Hari Jumat setelah Rabu Abu
Yes. 58:1-9a; Mat. 9:14-15
Saya hendak memulai permenungan hari ini dengan seruan Tuhan melalui Nabi Yesaya dalam bacaan pertama pada hari ini. “Berpuasa yang Kukehendaki, ialah engkau harus membuka belenggu-belenggu kelaliman.” Dalam injil, Yesus menyerukan hal yang sama dalam merespon pertanyaan murid-murid Yohanes yang mengatakan, “Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?”
Saudara dan saudariku, puasa yang dikehendaki Allah bukan sekedar menahan diri untuk tidak makan dan minum atau sekedar menjalankan hukum agama. Pantang dan puasa yang kita jalankan diharapkan tidak hanya berciri batiniah dan individual, tetapi hendaknya berciri lahiriah dan berdampak sosial. Dengan kata lain, melalui tindakan nyata dan sederhana yang kita lakukan kepada sesama, orang bisa melihat dan mengalami betapa baiknya Allah yang kita imani.
Di sekitar kita masih banyak orang yang TERBELENGGU. Di sini saya berbicara bukan hanya soal kemiskinan dalam arti tidak bisa makan dan minum, berpakaian, dll. Tetapi saya berbicara tentang masih banyaknya orang terbelenggu oleh nilai-nilai, gaya hidup duniawi dalam masyarakat, banyaknya aturan yang tidak adil yang menyebabkan mereka tidak bisa bergerak dan merdeka, serta pribadi-pribadi mereka kurang dihargai. Contohnya, pola pikir dan gaya hidup yang dipengaruhi oleh konsumerisme. Konsumerisme telah melahirkan pola pikir tentang hakekat dan martabat manusia, yakni manusia dinilai berdasarkan kemampuannya untuk memiliki dan bukan karena keberandaannya sebagai manusia. Maka, mereka yang memiliki sumber-sumber ekonomi dapat memuaskan keinginan-keinginan pribadi, karena mereka memiliki kemungkinan untuk memilih. Tetapi, mereka yang tidak memiliki sumber-sumber ekonomi tidak dapat memilih dan mereka dianggap sebagai warga kelas dua.
Ijinkan saya mengutip Surat Gembala Prapaskah 2020 dari Uskup Bandung, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC., dengan tema: Hidup Bermartabat dan Bersahabat, “Dengan bermatiraga, berdoa dan bekerja, serta berkorban, kita bertekad membangun kehidupan ekonomi yang bermartabat. Pada masa Prapaskah ini, kita disadarkan akan kemurahan Allah yang harus menjadi tolok ukur tindakan ekonomi kita. Semoga dengan berdoa, kita makin gigih bekerja mewujudkan kehendak Allah. Dengan pantang dan puasa, kita makin teguh dalam bermatiraga dan berkorban demi kebaikan bersama. Dengan amal dan kasih, kita makin mampu berbagi apa yang telah Tuhan percayakan kepada kita. Marilah kita hidup kudus dan bermartabat di hadapan Tuhan serta hidup damai dan bersahabat dengan sesama.”
Saudara-saudaraiku, bacaan-bacaan hari ini membantu kita untuk mengerti dan memahami bahwa berpuasa dan berpantang itu berarti mengasihi Tuhan dan sesama. Puasa merupakan kesediaan hati untuk bertobat dan merendahkan diri di hadapan Allah. Dengan kata lain, kita mau berpantang dan berpuasa pertama-tama karena kita mau menunjukkan kasih kita kepada Tuhan, bukan karena kita mau ikut-ikutan atau karena merasa diwajibkan oleh Gereja. Allah tidak menginginkan pantang dan puasa yang kita jalani menjadi semangat egosentris agar orang melihat betapa sucinya kita. Dalam kotbah di bukit Yesus mengatakan, “Hati-hatilah, jangan sampai melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat. Karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di surga.” (Mat 6:16).