnya akan bermakna. Semakin orang itu dekat dengan Tuhan, semakin dirinya merasa kotor, pendosa dan tidak pantas.

Orang yang merasa dirinya benar dan suci, tidak akan bisa bertobat dan berubah. Tidak ada kesadaran dan kebutuhan untuk berubah karena sudah cukup. Bahkan kesadaran diri sebagai orang yang benar dan lebih suci dari orang lain, bisa menjadi tanda bahwa ia jauh dari Tuhan.

Yohanes dari salib yang kita rayakan hari ini, menapaki jalan yang sama. Kunci pembaharuan hidup dalam ordo Karmel didasari kesadaran akan banyaknya dosa baik pada sisi personal maupun institusional. Langkah pembaharuannya bertumpu pada pertobatan yang ditarik oleh kasih Tuhan lewat salib. Pertobatan antara lain self-denial, otentisitas dan melepaskan kelekatan duniawi serta kesombongan diri.

Be honest to oneself, others and God …

Posted by admin on December 12, 2021
Posted in renungan 

SENIN, 13 Desember

Matius 21: 23 – 27

Setiap orang memiliki rahasia yang disimpan dalam hatinya. Ada rahasia yang terkait dengan konfidensialitas atau privasi. Atau rahasia yang disimpan demi kepentingan umum. Rahasia demikian ini wajar. Tetapi ada rahasia yang terkait dengan kebohongan, kemunafikan, kelicikan untuk kepentingan diri atau agenda yang abusive untuk diri sendiri…dst. Inilah kerahasiaan yang merusak martabat dirinya dan merugikan orang lain. Inilah rahasia yang membuat orang itu merasa tidak aman di hadapan orang lain. Orang ini akan reaktif terhadap pribadi lain yang dipersepsikan bisa membuka kedoknya. Maka ia akan menjadi reaktif, “sok kritis”, gampang curiga, cenderung nyinyir dan mudah mepertanyakan apa saja yang mengganggu kenyamanan berkat kepalsuan itu.

Itulah yang dilakukan kaum Parisi terhadap Yesus. Sering dikatakan bahwa mereka ini mengamat-amati Yesus. Lain kali mereka menjebakNya dengan pertanyaan. Atau mereka menghasut publik untuk menyudutkan Yesus dll. Agar langkahnya terlihat wajar, mereka membungkusnya dan akan mem-frame langkah mereka dengan menggunakan hukum agama, nilai leluhur, kebiasaan atau kultur masyarakat dan semacamnya. Maka benar kata Yesus bahwa mereka ini ibarat kuburan yang tidak bertanda, ular beludak yang siap menerkam, racun masyarakat atau dengan terus terang menyebut mereka sebagai kaum munafik.

Dialog antara Yesus dan kelompok Parisi dalam perikop ini terjadi setelah Yesus membersihkan Kenizah dari para pedagang dan pemburu untung lainnya. Bagi mereka yang masih merindukan Tuhan, tindakan Yesus ini tepat. Tetapi langkah Yesus ini merugikan kaum Parisi dan pencari untung. Kedoknya terbongkar. Mereka marah, tetapi tidak berani melawan karena mayarakat mendukung Yesus. Maka mereka mengangkat issue itu ke tingkat yang lebih mudah diterima. Mereka mem-framing pembersihan kenizah menjadi soal tanggung jawab. Mereka bertanya dan menuntut penjelasan: dengan kuasa apa Yesus melakukan itu. Di balik pertanyaan itu, mereka berpikir soal kuasa dan jabatan resmi, status keagamaan atau pemuka agama. Tetapi Yesus mengerti kemunafikan mereka yang gemar memelintir persoalan; maka Yesus mengembalikan seluruhnya pada tataran jauh lebih mendalam dan lebih luhur. Yesus mengangkat pokok persoalan ke tingkat transendental, spiritual, hati nurani dan iman … “Dari manakah pembaptisa Yohanes: dari Allah atau manusia …?”

Dari kebingungan mereka, kelihatanlah kebusukan hati mereka. Padahal persoalannya sederhana; tetapi karena mereka berbohong, semua menjadi serba salah …

Bagi Yesus, semua tindakan kasih pelayanan, kejujuran yang mendatangkan kedamaian, pengampunan yang membebaskan … berasal dari Allah. Orang yang membela dan mengembalikan martabat manusia, membangun persaudaraan sejati dan menyuarakan kebenaran demi iman pada Allah … mereka ini dibimbing oleh Roh Kudus.

Yesus mau membuka kedok kaum Parisi yang penuh agenda busuk itu. Yesus meminta mereka mengambil posisi jelas terkait hidup dan tindakan Yohanes yang profetis dan penuh kesaksian itu. Dan kaum Parisi bungkam di hadapan kebenaran.

Siapapun yang berhati tulus, akan mencari kebenaran, Allah menampakkan diri padanya lewat siapa dan apa saja. Orang yang berhati tulus dan terus mencari kebenaran, akan mengalami bimbinganNya. Itu tak berarti semuanya lancar tanpa kesulitan.  Allah memberikan stamina batin untuk melewati ziarah hidup yang banyak cobaan ini. Kaum Parisi tidak bisa mengenali Allah yang berkarya dalam diri Yesus dan Yohanes, karena dalam diri mereka penuh kepalsuan dan agenda untuk dirinya.  

Rejoice Always

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on December 11, 2021
Posted in renungan  | Tagged With: , ,

Third Sunday of Advent [C]

December 12, 2021

Luke 3:10-18

Phil 4:4-8

The third Sunday of Advent is well known as Gaudete Sunday, or the rejoicing Sunday. The lovely Sunday takes its root from St. Paul’s letter to the Philippians, our second reading for the mass. St. Paul reminds the Christians in Philippi to rejoice always [Phil 4:4]. Thus, Gaudete Sunday invites us to possess that lasting joy, and must not be gloomy while we are preparing ourselves for the coming of our Lord, Jesus Christ.

if we try to closely reflect St. Paul’s words, we will discover something utterly amazing. St. Paul is not simply advising us to rejoice from time to time, but he commands us to rejoice all the time! How is it possible? Sadness and sorrow are inevitable parts of our lives. We are sad when we experience failures, we mourn when we lose someone important in our lives, and we feel the pain when we are hurt. It seems that St. Paul was overly optimistic about life. Yet, Paul simply teaches the truth. On a deeper level, sorrow and joy are not contradictory. For Paul, we can have a profound joy despite our sadness and sufferings.

If we try to examine Paul’s life, we will have a better understanding of what he means. Paul used to be the archenemy and persecutor of the Church, but after he encountered Jesus, he repented and became a zealous apostle of Christ. Was his life getting better after following Jesus? Not at all! Paul himself shared many hardships he had to endure for the sake of Christ and His body. Often, he got stoned, bitten, and imprisoned. When he was traveling, he endured the scourging sun and the freezing nights. Sometimes, he faced betrayals and false brothers. Yet, most of all, he had to take care of his flocks with all their problems and stubbornness.

His final ordeal was when he was under house arrest in Rome. He was waiting for his trial before Caesar, and the future was bleak as Nero the mad man was the emperor. He was in the chain and a Roman soldier constantly watched over him. Yet, despite this, he wrote a letter to the Philippians and asked them to rejoice always. How is it even possible?

The secrets are within the same letter. After commanding the Philippians to rejoice always, St. Paul asked for two things: do not worry about anything and to pray in thanksgiving always. Firstly, Paul was indeed in terrible situations, but he was not worried because he entrusted his life to God. He had faith that God would take care of him well. Secondly, Paul offered everything to the Lord in his prayer. More remarkably, he gave thanks always in his prayers. Paul even was able to appreciate ‘bad things’ in his life as an opportunity to praise the Lord. This is the secret of joy according to St. Paul. Do not worry, pray and be grateful!

What is more fascinating is that the word thanksgiving used by Paul in Greek is ‘eucharistia’. This reminds us of all that at the core of our worship is thanksgiving. Everytime we worship the Lord in the mass, we throw away our anxiety, offer our lives, and give thanks for everything we have received. Thus, joy is the inevitable result of our worship.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »