Jumat, 5 Maret 2021
Matius 21: 33-43.45-46
Allah menganugerahkan kehidupan dan iman kepada setiap murid-murid Kristus. Apa yang dianugerahkan tersebut adalah bentuk kepercayaan yang diserahkan kepada mereka, agar bisa menjadi pancaran belas kasih Allah kepada dunia. “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”(Mat 5:16). Nilai kepercayaan dari Alllah tidak ternilai harganya karena begitu sangat mulia. Oleh karena itu jika seseorang menyadari hal tersebut, ia akan sangat bersyukur, menjaga anugerah iman dari Allah itu, dan mengembangkannya, untuk kedamaian seluruh umat manusia dan untuk meluhurkan dan meninggikan Nama Allah.
Sementara itu, apakah masing-masing orang yang mengaku sudah dibaptis, menyadari nilai yang tinggi dari panggilannya? Jika seseorang ingin mengetahuinya, bisa melihat bagaimana cara hidupnya. Jika cara hidupnya didasarkan pada nilai-nilai Injil atau iman yang ia pegang, maka dengan sendirinya ia mensyukuri dan bertanggung jawab atas kepercayaan yang telah dianugerahkan oleh Allah. Seperti seorang penggarap ladang yang telah diserahi oleh tuannya untuk menggarap ladangnya, jika ia setia menggarap dengan baik, maka ia telah menjaga kepercayaan dari tuannya, dan sebaliknya, jika kepercayaan itu disia-siakan dengan hidup yang tidak disiplin, hanya mengejar kesenangan-kesenangan semata, dan mengabaikan nilai-nilai iman, maka apa yang diterima akan diambil kembali. “Kata mereka kepada-Nya: “Ia akan membinasakan orang-orang jahat itu dan kebun anggurnya akan disewakannya kepada penggarap-penggarap lain, yang akan menyerahkan hasilnya kepadanya pada waktunya.”(Mat 21:41).
Sebagai orang beriman, apakah hidupnya sudah sejalan dan seturut iman tersebut? Bukan berarti terjadi perubahan dalam sekejap. Pertumbuhan iman sama seperti pertumbuhan makhluk hidup. Melalui proses tahap demi tahap, seseorang akan diproses lewat peristiwa-peristiwa hidup ; yang menggembirakan dan yang tidak, yang pada akhirnya iman tersebut akan dewasa dan berbuah dalam karya cinta kasih dan kesetiaan. Namun yang penting adalah seseorang mampu bersyukur atas imannya dan setelah itu mau berjuang untuk melaksanakannya. Tanpa kehendak atau dorongan dari hati yang kuat, maka hal itu tidak akan pernah terjadi. “Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketikan tuannya itu datang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya tuannya itu akan mengangkat dia menjadi pengawas segala miliknya.”(Mat 24: 46-47).
Dengan demikian yang dibutuhkan untuk mengembangkan iman adalah pertama-tama bersyukur atas hidup dan pengenalan dan kepercayaan kepada Kristus Penyelamat. “Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukur dalam segala hal, sebab itulah yang dikehedaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.”( 1Tesalonika 5:16-18). Jika seseorang mampu bersyukur, maka ia akan bisa bersukacita dalam semua peristiwa, dan ia akan terus setia untuk mengikuti Kristus. Sebaliknya jika seseorang tidak mau bersyukur, ia akan menjadi “buta hatinya” dalam melihat kehadiran Allah dalam hidupnya. Dengan bersyukur seseorang percaya akan kebaikan Tuhan, karena jika tidak percaya, ia tidak ada alasan untuk bersyukur kepada-Nya. Dengan demikian ia lebih percaya pada dirinya sendiri. Dalam kondisi seseorang lepas dari Tuhan, maka ia rentan dikuasai dosa dan dosa inilah yang akan menjadikan ia “buta hatinya”. “Karena itu setiap orang yang tetap berada di dalam Dia, tidak berbuat dosa lagi. Setiap orang yang tetap berbuat dosa, tidak melihat dan tidak mengenal Dia.”(1 Yoh 3:6).
Paroki St Montfort Serawai, ditulis oleh Rm. A. Didik Setiyawan, CM