Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Kemunafikan diri itu perlawanan akan kasih Allah

Posted by admin on October 16, 2025
Posted in Podcast 

Rm Gunawan Wibisono O.Carm

Audio Podcast Link

Mohonlah selalu rahmat kebijaksanaan

Posted by admin on October 15, 2025
Posted in Podcast 

Rm Gunawan Wibisono O.Carm

Audio Podcast Link

RENUNGAN 16 OKTOBER 2025

Posted by admin on October 15, 2025
Posted in renungan 

LUK 11:47-54

Injil hari ini merupakan kelanjutan hari kemarin. Yesus mengkritisi tindakan dan cara hidup para ahli Taurat. Para ahli Taurat mengklaim bahwa mereka sungguh mengerti hukum Taurat dari zaman Musa, menafsirkan dan mengajarkannya pada orang banyak. Banyak hal yang diajarkan oleh para ahli Taurat tidak selaras sesuai dengan cara hidup mereka sehari-hari. Mereka menafsirkan hukum peraturan agar supaya dijalankan oleh orang banyak. Namun faktanya, itu semua menjadi batu sandungan bagi banyak orang. Disinilah Yesus mengkritisi para ahli Taurat. Mereka memberikan beban ajaran dan penafsiran atas hukum kepada rakyat, sementara mereka sendiri tidak menjalankannya.

Banyak orang tak berdaya dan mengikuti ajaran para ahli Taurat dan menganggap sebagai satu-satunya kebenaran. Yesus menunjukkan kepada para hali Taurat dan orang banyak, bahwa tidak semua yang diajarkan itu tertulis dalam teks Taurat. Banyak hal adalah penafsiran sendiri. Yesus sangat keras menegur mereka sebagai orang munafik, orang celaka! Semakin dalam Yesus membuka kemunafikan mereka, dengan menunjukkan apa saja yang tidak tertulis di Taurat. Inilah yang membuat para ahli Taurat tidak suka pada Yesus.

Kata-kata Yesus sangat tajam menusuk jiwa,”Celakalah kamu! Sebab kamu membangun makam para nabi yang dibunuh oleh nenek moyangmu. Jadi kamu adalah saksi dan membenarkan perbuatan nenek moyangmu, karena mereka telah membunuh nenek moyangmu, dan kamu membangun kuburan mereka. (Luk 11:47-48). Para ahli Taurat dan orang Farisi membangun makam di atas kuburan para nabi, sama artinya mereka mengakui tindakan permusuhan dan pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua, kakek nenek, buyut, canggah dan seluruh leluhurnya pada para nabi.

Banyak kaum agamawan pada zaman Yesus lupa untuk apa hukum Taurat itu. Yesus bersikap keras terhadap mereka karena mereka telah menghancurkan sabda para nabi, karena sikap angkung dan sombong. Yesus tahu hal ini akan memicu permusuhan mereka. Yesus siap menghadapi pertentangan, karena Ia ingin senantiasa mewartakan kasih Bapa bagi semua orang.

Di dalam sejarah kehidupan manusia, tipikal orang seperti ahli Taurat dapat saja terjadi pada siapapun. Terutama pada para pemangku jabatan dan pemegang kekuasaan di bidang profan atau religious sekalipun. Pemegang kuasa dan jabatan berbuat sedemian rupa, demi menjaga keberlangsungan jabatan, kuasa dan ajarannya. Dan bila perlu jabatan itu tak tergantikan. Sungguh mengerikan berhadapan dengan orang yang punya ambisi besar. Oleh karena itu banyak orang tidak dapat mentolerir sikap kemunafikan.  

Kita tidak ingin menjadikan saudara saudari lainnya sebagai alat untuk memenuhi segala keinginan diri. Siapapun kita dan bergerak dalam bidang apapun kita, marilah hidup secara benar di hadapan Allah dan sesama saudara kita. Kita membangun semangat persaudaraan sejati. Semangat memanusiakan setiap pribadi dan menjadi bangga karena memiliki Allah penuh kasih. (rm. Medyanto, o.carm)

Pernahkah kita sampai dikecam oleh Yesus?

Posted by admin on October 14, 2025
Posted in Podcast 

Rm Gunawan Wibisono O.Carm

Audio Podcast Link

Renungan: Tinggal Bukan Diam, Tapi Menyatu

Posted by admin on October 14, 2025
Posted in renungan 

Rm Agung Wahyudianto O.Carm

Yohanes 15:1–8 | 15 Oktober – Peringatan Santa Teresia dari Ávila

“Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu.”

(Yohanes 15:4)

Yesus tidak mengatakan, “kerjakan untuk-Ku,” atau “perjuangkan Aku,” tetapi “tinggallah”—sebuah kata yang terlihat sederhana, tapi dalam. Di zaman ini, ketika semua bergerak cepat dan penuh tuntutan untuk membuktikan diri, kata “tinggal” justru terdengar pasif, bahkan tidak produktif. Tapi di dalam Injil, tinggal berarti sesuatu yang jauh lebih dalam: menyatu tanpa jarak.

Santa Teresia dari Ávila memahami ini bukan sebagai konsep, tapi sebagai pengalaman batin. Ia menulis tentang “puri batin”—sebuah ruang di dalam jiwa di mana Allah tinggal dan selalu hadir. Tapi untuk sampai ke sana, ia tahu bahwa manusia harus melewati banyak “lapisan rumah batin”: ego, kepalsuan, kebutuhan akan pengakuan, bahkan ketakutan akan kehilangan diri. Maka, tinggal dalam Kristus bukan sekadar bertahan di jalan iman, tapi berani melepaskan diri yang palsu agar bisa menyatu dengan Sumber Hidup.

Yesus menggambarkan hubungan ini seperti ranting dan pokok anggur. Ranting tidak harus menciptakan kehidupan sendiri; cukup tinggal dan membiarkan aliran hidup itu bekerja dari dalam. Di sinilah kita sering gagal—kita ingin menjadi ranting yang kuat dengan caranya sendiri, bukan dengan membiarkan diri tersambung total.

Namun tinggal bukan berarti pasrah tanpa arah. Justru tinggal di dalam Kristus menuntut kejujuran, keberanian, dan keterbukaan penuh. Karena untuk benar-benar tinggal, kita harus berhenti bersembunyi—berhenti membentuk citra, berhenti mencoba menjadi “baik” di mata dunia, dan mulai menjadi utuh, di hadapan Allah yang tidak jauh dari dalam diri kita sendiri.

Santa Teresia dari Ávila tidak menjadi kudus karena ia berbuat banyak, melainkan karena ia berani tinggal di ruang terdalam hatinya, di mana ia menyatu dengan Allah yang tak terbagi. Dan dari sanalah muncul buah: doa yang hidup, kebijaksanaan, ketenangan, dan tindakan yang lahir dari kesatuan, bukan dorongan.

Hari ini, kita pun diajak untuk tidak sekadar percaya atau bekerja bagi Tuhan, tapi berani tinggal—tanpa syarat, tanpa topeng, dan tanpa perlu menjadi apa-apa lagi.

“Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak.” (Yoh 15:5)

Translate »