Sabtu, 24 Juli 2021

Mat. 13: 24 – 30 :

Perumpamaan ini cukup menggelitik karena nyambung dengan pengalaman pergulatan harian kita. Setiap saat kita hidup dalam tegangan tanpa henti: antara baik-buruk, gengsi dan rendah hati, kepentingan diri dan pelayanan …dst. Hanya saja, pengalaman kita yang banyak itu jarang kita maknai atau kita refleksikan. Bukan karena kita malas atau lupa. Kita sudah lama terjebak dalam kesibukan kronis. Seringkali multi-tasking. Tidak sempat hening dan melihat pengalaman itu dalam terang iman. Akibatnya, selain kehilangan makna, kita seringkali mengulang kesalahan yang sama berkali-kali selama bertahun-tahun. Kita pun mengalami dan dengan jujur mengakui bahwa pengertian dan kehendak yang saleh ternyata tidak cukup untuk mengadakan perubahan kualitatif dalam hidup. Kita sering terganggu oleh pertanyaan “mengapa ilalang dalam diriku selama ini lebih cepat bertumbuh dibanding gandum .… “

Kecenderungan yang baik, suci, indah … biasanya sangat kita sadari, kita doakan dan kita agendakan. Tidak ada orang yang normal dan sehat merencanakan kejahatan. Tapi entah bagaimana, kerinduan bagus dan suci itu sering tidak terjadi, atau kalau pun terjadi, rasanya terlalu minimalis dan ala kadarnya. Bahkan orang sekaliber santo Paulus mengalami misteri ini. Paulus bingung ketika menyadari bahwa banyak hal baik yang ia ingin lakukan, tetapi yang terjadi malah sebaliknya (Rom. 7: 13-26). Seperti Paulus, kita pun mengalami adanya daya kegelapan yang terus operasional dalam diri kita tanpa kita sadari. Bahkan pengetahuan kita, pendidikan, usia dan pengalaman yang banyak, seringkali tidak mampu mengatasi tegangan ini. Kita hanya terheran-heran, mengapa ilalang tetap saja subur.

Dalam suratnya kepada komunitas di Korintus, Paulus mengatakan bahwa kita ini dianugerahi harta yang amat berharga. Tetapi harta ini tersimpan di dalam bejana tanah liat (2Kor.4:7). Sebagai citraNya, kita diberi sifat dan harta ilahi, tetapi semua harta amat berharga itu bercampur dengan kelemahan kodrat sebagai manusia. Tegangan ini akan terus terjadi dan kita memang harus hidup di dalam ongoing tension ini. Bahkan tegangan inilah yang mengasah kita menjadi pribadi dengan kecerdasan rohani yang memadai. Yang diperlukan adalah kemauan dan kerelaan untuk melatih self-denial, terutama terkait selera dan kelekatan, apapun bentuknya. Ini proses yang perlu kerendahan hati dan ketekunan, karena tidak ada solusi instant bahkan ongoing tension ini tak pernah selesai. Ketika Paulus mengeluhkan hal ini pada Tuhan, dia mendapat jawaban untuk tidak cemas, karena rahmat cukup untuk mengatasinya.