Allah telah mengutus para nabi untuk mengajak bangsa Israel kembali percaya kepada-Nya.
Namun semua nabi ditolak mereka, bahkan Yesus Kristus sendiri juga ditolak hingga mereka menyalibkan-Nya. Penolakan adalah bentuk ketidakpercayaan. Oleh karena itu, kebaikan apapun yang telah dibuat oleh Tuhan di depan mata mereka tidak akan berpengaruh dan tidak akan menyentuh mereka. “Mereka bangun, lalu menghalau Y esus ke luar kota dan membawa Dia ketebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu.”(Lukas 4: 29).
Dengan demikian hambatan yang terbesar dalam relasi dengan Allah adalah ketidakpercayaan. Bagaimana mengatasi ketidakpercayaan diri seseorang? Kepercayaan tidak bisa disamakan dengan sebuah prestasi manusia, karena dalam kepercayaan tersebut terdapat unsur Ilahi, yaitu peran Allah dan unsur insani; jawaban dari manusia. Ketika Allah telah mengulurkan tangan kasihNya, pada saat itu juga diperlukan sambutan dari manusia. “Aku berkata kepadamu: Ia akan segera mebenarkan mereka. Akan tetapi jika Anak manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman dibumi.”(Luk 18:8). Jawaban seseorang muncul dari dalam hatinya, yaitu suatu jawaban dan keputusan pribadi yang bebas tanpa ada paksaan dari manapun juga, sehingga iman atau kepercayaannya tersebut didasarkan pada kerinduan untuk mengikuti dan bersatu dengan Kristus.
“Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku, atau setidak-tidaknya, percayalah karena pekerjaan-pekerjaan itu sendiri.”(Yoh 14:11).
Ketika seseorang telah memutuskan untuk percaya kepada Kristus, ia telah menerima Kristus sebagai jalan, kebenaran dan sumber hidupnya dan sekaligus diterima di menjadi milik Allah. “Tetapi kamu adalah miliki Kristus dan Kristus adalah milik Allah.”(1 Kor 3:23). Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”(Yoh 14:6). Oleh karena itu segala yang diucapkan dan yang dilakukan bersumber dari imannya kepada Kristus, sehingga Tuhan sendiri yang hidup di dalam dirinya. “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.”(Galatia 2:20).
Karena mereka sudah menjadi milik Allah, maka mereka menerima martabat yang baru, yaitu sebagai anak-anak Allah. “Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah.”(Roma 8:16). Hidup mereka bukan dikuasai oleh kepentingan-kepentingan duniawi, karena mereka tidak lagi milik dunia, sebaliknya hidup mereka telah dikhususkan atau dikuduskan oleh Kristus. “Dan Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran.”(Yoh 17:19). Jika mereka tetap setia pada Kristus, maka ia akan selalu menjadi tanda dan berkat yang menghadirkan damai, kemurahan hati dan sukacita bagi sesamanya. Iman yang dihayati setiap murid Kristus akan terns berkembang, sejalan dengan kesetiaanya tinggal di dalam Kristus. Tidak ada keraguan lagi, karena ia selalu terbuka dan mendengarkan bimbingan Roh Kudus. “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan Firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.”(Yoh 15:7).
Paroki, St Montfort Serawai, ditulis oleh Rm. A. Didik Setiyawan, CM