Jumat, 25 Desember 2015, HARI RAYA NATAL, Luk 2:1-14
Setiap tahun, kisah kelahiran Yesus diambil dari injil Lukas. Memang Lukas menceritakan kisah kelahiran Yesus secara lebih lengkap dengan memberi keterangan latar belakang sejarah. Dan juga kisah kelahiran Yesus digambarkan begitu hidup sehingga para pendengar terbawa suasana yang menyentuh hati (Bayi Yesus dibungkus lampin, dibaringkan di palungan, suasana malam). Situasi demikian menggambarkan situasi yang terbatas (untuk mengatakan tidak umum, tidak semestinya seorang bayi lahir di tempat yang rawan bahaya). Itulah gambaran kelahiran Yesus. Kisah kelahiran Yesus ini tentu bukan bermaksud menyampaikan suasana yang syahdu, penuh haru belaka, melainkan menyampaikan bukti bahwa Allah sudi mengalami situasi keterbatasan, kekurangan, kesulitan seperti yang dapat dialami oleh setiap orang. Itulah yang hendak diwartakan dalam Perayaan Natal.
Natal menjadi perayaan liturgi tiap tahun. Bahkan terkesan sangat meriah dibanding perayaan Paskah. Berbagai atribut natal mulai semarak diberbagai tempat. Bacaan kitab suci mengajak kita untuk melihat makna natal secara lebih mendalam. Natal menjadi bukti bahwa Allah solider dengan perjuangan, pederitaan dan kesedihan umat manusia. Untuk itulah natal menjadi saat untuk memperbaharui diri, berani menghadapi tantangan, penderitaan, kesulitan dan juga mendorong kita untuk mau memberi harapan, peneguhan, terlibat bersama saudara kita yang mengalami penderitaan, kesulitan, keterbatasan.
Pertama, natal menjadi bukti Allah peduli akan penderitaan dan kesulitan kita. Allah hadir dalam keseharian kita. Salah satu reaksi, ketika kita menghadapi kesulitan dan penderitaan adalah munculnya rasa takut. Ketakutan merupakan kondisi diri yang tidak bebas, tercekam, terancam. Ketakutan dapat muncul karena peristiwa di masa lalu atau karena ketidakpastian di masa yang akan datang. Kalau demikian ketakutan itu sebenarnya tidak nyata ada ”di sini” dan ”saat ini”. Ketakutan akan masa lampau membuat seseorang ragu-ragu akan kemampuan dirinya. Ketakutan akan masa lampau menjadikan seseorang menutup diri dan tidak mau belajar dari pengalaman. Sedangkan ketakutan di masa akan datang membuat seseorang ragu-ragu akan belas kasih dan rahmat Allah (penyelenggaraan ilahi). Percaya akan penyelenggaraan ilahi sebenarnya menjadi daya untuk berani menghadapi tantangan dan kesulitan dalam hidup kita karena Allah beserta kita. ”Jangan takut” itulah pesan natal. Kedua, natal menjadi bukti Allah senantiasa menyertai kita, menjadi sahabat kita. Oleh karena itu kita pun diutus mewartakan damai natal yaitu menjadi sahabat bagi orang yang ditinggalkan, disingkirkan, dan ditelantarkan. Natal menjadi perayaan cinta kasih. Makna natal bukan hanya soal dekorasi altar dan halaman gereja, tapi perubahan sikap hidup. Amin