“Masih banyak hal-hal lain yang dibuat oleh Yesus, tetapi jika semua itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu (Yoh 21: 25)

Dari manalah kita mulai membaca Kitab Suci? ini pertanyaan yang sering diajukan orang saat akan mulai membaca Sabda Allah. “Baca saja dari Injil matius sampai Yohanes! jawab saya. Membaca Injil biasanya lebih memudahkan orang mengikuti cerita karena sudah terbiasa mendengarkannya saat Perayaan Ekaristi.
Untuk memahami sabda Tuhan, hanya ada satu cara yaitu membacanya dengan penuh ketekunan dan kesetiaan. Santo Ambrosius mengatakan bahwa membaca Kitab Suci seharusnya ada dalam suasana yang tenang, tidak tergesa-gesa dalam membaca dan dibaca kata per kata untuk mengaktifkan kemampuan manusiawi dalam merefleksikannya. Membaca adalah langkah pertama untuk mendengar Dia yang berbicara kepada manusia dan menunjukkan kasih-Nya.
Yohanes dari Salib (1542-1591) mengatakan, “Sabda Tuhan tidak akan diterima dengan iman jika ia masuk melalui otak bagian atas dan tidak mengakar dalam hati.” Dengan membaca, orang diajak untuk fokus pada sabda Tuhan dan tidak membiarkan pikirannya mengembara kemana-mana. Distraksi biasanya terjadi karena orang terlalu aktif dalam menanggapi firman Tuhan. Di sini, orang hanya perlu membaca dan membiarkan Tuhan sendiri yang berbicara. Dengan membangun komunikasi yang pasif terhadap firman Tuhan, ia membiarkan sabda Allah mengubah pikiran, sikap dan perilakunya.
Tahap membaca diawali dengan mempersiapkan kutipan teks Kitab Suci, persiapan batin (hening sejenak), bersyukur kepada Allah atas karunia sabda-Nya dan mohon pemahaman atas apa yang akan Tuhan sampaikan. Jika doa dilaksanakan di rumah, orang perlu mengkondisikan suasana rumah dengan memilih tempat (ruangan), waktu dan meminta anggota keluarga yang lain supaya menjaga ketenangan. Pengkhususan ruang, waktu dan anggota keluarga menunjuk pada rasa hormat kepada Kitab Suci dan wahyu ilahi yang tersimpan di dalamnya.
Dalam tradisi Benediktin, pembacaan dilakukan dengan lantang dan penuh perhatian (mata melihat dan telinga mendengarkan). Perhatian yang penuh dan total memungkinkan orang masuk ke dalam realitas ilahi yang belum pernah dialaminya. Orang meninggalkan kesibukannya dan masuk ke dalam realitas ilahi yang terbentuk oleh firman yang dibaca terus-menerus. Orang tidak perlu berfikir teks atau frase mana yang bermakna baginya. Namun, ia membiarkan kalimat atau frase yang dibaca akan menembus kedalaman hati dan tinggal tetap di sana. Ketika sabda itu berdiam dalam hatinya, orang menemukan dengan sendirinya makna baru dibalik teks tersebut.
(Renungan dikutip dari Skripsi, “Pertemuan Macapat Jawa dan Macapat Injil dalam Lectio Divina” – oleh Fr. Brian Kurniawan, Agustinus.