Bacaan I : Kisah Para Rasul 5:34-42
Bacaan Injil : Yohanes 6: 1-15
Dalam suatu rapat Dewan Paroki di sebuah paroki dimana saya pernah bertugas, suatu kali Seksi Liturgi menyoroti pelaksanaan Misa Natal anak-anak yang dianggap tidak mendukung umat dewasa yang mengikuti misa pada jam tersebut. Dengan keras seorang pengurus mengatakan “Tidak ada yang namanya Misa Anak-Anak, Misa Kaum Musa, Misa Taize, Misa Lansia, Misa Karismatik… Misa ya Misa… Maka mestinya pada misa yang diikuti anak-anak itu juga berlaku aturan umum. Misalnya lektor, apakah anak-anak tahu apa yang dibaca itu? Lebih baik lektor tetap orang dewasa. Dan dalam pengumuman Gereja juga sebaiknya tidak lagi disebut Misa anak-anak, supaya umat tidak lalu menghindari datang misa pada jam itu karena dipikirnya Misa itu hanya untuk anak-anak saja.” Tentu saja pernyataan itu mendapat sanggahan keras dari pengurus Bina Iman Anak-anak.
Meski nampaknya kurang dikenal di Indonesia, tetapi pada tahun 1973, Sekretariat Kongregasi Penyembahan Ilahi (Congregation of Divine Worship) telah mengeluarkan Directory for Masses with Children. Jelas Vatican mendukung pentingnya pendekatan khusus untuk anak-anak dalam berliturgi untuk membantu mereka mengenal dan mencintai imannya. Misa untuk anak-anak itu bukan sekedar persoalan nama tapi semangat mendukung perkembangan iman anak. Lagipula, perayaan Misa yang dikhususkan untuk anak-anak dengan melibatkan orangtua sudah jamak dilakukan di paroki-paroki lain dan bukan saja di Indonesia. Dalam hati, saya teringat lelucon yang beredar di kalangan imam dan seminarian yang agak parah mengolok-olok fenomena sejenis itu: apa persamaan dan perbedaan terrorist dan liturgist (ahli liturgi)? Persamaannya, keduanya memegang prinsip dengan kuat. Perbedaannya, kalau terrorist masih bisa diajak kompromi, kalau liturgist tidak.
Dalam hidup menggereja dan bermasyarakat, perbedaan pendapat jamak adanya. Persoalannya, bagaimana mensikapinya dengan arif dan bijaksana, tidak serta merta mengganggap pihak yang berbeda pendapat salah tanpa berusaha memahaminya lebih dahulu. Gamaliel, doktor Hukum Taurat yang disegani dengan tenang meredam amarah anngota Dewan Imam dan menyarankan membiarkan waktu untuk membuktikan apakah gerakan para murid Yesus sungguh dari Allah atau hanyalah rekayasa manusia belaka. Logikanya, kalau itu bagian rencana Allah, pastilah akan diberkati dengan pertumbuhan yang tak terbendung bahkan oleh penganiayaan. Sebaliknya, jika ajaran yang disebarkan para rasul itu hanyalah buatan manusia, pasti tak akan bertahan lama. Meski saling pengertian yang mendalam tidak sungguh terjadi antara para tokoh agama Yahudi dan para pewarta Sang Jalan, setidaknya terciptalah ruang dialog publik untuk menguji kebenaran ajaran baru tersebut.
Kata dialog berasal dari bahasa Yunani kuno ???????? (diálogos, “wacana, percakapan), dari ??? (diá, “melalui, antar”) + ????? (lógos, “pidato, ceramah, wacana, percakapan ilmiah”). Dialog menciptakan jembatan, bukan dinding dan sekat pemisah. Dalam kotbahnya kemarin atas rangkaian kisah pengadilan para rasul ini, Paus Fransiskus mengingatkan, mereka yang tidak mau berdialog tidak taat pada Tuhan, karena mereka ingin membungkam mereka yang mewartakan kebaruan dari Allah. Hanya mereka yang taat pada Tuhan punya keberanian untuk mengubah jalannya ketika Tuhan meminta kita untuk melakukannya. Lebih jauh lagi beliau menyatakan: mereka yang tidak tahu bagaimana berdialog dengan orang lain juga tidak tahu bagaimana berdialog dengan Tuhan, karena mereka tidak tahu bagaimana berdoa dan mendengar suara Tuhan. Mereka hanya menafsirkan pelaksanaan hukum secara lebih persis, tetapi menutup diri terhadap tanda-tanda dari Tuhan dalam sejarah manusia.
So, saat menghadapi perbedaan terutama dalam mengungkapkan penghayatan iman beranikah kita terbuka dan berdialog? Semoga!
