(Hab 1:2-3;2:2-4; 2Tim. 1:6-8.13-14; Luk. 17:5-10)
Rm. Yohanes Endi, Pr.
Saudara-saudariku terkasih, minggu lalu kita merenungkan kisah tentang Lazarus yang miskin dan orang kaya yang menutup hati terhadap sesamanya. Kita diingatkan bahwa harta kekayaan hanyalah titipan Tuhan, yang seharusnya menjadi saluran berkat bagi mereka yang membutuhkan. Orang kaya dalam kisah itu kehilangan hidup kekalnya bukan karena hartanya, tetapi karena hatinya yang tertutup untuk berbagi. Pesannya jelas: iman sejati selalu berbuah dalam kasih dan kepedulian terhadap sesama.
Hari ini, Gereja mengajak kita merenungkan tentang iman. Dalam perjalanan hidup, iman kita mengalami dinamika, kadang tumbuh kuat dan segar, kadang melemah, bahkan nyaris layu. Namun, imanlah yang menuntun langkah kita menuju hidup kekal. Para rasul dalam Injil hari ini pun sadar akan kelemahan mereka, maka mereka memohon kepada Yesus, “Tuhan, tambahkanlah iman kami.” Mereka tahu bahwa hanya dengan iman yang kuat mereka akan mampu menghadapi kesulitan, godaan, dan kekecewaan hidup.
Yesus menjawab dengan perumpamaan sederhana namun sangat mendalam: “Sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Tercabutlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan menuruti perintahmu.” Yesus ingin menegaskan bahwa iman yang kecil sekalipun, bila sungguh hidup dan murni, mampu menghasilkan karya besar. Bukan besar kecilnya iman yang utama, melainkan kesetiaan kita untuk memeliharanya, menyiraminya dengan doa, memperbaharuinya dengan sabda Tuhan, dan menumbuhkannya melalui perbuatan kasih setiap hari.
Kemudian Yesus melanjutkan dengan perumpamaan tentang seorang hamba yang pulang dari ladang dan tetap melayani tuannya tanpa menuntut imbalan. Hamba itu berkata, “Kami hanyalah hamba-hamba yang tidak berguna. Kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan.” Sekilas pernyataan ini terdengar keras. Namun sesungguhnya, Yesus hendak menegaskan makna ketaatan dan kerendahan hati di hadapan Allah.
Di zaman sekarang, banyak majikan memperlakukan pekerjanya dengan penuh kasih dan rasa hormat. Maka, kita perlu memahami perumpamaan ini dalam konteks zaman Yesus terutama yang terus diyakini oleh bangsa Israel waktu itu. Yesus berbicara kepada orang-orang yang saat itu berpikir bahwa bila mereka menaati hukum Allah, maka Allah wajib membalas dengan berkat, umur panjang, atau kemenangan. Pola pikir seperti ini menempatkan Allah seolah-olah terikat pada kontrak dengan manusia.
Yesus ingin mengoreksi pandangan itu. Hubungan antara Allah dan manusia bukanlah hubungan antara majikan dan pekerja yang menuntut imbalan, melainkan hubungan kasih. Hubungan kasih itu seperti kasih antara dua sahabat, antara pasangan yang saling mencintai. Cinta yang sejati tidak menuntut balasan, tidak menghitung jasa, tidak mencari pengakuan. Ia memberi karena cinta itu sendiri adalah kebahagiaan.
Saudara-saudari terkasih, ketika Yesus berkata, “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna,” Ia tidak bermaksud merendahkan martabat manusia. Ia ingin mengingatkan kita bahwa segala yang kita miliki, waktu, tenaga, kecerdasan, kesempatan, adalah anugerah Tuhan semata. Tanpa rahmat-Nya, kita tidak akan sanggup berbuat apa pun. Maka, pernyataan itu adalah ungkapan kerendahan hati seorang murid yang tahu bahwa semua keberhasilan dan kebaikan berasal dari Tuhan sendiri.
Tuhan mengasihi kita bukan karena jasa atau ketaatan kita, tetapi karena Dia adalah kasih itu sendiri. Bahkan ketika kita jatuh dalam dosa, kasih-Nya tidak berkurang. Cinta Tuhan selalu mendahului, selalu lebih besar daripada dosa, selalu menyapa lebih dulu sebelum kita sempat memohon ampun. Inilah cinta yang melampaui cara berpikir manusia, cinta yang tidak mengenal syarat dan batas.
Sebaliknya, cinta manusia sering kali bersyarat: kita mudah mencintai mereka yang menyenangkan hati kita, dan cepat menjauh dari mereka yang melukai kita. Namun, cinta Tuhan mengajak kita keluar dari batas-batas itu, yakni untuk mencintai tanpa pamrih, memberi tanpa menuntut, dan mengasihi bahkan mereka yang sulit kita terima.
Saudara-saudariku terkasih, belajar dari cinta Tuhan yang tak terbatas, marilah kita menapaki hidup ini dengan iman yang sederhana namun setia. Mari kita menjadi duta kasih Tuhan di tengah dunia: mencintai tanpa melihat status, berbagi tanpa menimbang untung rugi, dan melayani tanpa menunggu pujian. Sebab pada akhirnya, hidup kita bukan diukur dari seberapa banyak yang kita miliki, tetapi dari seberapa dalam kita telah mencintai. Kiranya Tuhan meneguhkan iman kita, menumbuhkan cinta kita, dan menjadikan hidup kita pantulan kasih-Nya bagi sesama. Tuhan memberkati kita semua. Amin.