Hari Minggu Ketiga dalam Masa Biasa [B]
21 Januari 2024
Markus 1:14-20
Yesus memulai misi-Nya dengan menyatakan, “Waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat, bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” Namun, pertanyaannya adalah, “Injil apakah yang harus kita percayai?” Tentu saja, Injil yang dimaksud bukanlah keempat Injil tertulis (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes) karena Injil-injil tersebut ditulis beberapa tahun setelah kematian dan kebangkitan Yesus. Jadi, apakah yang dimaksud dengan Injil di sini?
Pengertian paling dasar dari Injil adalah ‘kabar baik’. Kata ini berasal dari kata Yunani ‘ευαγγελιον’ (baca: Evangelion). Kata ini sendiri terdiri dari dua unsur: ‘ευ’ yang berarti ‘bahagia’ atau ‘baik’, lalu ‘αγγελιον’ yang berarti ‘berita’. Pada zaman Yesus, kata ‘ευαγγελιον’ bukanlah sembarang kabar baik seperti “Saya lulus ujian” atau “Saya menerima hadiah.” Kata ini adalah istilah teknis kekaisaran Roma untuk menunjukkan kemenangan besar kaisar atau perayaan ulang tahun kaisar. Setiap kali ‘ευαγγελιον’ diumumkan, akan ada sukacita besar bagi rakyat karena musuh telah dikalahkan, dan sekarang penduduk kekaisaran dapat hidup dengan tenang.
Yesus menggunakan kosakata kekaisaran yang sama tetapi menyesuaikan isinya dengan tujuan-Nya. Injil bukan lagi tentang kabar baik tentang kekaisaran Romawi, tetapi tentang Kerajaan Allah. Injil ini bukan lagi tentang kemenangan kaisar, tetapi tentang kemenangan Yesus. Mereka yang hidup pada masa itu mungkin akan merespons Injil Yesus dengan cara yang berbeda. Orang mungkin menganggap Yesus gila, atau bahkan pembohong, dan dengan demikian, Injil-Nya tidak lain adalah kebohongan yang menggelikan. Orang lain mungkin melihat Yesus sebagai seorang yang subversif-revolusioner, dan dengan demikian, Injil-Nya adalah sebuah seruan untuk memberontak terhadap kekaisaran Romawi. Kita juga ingat bahwa pemahaman subversif tentang Injil ini kemudian digunakan untuk menuduh Yesus di hadapan Pilatus. Yesus adalah ‘raja orang Yahudi’ yang menentang kaisar Romawi.
Namun, Yesus membuktikan bahwa anggapan ini tidak benar. Yesus tidak mewartakan Injil kata-kata kosong; Dia mengajar dengan penuh kuasa dan melakukan mukjizat-mukjizat yang dahsyat. Bahkan setan-setan pun taat kepada perkataan-Nya. Dia juga bukan seorang pejuang politik yang revolusioner karena Kerajaan-Nya bukan dari dunia ini (lihat Yoh 18:36), dan bagaimana Dia menolak untuk diangkat menjadi raja oleh para pendukung-Nya (lihat Yoh 6:15). Kerajaan Yesus adalah Kerajaan Allah yang kudus. Satu-satunya cara untuk masuk ke dalamnya adalah melalui pertobatan (metanoia). Kata metanoia mengandaikan adanya perubahan ‘pikiran’ atau ‘gaya hidup’ dari kehidupan yang penuh dengan dosa dan jauh dari Allah menjadi kehidupan yang sesuai dengan hukum Allah, dan dengan demikian, hidup bersama Allah.
Jadi, dari perspektif ini, kita dapat mengatakan bahwa ‘percaya kepada Injil’ berarti kita percaya kepada Kerajaan Allah dan Yesus, raja dari Kerajaan itu, yang menyelamatkan kita dari dosa-dosa dan membawa kita kembali kepada Allah. Dan bukti kita percaya tidak lain adalah dengan bertobat. Mengatakan, “Saya percaya kepada Yesus,” tetapi kita tetap mencuri uang orang lain, adalah omong kosong. Mengatakan, “Saya percaya kepada Tuhan,” tetapi kita tetap melanggar hukum dan perintah-Nya, adalah sia-sia.
Fakta menarik lainnya! Kata Yunani yang sebenarnya digunakan oleh Markus untuk ‘percaya’ adalah ‘πιστεύετε’ (pisteuete), dan secara tata bahasa, kata ini merupakan bentuk imperatif dalam bentuk waktu sekarang (present tense). Dalam bahasa Yunani kuno, bentuk imperatif ini berarti perintah untuk melakukan sesuatu, bukan hanya sekali tetapi terus menerus. Dengan demikian, Markus ingin menekankan bahwa percaya adalah sebuah proses yang berkelanjutan dan bukannya sebuah tindakan yang dilakukan sekali saja. Percaya kepada Yesus adalah sesuatu yang bertumbuh dan dinamis, bukan statis.
Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP