Selasa Pekan Biasa V, 11 Februari 2020

Bacaan: 1 Raj. 8:22-23,27-30; Markus 7:1-13

“Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari padaKu”, demikian Yesus mengutip perkataan nabi Yesaya kepada bangsa Israel. Hal ini dikatakan Yesus ketika sekelompok orang Farisi mengkritik para muridNya yang tidak membasuh tangan ketika mau makan. Ada banyak aturan lain dari tradisi Yahudi yang mereka lakukan dan terkadang menjadi prioritas di dalam kehidupan mereka. Tentu saja aturan itu baik, namun bukan menjadi dasar untuk menilai atau bahkan menuduh seseorang, apalagi dikaitan dengan hidup di dalam kasih Tuhan.

Oleh sebab itulah tidak cukup yang keluar dari ‘bibir’, yakni yang dikatakan dan diajarkan, namun juga perlu terwujud dengan memakai ‘hati’. Ungkapan ‘bibir’ ini mau mengatakan bahwa relasi dengan Tuhan dan sesama hanya terjadi sebatas pembicaraan dan aturan namun tidak mempunyai ‘hati’ atau jiwanya, sehingga menjadi mati. Maka diperlukan perpaduan antara ‘bibir’ dan ‘hati’, sehingga yang dikatakan dan diajarkan dapat diwujudkan dengan tetap berdasarkan ‘kasih’. Tindakan yang berdasarkan ‘hati’ adalah tindakan yang mengalir dari cinta kasih dan belas kasih, yang melampaui semua peraturan yang dibuat oleh manusia. Kasih adalah perintah Tuhan sendiri dan menjadi aturan utama dan dari sanalah mengalirkan semua atuiran lainnya.

Kita hidup di jaman yang mulai kehilangan ‘hati’, sehingga banyak kejadian yang menjauh dari Tuhan. Aturan dan tradisi, bahkan yang mengatasnamakan agama pun bisa menjadi alasan untuk menyingkirkan sesama. Sungguh menyedihkan melihat dan mengalami berbagai situasi di jaman kita sekarang ini. Larangan untuk beribadah karena agama yang berbeda, mengcela dan menuduh sesama yang justru sedang menderita dan berbagai kejadian lainnya. Saatnya kita kembali ke sumber semua aturan dan tradisi, yakni kasih yang mengalir dari ‘hati’ yang berbelaskasih. Kitalah yang harus memulai bergerak dan bertindak sebagai nabi-nabi cintakasih di jaman ini.