KAMIS, 16 Desember
Lukas 7: 24 – 30
Istilah padang gurun dalam tradisi kerohanian dimengerti sebagai tempat mendekatkan diri pada Tuhan. Gurun tidak memberi jaminan dan kenyamanan duniawi bagi manusia. Sebaliknya, inilah tempat yang memaksa manusia untuk membuang apapun yang tidak penting dan merugikan hidupnya. Di padang gurun manusia dihadapkan pada pilihan hidup atau mati. Gurun memaksa manusia untuk jujur pada diri sendiri mengenai makna hidup, apa yang dicari dan bagaimana mencarinya. Inilah tempat pemurnian hidup. Mereka yang bertahan dan lulus tahap padang gurun ini, biasanya menjadi pribadi baru. Dia menjadi pribadi yang lebih otentik dan memiliki kejelasan arah hidup. Ia menjadi pribadi yang lebih dekat dengan Tuhan. Dia siap membawa warta kehidupan dengan komitmen jangka panjang yang lebih jelas.
Bangsa Israel melewati pada gurun selama 40 tahun, dan hanya kelompok kecil yang teruji dan selamat. Yesus retret 40 hari di sana sebelum menjalankan perutusanNya.
Setiap orang memiliki padang gurunnya sendiri. Fase padang gurun ini bisa terjadi karena pilihan atau karena terjadi dalam hidup tanpa pilihan bebas. Seringkali kita mengasingkan diri dari berbagai kesibukan dan fasilitas dengan hanya membawa perlengkapan seadanya. Misal pada saat retret, renewal, gladi rohani, perziarahan dst. Di sini kita masuk “padang gurun” dengan tujuan lebih mengenali diri di hadapan Pencipta kita. Di sana kita latihan berpuasa, laku tapa, self-denial dan praktek disiplin lainnya. Di akhir pengalaman gurun ini, diharapkan ada pertumbuhan kualitas hidup secara utuh.
Atau seringkali kita mengalami kegagalan dalam usaha, kehilangan makna dalam hidup dan kerja, kejenuhan yang berkepanjangan dan semacamnya. Itulah pengalaman gurun yang terjadi tanpa kita undang. Dalam hidup beriman, pengalaman gurun ini adalah peluang untuk pemurnian diri dan memperbahaui komitmen. Gurun model ini terjadi karena ada kelalaian dalam diri kita; atau kita terlena mengikuti kuasa jahat yang nampak seperti malaekat. Dan baru sadar ketika buahnya nampak dalam bentuk lunturnya kualitas hidup. Maka inilah saat untuk lebih mengenali diri lebih jujur demi pertumbuhan kualitas hidup.
Yesus mengatakan gurun adalah sarana berjumpa dengan sang nabi dan pemandu kehidupan yang benar. Di gurun kita berjumpa dengan nabi yang memurnikan hati agar bisa mengalami Allah di dunia ramai ini. Lalu siapakah nabi kita sekarang?
Nabi kita ialah Hati Nurani.
Hanya dalam keheningan, kita akan berjumpa dengan nabi ini. Hanya kalau kita berani melepaskan kelekatan duniawi, suara nabi ini akan terdengar jelas. Ia menyuarakan jalan kehidupan, tetapi jalan itu agak terjal. Ia akan menyarankan langkah yang kadang berlawanan dengan selera kita. Dan semacamnya. Maka tidak mengherankan kalau suara Hati Nurani ini sering kita abaikan, disingkirkan dan malah dibunuh. Itulah nasib para nabi sejak dahulu kala. Tetapi kenyataan ini tidak mengingkari fakta bahwa hanya Suara Hati lah yang akan memberi hidup dan kedamaian sejati.