Bacaan I : Wahyu 14:14-19
Bacaan Injil : Lukas 21:5-11
Beberapa tahun lalu saat saya masih bekerja sebagai pastor rekan di paroki St Anna Duren Sawit Jakarta Timur, suatu siang sehabis misa seorang Ibu mendekati saya dan minta waktu bicara. “Penting sekali Romo!” Tatap matanya memelas menyiratkan jiwa letih didera kekawatiran entah apa. Sesaat kemudian, saat kami duduk di ruang tamu pastoran, dia mengajukan pertanyaan dengan nada serius, lebih serius dari para dosen penguji saya saat studi Filsafat maupun Teologi, “Romo tahu rapture?” Rapture? Dalam benak saya muncul bayangan film monster yang pernah saya tonton di televisi. Samar-samar arti katanya muncul dalam benak saya, “direnggut dan diseret-seret” sambil membayangkan binatang serupa buaya atau komodo yang menyerang suatu kota. Tapi saya merasa lebih baik dianggap nggak tahu dari pada sok tahu, kalau-kalau jawaban saya salah. Saya katakan pada si Ibu, “Saya tidak tahu Ibu, apa yah?”
Dengan serius Sang Ibu berbisik ketakutan, “Romo, rapture itu kiamat. Sudah dekat Romo. Romo ingat tidak dalam alkitab dikatakan bahwa saat kiamat nanti kalau ada dua orang sedang tidur, tahu-tahu yang satu hilang. Ada dua wanita sedang menggerinda, tahu-tahu yang satu lenyap (sang Ibu mengacu pada Lukas 17:34-37). Nah, itu namanya rapture, Romo. Dan waktunya sudah dekat!” “Ibu tahu dari mana?” “Belum lama saya datang ke persekutuan doa Kristen Protestan Romo, dan mereka membahas soal rapture. Saya dikasih bukunya juga, malah ada filemnya segala. Judulnya kalau nggak salah ‘Left Behind’. Jadi ngeri sendiri, Romo, sejak pertemuan itu saya susah tidur. Adegan-adegan film itu membayang terus!”
Saya tertegun sejenak. Rupanya benar pikiran saya. Sang Ibu ketakutan karena monster. Karena Tuhan yang dijadikan monster. Saya tahu hal seperti ini bukan hal yang baru, tetapi itu menjadi pengalaman pertama saya sebagai imam baru menghadapi umat yang iman-harapan dan kasihnya dilemahkan oleh ajaran sesat yang mencampuradukkan iman sejati dengan fantasi. Saya mengingatkan Sang Ibu dengan sabda Tuhan yang menyatakan bahwa benar Tuhan besabda “waktunya sudah dekat”, tapi itu 2000 tahun lalu. Dan benar bahwa saat itu umat Kristen perdana juga merasa akhir jaman akan segera tiba. Tetapi ternyata mereka salah. Dan dalam sejarah, kesalahan yang sama terus diulang oleh mereka yang merasa mendapatkan wahyu hingga mengklaim bahkan mereka tahu persis kapan hari terakhir tiba berdasar aneka perhitungan. Padahal Tuhan Yesus sendiri bersabda, tentang hari itu malaikat di surga tidak tahu, dan Anak pun tidak, hanya Bapa saja (Markus 13:32). Sikap yang tepat ya terus berjaga-jaga, dengan setia menjalankan hidup sebagai murid-muridnya yang baik, tetapi tidak perlu menjadi tegang dan mati sebelum waktunya.
“Tetapi kan benar sekarang banyak perang, Romo. Lalu bencana alam, kelaparan, kan itu persis yang dikatakan kitab suci sebagai tanda akan datangnya kiamat?” Dengan sabar saya jabarkan pada Sang Ibu pelajaran kitab suci pertama saya di Novisiat. Masih ingat saya, Romo Ben Velsen yang mengingatkan bahwa dari dulu semua itu terjadi, hanya sekarang dengan kemajuan teknologi dan informasi, kita jadi tahu lebih banyak dan lebih cepat yang terjadi di belahan bumi lain. Bukan berarti bencana dan perang lebih sering terjadi. Lalu saya ceritakan juga contoh-contoh kelompok yang berkali gagal meramal akhir jaman , tetapi herannya masih bertahan hidup dan diminati orang, seperti kelompok saksi Yehova yang tak jarang mengganggu orang Kristen lain, termasuk ibunda saya yang Katolik saleh, taat dan devotif sekali.
Perbincangan itu tidak menghapuskan tuntas kecemasan sang Ibu, meski dia menjadi jauh lebih tenang. Sebelum pulang dia berpesan, “Romo, besok saya bawa buku dan DVD saya, saya titip Romo yah. Romo saja yang bawa, mau dilihat boleh mau dibuang silahkan. Kalau saya terus membawa buku dan DVD itu, hati saya tidak tenang”. “Iya, saya terima besok. Terima kasih Ibu sudah sharing. Tolong kalau Ibu tahu ada teman-teman umat Katolik lain yang punya masalah sama, bisa disarankan ketemu saya atau Romo Sudri atau Romo Dibyo.”
Sepeninggalan Sang Ibu saya terpekur dalam doa. Tuhan, mengapa Engkau biarkan ada orang-orang menggunakan namaMu dan mencemarkanNya dengan menyebarkan bukannya kabar gembira kebenaran dan kehidupan tetapi malah kabar mencekam kesesatan dan keputusasaan kematian? Salah kami juga. Mungkin kami manusia lebih menyukai hiruk pikuk sensasi dan takut menghadapi kesederhanaan dan hidup yang biasa-biasa saja. Mungkin kami terus mewarisi kerinduan Adam untuk mendapatkan dan menunjukkan pengetahuan yang lebih dari Yang Maha Tahu. Mungkin kebenaran tak lagi penting dibanding kekuasaan atas harta dan jiwa-jiwa orang lain yang mudah ditaklukkan dan dikendalikan lewat kecemasan dan ketakutan. Mungkin karena Engkau menghendaki setiap kami yang perih hati bangkit dan lebih giat mewartakan ajaran yang benar juga pada saudara-saudari seiman kami sendiri!
