Sabtu, 20 Februari 2016
Ulangan 26:16-19
Mazmur 119
Matius 5:43-48
Kalau kita mendengar kata “sempurna”, mungkin kita langsung berpikir sesuatu yang 100% baik, tanpa cacat. Apalagi dalam bacaan Injil hari ini Yesus meminta kita untuk menjadi “sempurna seperti Bapamu di surga adalah sempurna.” Kelihatannya Yesus meminta kita untuk menjadi 100% tanpa cela, tanpa dosa, tanpa kesalahan, tanpa kejelekan, sama seperti Allah.
Tetapi kalau kita telaah lebih jauh maksud kata ini dalam bahasa Yunani, “teleioi” memiliki akar kata “tel” yang berarti penuh, komplit, atau sampai pada tujuan. Karena itu ada cabang teologi yang dinamakan teleologi, yang mempelajari bagaimana pada akhir jaman semua akan sampai pada tujuan yang direncanakan Tuhan. Dalam Injil Yohanes, kata terakhir Yesus sebelum wafat mempunyai akar kata yang sama dengan “tel”, misinya sudah tercapai, sudah selesai.
Menariknya, terjemahan yang kita gunakan, “sempurna” sendiri juga kurang lebih berarti sama dalam bahasa Sansekerta. Para perwira Polisi atau TNI yang sudah pensiun kita beri tambahan “Purnawirawan” di belakang pangkatnya, yang berarti tugas mereka sudah selesai, mereka sudah memenuhi tugas mereka sebagai polisi atau tentara. Contoh lain, bulan yang bersinar penuh kita beri nama bulan “purnama”.
Karena itu perkataan Yesus dalam Injil hari ini perlu kita lihat dengan lensa yang berbeda dengan yang biasa kita pikirkan. Sempurna bukan terutama menjadi seperti bersih tanpa noda, tetapi lebih tentang bagaimana kita mencapai tujuan kita, kodrat kita sebagai makhluk yang diciptakan sesuai gambar dan rupa Allah sendiri. Dan apakah kodrat Allah? Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:8) dan Ia memberi sinar matahari bagi yang baik dan yang jahat, hujan pada yang adil dan yang curang. Karena itulah Yesus memerintahkan kita untuk mengasihi semuanya, bahkan musuh kita.
Pengertian ini pun bisa kita terapkan dalam bagaimana kita melihat dosa. Seringkali kita melihat dosa sebagai beban, sesuatu yang mana kita harus kerja keras untuk menjauhkannya dari dalam diri kita. Tetapi kalau kita pertama-tama melihat bahwa dari awal kita diciptakan untuk tujuan tertentu, yaitu untuk kembali kepada Pencipta kita dan masuk dalam hubungan kasih dengan Allah Tritunnggal, maka dosa bukanlah bagian sejati dalam diri kita. Hidup kita pun bukan menjadi perjalanan membersihkan diri supaya kita pantas masuk surga, tetapi perjalanan menemukan jati diri kita sesungguhnya sebagai anak Allah.
Di saat kita paham sepenuhnya siapa identitas kita yang diciptakan Allah, saat itu pulalah kita sadar dosa bukan lagi hal yang perlu menjadi bagian dari kita. Apakah ini mungkin kita capai dalam hidup di dunia? Mungkin tidak, tapi inilah perjalanan hidup kita, sedikit-sedikit semakin mendekat pada tujuan akhir kita, sampai akhirnya kita menjadi sempurna.