20 Maret 2017
Hari Raya Pesta Santo Yusuf
2Samuel 7:4-5, 12-14, 16
Mazmur 89
Roma 4:13, 16-18, 22
Matius 1:16, 18-21, 24
Biasanya kalau kita mendengar tentang Anunciation atau Kabar Sukacita tentang kelahiran Yesus, kita langsung berpikir tentang kunjungan Malaikat Gabriel yang mewartakan kepada Maria. Hari Raya Pesta itu akan kita peringati hari Sabtu ini, tanggal 25 Maret. Tetapi hari ini kita melihat peristiwa pewartaaan kabar tentang kelahiran Yesus bukan kepada Maria, tetapi kepada sang ayah, Santo Yusuf. Hari Raya Pesta Santo Yusuf sebenarnya jatuh pada tanggal 19 Maret, tetapi karena hari itu Minggu, maka pada tahun ini Gereja memindahkannya ke hari Senin 20 Maret. Bacaan Injil hari ini datang dari Matius, di mana tidak disebutkan peristiwa Gabriel datang ke Maria seperti yang kita temukan di Injil Lukas, tetapi Matius lebih fokus kepada sosok Yusuf.
Disebutkan bahwa Yusuf sangat terpukul ketika mengetahui bahwa Maria, tunangannya, ternyata sudah hamil sebelum mereka sempat berhubungan intim. Kejadian ini adalah hal yang sangat serius pada jaman itu. Menurut hukum Taurat, jika seorang suami menemukan istrinya sudah tidak perawan, sang istri harus dibawa ke depan rumah ayahnya dan dirajam (dilempari batu) oleh semua orang di kota itu (Ulangan 22:20-21). Tetapi Yusuf tidak tega untuk memperlakukan Maria seperti itu. Karena itulah dia memutuskan untuk mengambil jalan lain, yaitu menceraikannya. Menurut Taurat, jika seorang suami menceraikan istrinya, dia hanya cukup memberikan sang istri surat cerai dan mengusirnya dari rumah (Ulangan 24:1-2).
Dalam terjemahan Alkitab Indonesia disebutkan bahwa Yusuf memilih jalan ini karena dia “tulus hati”. Dalam bahasa Inggris sering digunakan “righteous”. Dalam bahasa Yunani aslinya, kata ini adalah “dikaios”, sebuah kata yang berakar dari istilah yang digunakan dalam pengadilan untuk menggambarkan sebuah keputusan yang adil. Dalam perkembangannya, bangsa Yahudi dan orang Kristen awal menggunakan kata ini untuk orang yang benar dan adil, orang yang hidupnya sesuai dengan kehendak Allah.
Demikian juga dalam bacaan kedua dari Surat Rasul Paulus kepada Umat di Roma, kita kembali menemukan kata “dikaios” yang dikaitkan dengan tokoh Abraham. Paulus mengatakan bahwa Abraham dijadikan Bapa Segala Bangsa bukan karena hukum Taurat, tetapi karena hidupnya yang benar dan berkenan pada Tuhan, di mana semua ini berakar pada iman Abraham.
Semata-mata mematuhi hukum tidak secara langsung membuat seorang benar atau adil. Sebuah mesin atau komputer pun bisa kita masukkan kode-kode programming supaya selalu mengikuti aturan-aturan yang kita buat. Mengikuti hukum sepertinya lebih gampang untuk kita. Semuanya kita lihat seperti hitam dan putih, benar dan salah. Tinggal mengikuti yang benar dan menjauhi yang salah, hidup pasti lancar. Tapi mesin tidak bisa mempunyai iman. Tuhan tidak menciptakan kita seperti robot yang hanya bisa mengikuti aturan secara buta, tetapi Ia ingin agar kita mendasarkan semua perbuatan kita pada iman dan kasih kepadaNya.
Beriman pada Tuhan memerlukan banyak usaha. Pertama kita harus mempunyai suatu hubungan, relationship dengan Tuhan. Selanjutnya kita juga senantiasa berkomunikasi denganNya untuk menentukan setiap langkah dalam hidup kita. Kadang kita gagal atau dihadapi ketidakpastian. Dalam hal itupun kita terus berpegang pada Tuhan untuk berjalan bersama menghadapi kesulitan kita.
Hari ini kita belajar dari Santo Yusuf. Jika dia hanya berpegang pada hukum, sudah seharusnya dia membiarkan Maria dirajam karena hamil bukan dari suaminya. Tapi imannya tidak membiarkan seorang perempuan muda yang sungguh murni hidupnya untuk diperlakukan semacam itu. Semoga seperti Santo Yusuf kitapun bisa hidup dengan benar karena iman dan kasih kita kepada Allah.