(Am.6:1a.4-7; 1Tim. 6:11-16; Luk. 16:19-31)
Rm. Yohanes Endi, Pr.
Saudara-saudariku terkasih, minggu lalu kita diajak merenungkan tentang harta dan
kekayaan: bagaimana menggunakannya untuk kemuliaan Allah, bukan untuk
diperhamba. Hanya Allah sajalah yang patut kita sembah dan kita puji.
Hari ini, melalui Injil tentang orang kaya dan Lazarus, kita kembali diingatkan akan hal
yang sama, namun dengan penekanan yang lebih tajam: ada konsekuensi dari pilihan
hidup kita, apakah kita mau peduli pada sesama atau menutup mata terhadap mereka.
Injil menceritakan seorang kaya yang hidup dalam kemewahan: pakaian ungu yang
mahal, lenan halus, dan perjamuan setiap hari. Di depan pintunya, ada Lazarus yang
miskin, penuh luka, berharap sekadar mendapat remah dari mejanya. Tetapi bukan
belas kasih yang ia terima, melainkan anjing-anjing yang menjilat lukanya.
Menariknya, orang miskin itu disebut dengan nama: Lazarus. Dalam Kitab Suci,
menyebut nama seseorang berarti Allah mengenalnya, Allah mengasihinya secara
pribadi. Sementara orang kaya itu justru tanpa nama, tanda bahwa kehidupannya tidak
diperhitungkan di hadapan Allah, sebab ia tidak pernah memperhitungkan sesamanya.
Saudara-saudariku terkasih, bacaan pertama dari Nabi Amos juga menyinggung hal
serupa. Bangsa Israel akan jatuh ke tangan Asyur karena mereka hidup berfoya-foya,
tidak peduli dengan sesama, dan menghamburkan berkat yang seharusnya bisa
menjadi sarana kebaikan.
Perumpamaan Yesus berlanjut. Lazarus yang miskin dibawa para malaikat ke
pangkuan Abraham, tempat orang-orang yang dikasihi Tuhan. Sementara orang kaya itu
mati dan menderita dalam neraka. Dari siksaan, ia memohon setetes air dari Lazarus,
tetapi Abraham menegaskan bahwa jurang besar sudah terbentang, tidak bisa lagi
dijembatani. Permintaan orang kaya itu agar Lazarus dikirim ke keluarganya pun sia-sia.
Abraham menegaskan: “Biarlah mereka mendengarkan Musa dan para nabi.” Bahkan
jika ada orang yang bangkit dari mati pun, mereka yang menutup hati tidak akan
percaya.
Jawaban Abraham itu sesungguhnya mengingatkan kita semua: mukjizat tidak akan
berarti apa-apa bila hati kita tertutup. Kita justru percaya karena Yesus sudah bangkit
dari mati, dan dalam iman itulah kita berharap ikut dibangkitkan bersama Dia kelak.
Saudara-saudariku terkasih, keselamatan bukan soal kaya atau miskin, melainkan soal
pilihan hati. Tuhan sudah memberi kita kebebasan untuk memilih. Bila kita memilih
untuk peka, peduli, dan berbagi, kita sedang memilih hidup kekal. Sebaliknya, bila kita
menutup mata pada penderitaan sesama, kita sedang memilih jalan menuju
kebinasaan.
Dalam ajaran moral Gereja, menunda berbuat baik padahal kita mampu melakukannya
adalah dosa. Lebih berat lagi bila akibat kelalaian kita, orang lain sampai kehilangan
nyawa atau harapannya. Diam di hadapan penderitaan orang lain sama dengan
membiarkannya jatuh ke dalam jurang. Itu berarti kita pun sedang menjauh dari Allah.
Karena itu, mari kita membuka hati. Mari kita tumbuhkan kepekaan dan kepedulian
dalam hidup sehari-hari: di rumah, di lingkungan, di tempat kerja, dan di tengah
masyarakat. Jangan sampai ada Lazarus-Lazarus kecil di sekitar kita yang kita biarkan
begitu saja.
Poin penting yang perlu diingar, hidup kita tidak berakhir di surga atau neraka karena
kebetulan. Itu adalah buah dari pilihan kita sekarang. Semoga kita memilih jalan kasih,
jalan kepedulian, agar kelak Tuhan menyambut kita dengan sukacita di surga, seperti
seorang Bapa yang merangkul anaknya yang kembali pulang. Tuhan memberkati kita
semua. Amin.