Pesta St Gregorius Agung, Uskup dan Pujangga Gereja
Bacaan I 1 Kor 3:1-9
Bacaan Injil Luk 4: 38-44
Salah satu sahabat saya, seorang frater yang sedang menjalani Tahun Orientasi Kerasulan, suka berbagi cerita tentang aktivitasnya yang bertimbun. Tuntutan kerja yang tinggi dan aneka kesempatan mengembangkan diri bertemu dengan jiwa muda penuh semangat berkobar dan, kesediaan bekerja keras nyaris workaholic, bagaikan dulang dengan tudung saji, cocok benar. Suatu Minggu pagi saya menemukan mug baru di lemari dengan pesan yang menalikan kerja dan cinta. Saya tak dapat menahan diri untuk mengambil foto mug dengan pesan itu disandingkan dengan helm sepeda yang suka menemani saya kemana-mana untuk urusan studi, kerja maupun rekreasi. Saya kirimkan foto itu via whatsapp padanya. Sedikit vitamin untuk jiwa, sebuah ungkapan kebijaksanaan yang juga disuarakan tokoh sekaliber Oprah Winfrey dan Steve Jobs.
Namun merenungkan hidup St Gregorius Agung, DWYL (Do What You Love) yang telah menjadi mantra kerja masa kini, terasa sesungguhnya memiskinkan nilai kerja yang lebih dari pada ungkapan “kesenangan”. Kalau kita tidak hati-hati menempatkan dalam jendela makna yang tepat, DWYL akan menjadi sekedar variasi gema dari semangat individualisme yang memusatkan diri pada perayaan sukses dan kebahagiaan diri sendiri. DWYL bisa hanya menjadi sebuah variasi “the gospel of self-fulfillment” atau “the gospel of success” yang menempatkan diri sebagai pusat semesta.
Gregorius lahir sebagai anak kelompok elit di Italia tahun 540. Ayahnya seorang senator, ibunya dikemudian hari menjadi seorang kudus pula, Sta. Sylvia, sebagaimana dua bibinya, Sta. Tarsilla dan Sta. Aemiliana. Karena keunggulan pribadinya, usai menyelesaikan studi hukum, ia dipercaya untuk memimpin kota Roma sebagai Prefektur pada usia relatif muda, 30 tahun. Situasi begitu buruk hingga orang-orang yakin akhir jaman akan segera tiba. Kekaisaran Roma telah tumbang tahun 476 di tangan bangsa barbar Jerman, yang seperti kekuatan ISIS di Syria dan Irak saat ini, bagai gelombang dasyat merebut wilayah demi wilayah melintasi Eropa hingga tiba di gerbang Roma. Sepeninggalan ayahnya, ia pun menjual harta bendanya dan membangun 6 biara di Sisilia dan mengubah tempat tinggalnya juga menjadi biara Benediktin, di mana ia sendiri kemudian menjadi salah satu rahibnya. Sisa hartanya yang masih begitu banyak disumbangkannya untuk karya sosial bagi orang-orang miskin.
Gregorius sangat mencintai hidup sebagai rahib. Namun pada usia 50 tahun ia dipilih sebagai Paus oleh Gereja Roma. Begitu banyak karya besarnya, termasuk menyelamatkan Eropa dari keruntuhan dengan membuat Gereja menjadi perekat kebudayaan bersama, mereformasi liturgy, memperhatikan orang-orang Yahudi yang teraniaya dan para korban wabah penyakit dan kelaparan. Dalam hal menulis, ia diakui sebagai satu dari 4 pujangga besar Gereja Barat abad pertengahan, bersama St Agustinus, St Ambrosius dan St Hieronimus.
Dalam salah satu kotbahnya ia mengatakan: “Mungkin tidaklah seberapa sulit bagi seseorang untuk melepas harta miliknya, tetapi pastilah sangat sulit baginya untuk melepas dirinya sendiri.” Seperti Yesus dalam Injil hari ini, tegar teguh dengan misi perutusannya, siap terus bergerak mengabarkan Injil dan tidak menetap pada tempat yang nyaman dimana Ia sudah populer dan dicari orang banyak. Ukuran pertimbangan pilihanNya bukan pada apa yang Ia suka kerjakan, melainkan apa yang menjadi kehendak Bapa. Cara hidup para muridNya pun diharapkan tidak sibuk dengan kedalaman perhatian pada diri sendiri, melainkan senantiasa mengupayakan keluasan kasih pada sesama dan ketinggian cinta pada Tuhan.
Banyak orang tak cukup beruntung bisa mengerjakan apa yang mereka sukai. Namun hal itu tidak dengan sendirinya mengurangi nilai pekerjaan mereka. Hidup kadang tak memberi pilihan atas apa yang kita kerjakan. Namun kebebasan senantiasa ada dalam mensikapi apapun tanggung jawab yang kita terima. Manakala keseluruhan diri dicurahkan untuk menuntaskan tugas yang dipercayakan pada kita, dalam kesadaran persembahan diri bagi Tuhan dan sesama, cinta pun mewujud dalam kerja. Dan kita pun makin menemukan hakekat kita, sebagai rekan kerja Tuhan, co-creator Allah.
* Kahlil Gibran