Selasa, 21 Maret 2017

Daniel 3:25, 34-43
Mazmur 25
Matius 18:21-35

“Ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami.”
Mungkin kata-kata itu kita ucapkan setiap hari dalam doa Bapa Kami. Saking seringnya kita mengucapkan doa itu, bisa jadi kata-kata itu hanya meluncur secara otomatis dari mulut kita tanpa kita sadari betul makna sesungguhnya atau tanpa benar-benar kita terapkan dalam hidup kita.

Ada teori bahwa Paus Fransiskus bisa menjadi orang yang begitu penuh damai dan murah hati karena dia pernah mengalami sendiri pengampunan yang besar dari Tuhan. Dia pernah menyinggung hal ini dalam sebuah wawancara tapi tanpa membeberkan secara detil. Kita juga bisa melihat dari moto yang dipilihnya sebagai Uskup dan kemudian sebagai Paus: “Miserando atque Eligendo” yang kurang lebih berarti “dipilih karena dikasihani atau diampuni”. Kata-kata ini didasarkan dari peristiwa pemanggilan Matius sang pemungut cukai oleh Yesus.

Sebagai manusia, secara alamiah kita ingin impas atau seimbang. Kalau ada orang yang berbuat sesuatu untuk kita, baik atau jahat, secara naluri kita ingin membalas dengan sesuatu yang setimpal. Tidak heran kalau hukum Yahudi jaman itu terdapat istilah “mata ganti mata, gigi ganti gigi,” sama seperti hukum-hukum di Babilonia dan daerah sekitarnya. Inilah konsep manusia akan keadilan.

Tetapi kalau kita benar-benar percaya akan karya Tuhan dalam hidup kita, Tuhan yang senantiasa mengasihi dan mengampuni kita tanpa batas, kita pun ditantang untuk merubah pikiran kita. Mungkin mustahil bagi kita untuk bisa memaafkan orang lain dengan kemampuan kita sendiri. Tapi kalau kita benar-benar introspeksi diri, melihat kilas balik hidup kita dan bagaimana kita diampuni Tuhan dalam segala kekurangan dan kesalahan kita, niscaya kita pun akan terdorong untuk mengampuni orang lain.

Kemungkinan lain adalah kita menjadi seperti sang hamba dalam Injil hari ini, yang hutangnya diampuni oleh majikannya tetapi kemudian menolak untuk mengampuni hamba lain yang berhutang kepadanya. Sang hamba ini memilih untuk melupakan kebaikan yang sudah diberikan kepadanya. Jika di Indonesia akhir-akhir ini sering kita dengar istilah “gagal paham” untuk menggambarkan orang yang tidak mengerti fakta yang sebenarnya, si hamba ini bisa kita beri julukan “gagal ingat”. Dia lupa bagaimana dirinya sudah diampuni demikian besarnya oleh sang majikan.

Agama Yahudi dan agama Kristen yang berakar darinya adalah kepercayaan yang berdasarkan akan ingatan atau memori. Israel selalu diingatkan akan karya Tuhan yang membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Umat Kristen selalu diingatkan akan sejarah keselamatan Allah. Dalam setiap liturgi Ekaristi kita mengingat kata-kata Yesus dalam perjamuan terakhir, yang diakhiri dengan kalimat, “Kenangkanlah aku dengan merayakan peristiwa ini.”

Doa, liturgi, bacaan dari Alkitab, renungan, semuanya ini dimaksudkan supaya kita tidak pernah lupa siapa Tuhan dan siapa kita di hadapan Tuhan. Hanya dengan mengingat hubungan kita dengan Tuhanlah kita bisa mendapat kekuatan untuk hidup dengan benar. Bila kita bisa merasakan begitu besar kasih Allah pada kita, maka kita pun bisa menyalurkan kasih itu kepada sesama kita.