Hari Raya Pesta Santo Fransiskus dari Assisi

Galasia 1:13-24
Mazmur 139
Lukas 10:38-42

Seorang teman pernah bertanya pada saya, “Sebagai seorang Fransiskan, bisakah kamu memberika satu kata saja untuk menggambarkan spiritualitas Fransiskan?” Pertanyaan seperti ini selalu bermasalah. Bagaimana mungkin bisa merangkum tradisi spiritualitas yang begitu kaya dan berabad-abad umurnya hanya dengan satu kata. Setelah semalam saya renungkan, akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan. Satu kata itu adalah “kasih”. Fransiscans are great lovers!

Santo Fransiskus tidak meninggalkan suatu struktur cara berdoa. Tulisan-tulisannya tidak terlalu banyak dan lebih seperti kotbah. Aturan-aturan yang ditulisnya untuk para saudara pengikutnya bukanlah suatu aturan yang mendetail seperti aturan Santo Benediktus misalnya. Yang kita namakan “spiritualitas Fransiskan” adalah pertama-tama berakar pada hidup Santo Fransiskus sendiri.

Sejak awal hidupnya, Fransiskus adalah orang yang perasa. Ia mencintai hidupnya. Ia suka berteman dan berpesta. Ia sering menyanyi lagu-lagu populer jaman itu, tentang hidup ksatria dan kisah romantisnya yang jatuh cinta pada seorang putri. Cita-citanya adalah menjadi ksatria itu sendiri yang pergi ke medan perang, menang, dan meminang gadis cantik yang dikasihinya. Tapi hidup berkata lain. Melalui perenungan, mimpi-mimpi yang dianggapnya tanda dari Tuhan, perjumpaan dengan orang miskin dan penderita kusta, ia mengalami sebuah konversi, sebuah transformasi hidup. Ia jatuh cinta kepada seorang yang melebih segala cita-citanya: Yesus Kristus sendiri. Hidupnya berubah total setelah itu. Setiap perbuatannya didasari atas kasihnya itu. Ia ingin hidup sama seperti Yesus sampai Ia pun mengalami stigmata, luka-luka yang dimiliki Yesus pada saat penyalibannya.

Dalam kisah Injil hari ini, kita melihat perbedaan antara Marta dan Maria. Marta sibuk melakukan berbagai macam pekerjaan sedangkan Maria duduk mendengarkan Yesus. Terkadang hidup kita sebagai umat Katolik lebih berfokus pada pemikiran bagaimana kita harus berbuat. Pikiran kita lebih kepada apa perbuatan yang benar dan apa perbuatan yang salah. Kita sering lupa, bahwa yang seharusnya memberi kita akar dan dasar dari semua tindakan kita adalah hubungan kita dengan Kristus, hubungan cinta kasih yang membuat kita ingin duduk dekat dengannya. Cinta kita pada Yesus dan pengalaman dicintai Yesus lah yang kemudian mengarahkan kita untuk berbuat yang benar dan menjauhi yang salah.

Bagaimana kita menghidupi spiritualitas Fransiskan di masa kini, di tengah dunia yang terkesan penuh dengan ketidakpastian dan kekerasan? Jika kita benar-benar bisa menghayati bagaimana Tuhan mengasihi kita, kita pun selanjutnya bisa membagikan kasih itu kepada semua orang, menjadi tanda cinta dan damai di sekitar kita. Tidak salah Paus Fransiskus sendiri berpegang pada prinsip ini. Ia merasa bahwa dirinya yang sangat berdosa telah dikasihi dan diangkat oleh Tuhan dengan kerahimanNya. Pengalaman itulah yang membuatnya bisa memancarkan kasih Tuhan kepada setiap orang yang ditemuinya. Itu juga yang membuat Santo Paulus dalam bacaan hari ini mengalami pertobatan dan perubahan hidup. Pengalamannya bertemu Kristus merubahnya dari penganiaya orang Kristen menjadi pewarta Injil.

Sebelum kita berkata-kata atau berbuat sesuatu, marilah kita menyisihkan waktu untuk seperti Maria duduk tenang dalam kehadiran sang Kekasih abadi. Semoga kita yang sudah merasakan bagaimana dikasihi bisa juga membagikan kasih itu kepada semua orang.