Minggu Paskah ke-7 [B]

16 Mei 2021

Yohanes 17: 11b-19

Injil Yohanes bab 17 secara tradisional disebut doa Yesus sebagai imam agung. Doa agung-Nya ini terjadi dalam konteks Perjamuan Terakhir, dan tepat sebelum sengsara dan kematian-Nya. Di sini, Yesus berdoa kepada Bapa, dan menjadi perantara bagi para murid-Nya serta bagi kita semua yang percaya kepada-Nya. Sebuah doa yang sangat indah.

Satu hal menarik yang Yesus minta dari Bapa adalah bahwa Yesus tidak memohon agar Bapa mengambil murid-murid dari dunia, tetapi untuk melindungi mereka dari si jahat. Kita ingat bahwa Yesus segera kembali kepada Bapa dalam kenaikan-Nya, tetapi Yesus belum ingin para rasul mengikuti-Nya. Sebaliknya, Yesus kemudian meminta Bapa untuk menguduskan murid-muridnya dengan kebenaran.

Menguduskan berarti menjadikan kudus atau suci. Seringkali, pemahaman kita tentang kekudusan atau kesucian terbatas pada orang-orang yang sudah di surga. Kita menyebut mereka orang-orang kudus atau santo dan santa. Namun, arti fundamental dari ‘menjadi kudus’ adalah ‘dipisahkan’ atau ‘dikhususkan’. Dalam Bahasa Ibrani, kata untuk kudus adalah “Kados” dan memiliki arti yang sama. Oleh karena itu, dikuduskan berarti dikhususkan untuk tujuan tertentu. Seperti misalnya air suci, bukan lagi air biasa karena telah diberkati dan dipisahkan dari penggunaan biasa seperti minum atau kumur, dan sekarang dikhususkan untuk keperluan keagamaan.

Dalam doa-Nya, Yesus menguduskan murid-murid-Nya. Yesus menjadikan murid-Nya kudus, dan ini berarti, Yesus memisahkan mereka dari dunia ini, bagi kebenaran. Meskipun para murid ada di dunia, mereka bukan lagi milik dunia. Mereka dikuduskan pada kebenaran yaitu Yesus Kristus sendiri [lihat Yohanes 14: 6]. Murid-murid ini sekarang milik Yesus. Jadi, mereka tetap di dunia, bukan karena mereka menikmati dan melekatkan diri mereka pada dunia, tetapi mereka diutus memberitakan Kebenaran dan membawa Yesus.

Doa Yesus tidak hanya untuk para rasul-Nya dua ribu tahun yang lalu, tetapi untuk kita semua. Ketika kita dibaptis, kita telah dipisahkan dari dunia, dan dikhususkan bagi Tuhan. Kita adalah milik Tuhan. Namun, baptisan yang sama membuat kita ikut serta dalam misi para rasul. Kita tetap di dunia karena Tuhan mengutus kita untuk membawa Kristus kepada lebih banyak orang.

Namun, godaannya adalah kita sering lupa siapa kita sebenarnya, dan mulai percaya bahwa kita adalah bagian dari dunia, bukan milik Kristus. Kita tidak hanya di dunia ini, tapi kita menjadi terlalu duniawi. Kita menjadi terlalu terikat dengan dunia, dan sibuk dengan banyak urusan duniawi. Tentu saja, saya tidak menyarankan agar kita semua memasuki biara atau beralih menjadi pertapa. Kita tetap di dunia seperti kita sekarang, sebagai orang tua, suami-istri, pekerja, guru, siswa, namun dalam semua ini, kita membawa Kristus. Jadi, orang tua yang kudus bukan berarti mereka yang berdoa di kapel 24 jam, tetapi yang membesarkan anak-anak mereka dengan dedikasi dan membawa mereka kepada Kristus. Pekerja suci bukanlah mereka yang datang ke tempat kerja dan kemudian bertapa sepanjang hari, tetapi mereka yang bekerja keras dan jujur.

Kita ingat Beato Carlo Acutis. Dia senang pergi ke Misa dan berdoa rosario, tetapi dia adalah siswa biasa dan pencinta komputer. Dia menggunakan kecintaannya pada komputer untuk membangun situs web Katolik untuk menyebarkan devosi kepada Ekaristi Kudus. Jika Carlo Acutis bisa melakukannya, mengapa kita tidak?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP