Bacaan I : Yesaya 52: 13 – 53: 12
Injil : Yohanes 18: 1 – 19: 42
Tidak ada kepedihan yang lebih pedih dari pada pengkhianatan yang dilakukan oleh orang yang kita kasihi. Tidak ada tragedi yang lebih perih selain pengkhiantan yang dilakukan oleh orang kita percayai. Hal inilah yang kita lihat dalam peristiwa hari ini. Kita melihat dan sekaligus mengenangkan Tuhan yang mengalami penderitaan akibat pengkhianatan. Tuhan tidak hanya menderita secara fisik, lebih dari itu Ia hancur karena banyak orang yang Ia kenal dan Ia kasihi meninggalkan Dia. Kepedihan Tuhan ini sungguh terungkap saat Ia berseru “Eli, Eli, Lama Sabaktani: AllahKu ya AllahKu, mengapa Kau tinggalkan Aku”. Sungguh sebuah jeritan yang sangat memilukan, sebuah jeritan yang berasal dari kesepian yang sungguh mendalam.
Tidak ada kesepian yang sungguh sunyi selain perasaan sendirian karena ditinggalkan oleh Tuhan satu-satunya harapan kita. Maka dari itu kita sungguh bisa merasakan betapa sunyinya kehidupan seseorang yang selalu merasa kesepian dalam hidupnya, seseorang yang tidak punya teman untuk diajak bicara, seseorang yang tidak pernah mengalami suka cita dalam hidupnya. Peristiwa sengsara dan wafat Tuhan ini mengingatkan kita untuk selalu berbela rasa dengan mereka yang mengalami kehancuran dalam hidupnya. Kita bisa menemui orang-orang seperti itu dalam diri para saudara kita yang menjadi pengungsi karena peperangan, atau para saudara kita yang mengalami kelaparan ataupun orang-orang yang dirampas hak hidupnya oleh para teroris yang berkedok agama. Peringatan sengsara dan wafat Tuhan ini adalah momentum yang sangat baik bagi kita untuk menumbuhkan rasa kemanusiaan kita. Jika Tuhan saja mau menderita bagi kita, maka kitapun juga dipanggil untuk mau berbela rasa terhadap para saudara kita yang mengalami penderitaan dalam hidupnya. Semoga Tuhan memampukan kita untuk mewujudkan niat baik kita ini. Amin. Tuhan memberkati.