Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Iri hati

Posted by admin on January 23, 2014
Posted in renungan  | 3 Comments

envy

Bacaan I     : 1 Samuel 18:6-9, 19:1-7

Bacaan Injil : Markus 3: 7-12

“Ibuku tidak adil. Dia selalu membeda-bedakan kami anak-anaknya, apalagi sejak sepeninggalan ayah. Dari kecil aku merasa ia lebih sayang pada adikku dan pada kakak-kakakku. Padahal aku sudah banyak membantu keluarga juga. Sebenarnya kadang aku merasa ingin memeluknya, tapi kini setiap kali berbicara dengannya, sebentar saja perasaan marah meluap dan membuatku enggan melanjutkan pembicaraan. Ia tidak bisa memahamiku dan selalu membela diri, dan aku takut akan lebih dalam terluka…. ”

Keluarga adalah sekolah sosial yang pertama. Banyak dari antara kita belajar mengembangkan kecerdasan emosi dari interaksi dengan saudara-saudari kita yang bertumbuh bersama dalam keluarga. Namun tidak dengan sendirinya mereka yang memiliki lebih banyak saudara akan lebih matang dalam hidup sosialnya. Sebagian dari kita terus membawa luka batin akibat persoalan masa lalu yang belum selesai, dan salah satu penyebab utama adalah iri hati. Saudara tidak lagi dilihat sebagai orang terdekat untuk berbagi kegembiraan dan kesedihan, melainkan sebagai ancaman. Perasaan menjadi “korban” yang tidak terselesaikan dapat lebih jauh lagi membuat suasana batin selalu gelisah karena setiap teman dan rekan kerja juga dipandang memiliki potensi menjadi saingan, menjadi ancaman. Dalam konteks keluarga, menyedihkan lagi bahwa tak jarang kematian orang tua menjadi saat iri hati merajalela bersembunyi di balik kata “keadilan” saat persaudaraan dipertaruhkan kala berbagi harta warisan!

Kelanjutan kisah heroik kemenangan Daud atas Goliat menyingkap salah satu tantangan berat hidup sosial: bagaimana mengalahkan iri hati dan cemburu manakala orang lain lebih sukses dari diri kita sendiri. Nyanyian para wanita Israel yang menyanjung Daud lebih dari Saul, membuat hati Saul membara dalam kemarahan karena anak muda “kemarin sore” itu mencuri perhatian rakyat. Dengan cepat iri hati bertumbuh menjadi hasrat untuk membunuh. Aneh sebenarnya bahwa dikisahkan ia dengan terbuka bicara soal kecemburuannya itu, karena dalam kenyataan, kita sangat jarang bicara terbuka tentang iri hati kita.

Iri hati adalah satu dari antara 7 dosa berat yang mematikan, karena darinya mengalir dosa-dosa lain seperti sakit hati, kebencian, ketidakpercayaan, dendam, dan ingin menyakiti orang lain. Dalam kitab suci sendiri dikisahkan sudah sedari awal keberadaan manusia, iri hati dan cemburu menjadi dasar dosa berat yang lain: dosa pembunuhan (Kisah Kain dan Habil). Yesus sendiri juga menjadi korban iri hati dan kecemburuan para pemimpin agama Yahudi, diserahkan pada penguasa penjajah Roma untuk diadili (Mark 15:10).

Obat iri hati hanyalah keterbukaan atas tuntunan Roh Kudus yang mengajar kita akan kasih. Salah satu bentuk kasih yang paling praktis adalah menginginkan yang baik terjadi, juga pada mereka yang menyakiti hati kita. Susah, tidak mudah, perlu kecerdasan rohani karena lebih gampang berpegang pada asas “mata ganti mata, gigi ganti gigi”. Bentuk kasih yang lain yang juga praktis untuk melawan iri hati adalah kebiasaan bersyukur. Hati yang selalu penuh syukur, akan juga mudah menjadikan keberhasilan orang lain sebagai alasan bersyukur dan bukan alasan menggerutu! Mari mohon agar Tuhan berkenan mengajar kita bersyukur, dan menambah kualitas kasih kita, hingga makin sedikit orang yang kita lihat sebagai “ancaman”. Dengan rahmat Tuhan dan keterbukaan kita itu, niscaya hidup kita akan damai dan tentram!

 

Pertarungan

Posted by admin on January 22, 2014
Posted in renungan  | 7 Comments

 4LIFE

Bacaan I     : 1 Samuel 17: 32-33, 37, 40-51

Bacaan Injil: Markus 3:1-6

Mata ayahku berkilat-kilat. Dengan semangat dia memberi petunjuk pada anak laki-lakinya: “Dik, besok kalau mereka menantang kamu berkelahi lagi, kamu harus siap ladeni. Kalau benar mereka berani memukulmu lebih dulu, kamu harus lawan! Pukul ganti! Serang! Terjang! Tendang! Eyang buyutmu itu warok Ponorogo, jagoan!” Aku terperanjat. Rasanya sudah aku jelaskan padanya bahwa pemimpin gerombolan anak nakal yang menggangguku itu berbadan jauh lebih besar dariku, lagi pula mereka banyak. Sedang aku, bocah kelas 2 SD, a new kid on the block, pernah ditolak masuk TK oleh suster karena tubuh kurus kecil dan wajah memelasku: “Biar dia masuk mulai tahun depan saja ya, Bu, kasihan ….”. Tapi aku tahu, Bapak tidak main-main dengan pesannya, meski kulirik Ibu terlihat cemas karena wadulanku malah menempatkanku pada posisi yang berbahaya. Lewat sudah masa aku bisa bernyanyi: Sopo wani karo aku, musuh Bapakku! (siapa berani dengan saya, ayo hadapi ayahku!). Kami semua tahu, Bapak sedang mengajar anak lanang-nya menjadi “laki-laki sejati”, yang tidak cengeng dan lari saat dihadang musuh, yang berani ambil resiko berpeluh darah membela harga diri dan kebenaran, yang bangga berjuang demi membela kebesaran nama keluarga. “Dik…. Hidup itu sebuah pertarungan! Nggak apa-apa kalau misalnya nanti kamu kalah berkelahi, asal kamu berani hadapi dengan yakin dan kamu ada dalam posisi yang benar. Bapak akan tetap bangga padamu!”

Hidup adalah sebuah pertarungan. Meski ribuan cerita telah terhamparkan, mulai dari Clash of Titans Yunani, Hikayat Ramayana dan Baratayudha, hingga kisah Harry Potter vs Voldemort, Narnia dan The Lord of the Rings, kadang kita suka menghindar dari kenyataan keras dan pedas ini. Kita lebih suka mengibaratkan hidup sebagai sebuah perjalanan dan menyanyikannya dalam lagu-lagu yang syahdu menyentuh hati seperti Mazmur 23 atau Berita kepada kawan-nya Ebiet G Ade. Hidup adalah sebuah pertarungan. Dan betapa Daud tahu dari pengalamannya menaklukkan singa maupun beruang, ia dapat selalu mengandalkan Allah sebagai penjamin kemenangannya. Sosok kekar dan perkasa Goliat, raksasa pahlawan Filistin, tidak membuatnya goyah, “Sebab di tangan Tuhanlah pertempuran (ini)..”.

Dalam hidup setiap manusia, betapapun kita cinta damai, selalu ada orang-orang atau kekuatan yang memaksa kita bereaksi dengan keras bahkan memancing kemarahan kita. Unsur pergulatan itu bahkan sudah dimulai dalam diri kita sendiri. Paulus kiranya mewakili kita semua waktu menyatakan  pengalaman pribadinya mengamati pertarungan antara kehendaknya yang baik dan keinginan “daging”nya (Rom 7:15-25). Injil hari ini juga diakhiri dengan pertarungan atas hidup Yesus: “Lalu keluarlah orang-orang Farisi dan segera bersekongkol dengan orang-orang Herodian untuk membunuh Dia”.

Maka, jangan takut. Tuhan kita sudah mengalami semua pertarungan itu untuk kita, dan akan senantiasa menyertai kita berjuang di bawah panji-panji salibNya. Seperti Daud, kita mendapat jaminan bahwa pertarungan kita ada di tangan Tuhan. Dan kita pun akan menemukan bahwa kita bisa menaklukkan tantangan-tantangan yang kita yakini jauh melampaui kemampuan kita, karena Tuhan bersama kita. Hidup adalah sebuah pertarungan. Mari rapatkan barisan memperjuangkan dan mempertahankan kebenaran, keadilan, kebaikan, dimulai dari dalam diri kita sendiri!

Don’t Judge a Book Only By Its Cover

Posted by admin on January 21, 2014
Posted in Podcast  | 4 Comments

coversite

Memandang

Posted by admin on January 21, 2014
Posted in renungan  | 6 Comments

Jesus-optical-illusion-2

Bacaan I: 1 Samuel 16:1-13

Bacaan Injil: Markus 2:23-28

Donny Verdian yang lama tinggal di Sydney, bulan lalu menunggui (alm) ayah mertuanya yang sakit di Jakarta. Alumnus SMA Kolese de Britto Yogyakarta dan STMIK AKAKOM Yogyakarta yang berperawakan tinggi besar, bertato dan “sangar” ini, sering diminta istrinya untuk membawa kedua anak kecil mereka jalan-jalan dengan baby stroller di lobby rumah sakit sambil menidurkan mereka. Ada seorang ibu yang rupanya tertarik dengan kedua anaknya yang  lucu meski nampak cuek saja bahkan agak “sinis” terhadap Donny. Pada suatu ketika, mereka bertemu kembali dan Donny menyapanya, “Siang!” dengan tatap mata terpaku pada anak-anak di atas stroller, Si Ibu pun menyahut “Siang!”. Setelah beberapa saat sibuk menggoda anak-anak, tanpa memalingkan muka dari anak-anak itu, Si Ibu bertanya, “Ibunya di mana?”. “Oh, di atas… lantai tiga lima”, jawab Donny meski ia merasa “dicuekin”. “Papanya bule ya kelihatannya….?”

Dang! Donny memandang wajah dan tubuhnya dalam-dalam lewat cermin di satu sisi lift terdekat sambil menghela nafas…Aku bukan bule… aku J-A-W-A! Tiba-tiba ia tersadar mengapa Si Ibu tak pernah mau memandangnya. Mungkin ia dikira penjaga yang dibayar ibu dan ‘bapak’ anak-anaknya. Di Jakarta bisa jadi memang terjadi stereotype bahwa yang mendorong stroller adalah nanny yang bertugas mengganti popok, mengelap tinja, memberi makan, mengelap muntahan dan segala macam keperluan anak-anak balita! (diceritakan kembali dari sumber: http://donnyverdian.net/bapaknya-bule-ya/ ).

Samuel dalam bacaan pertama mungkin punya pengalaman senada dengan Si Ibu dalam cerita nyata di atas. Ia terpesona pada penampilan Aliab, anak tertua Isai, dan berpikir: ini dia orang yang dipilih Tuhan. Tetapi Tuhan mengingatkannya: “Janganlah pandang paras atau perawakan yang tinggi… Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang didepan mata, tetapi Tuhan melihat hati”. Meski ribuan kali kita mendengarkan ajaran dan teladan dari Yesus, mendengar cerita serta petuah dari kitab suci lengkap dengan kupasan maknanya, tak jarang kita masih suka jatuh pada menilai seseorang dari penampilan dan bukan dari hatinya; menilai dari permukaan, dan malas untuk menyelami hingga kedalaman. Mungkin karena memang jarak antara mata dengan “objek”  jauh lebih dekat daripada jarak hati dan budi dengan “objek tersebut”. Mungkin karena kita belum benar-benar membiarkan diri dirasuki cara melihat, cara mendengar, cara merasa dari yang Ilahi. Hari ini, mari kita mohon rahmat itu:

Teach Me Your Ways

(Pedro Arrupe SJ)

Teach me your way of looking at people:
as you glanced at Peter after his denial,
as you penetrated the heart of the rich young man
and the hearts of your disciples.

I would like to meet you as you really are,
since your image changes those with whom you
come into contact.

Remember John the Baptist’s first meeting with you?
And the centurion’s feeling of unworthiness?
And the amazement of all those who saw miracles
and other wonders?

How you impressed your disciples,
the rabble in the Garden of Olives,
Pilate and his wife
and the centurion at the foot of the cross. . . .

I would like to hear and be impressed
by your manner of speaking,
listening, for example, to your discourse in the
synagogue in Capharnaum
or the Sermon on the Mount where your audience
felt you “taught as one who has authority.”

Logika Sepotong-sepotong

Posted by admin on January 20, 2014
Posted in renungan  | 2 Comments

correlation-v-causation-cartoon1

Bacaan I: 1 Samuel 15:16-23

Bacaan Injil: Markus 2:18-22

Setelah merayakan misa Natal dan tinggal beberapa hari di Waghete, desa di pedalaman pegunungan Jayawijaya Papua Tengah, Jumat 27 Desember 2013, ditemani Romo Nico SJ pastor pembantu paroki dan frater Yuda SJ wakil pamong SMA Adiluhur Nabire, saya “turun gunung” dengan mobil paroki menuju ke Nabire, 255 km ke arah Utara. Seorang bapak, putra asli Papua berperawakan kecil bersikeras turut menemani, karena juga ingin mengunjungi saudaranya di kota. Pegawai Dinas PU Waghethe ini sempat ditanya Romo Nico, “Bapak benar mau ikut kah? Bagaimana dengan pekerjaan Bapak di kantor?” Dengan enteng ia  menjawab: “Jangan kawatir Pater, saya sudah tanda tangan presensi sampai Tahun Baru”. Kami tergelak terbahak waktu mendengarnya. Jawaban yang maunya menentramkan itu sekaligus mengkhawatirkan: logikanya hanya sepotong yang kena. Jawaban yang juga mencerminkan etos kerja yang banyak ditemui di daerah terpencil di Papua. Memprihatinkan. Tetapi kami membiarkannya turut serta. Pak Frans Doe yang biasa turut, ini kali harus mengalah. “Gantian lah, “ ujar Romo Nico.

Para pengusung atheisme suka melecehkan kaum beragama sebagai orang-orang yang logikanya “kurang penuh”. Kepercayaan pada Tuhan suka dianggap irrasional.  Mereka lupa, “pertarungan” meluruskan, menajamkan, meninggikan logika merupakan bagian dinamika pokok beriman. Tentu saja ada orang-orang yang lebih suka “meninggalkan” logika atau bahkan mencurigai pikiran manusia (baca: filsafat) sebagai penghalang menangkap pesan ilahi, tetapi bukankah itu gejala yang biasa ditemui dalam masyarakat manapun, dan mereka tidak bisa dilihat sebagai mewakili kelompok terbesar yang mempertahankan dan terus mengembangkan ketajaman budi dan hati?

Bacaan-bacaan hari ini dapat dipahami dalam kerangka transformasi (logika) agama yang berusaha menyenangkan Tuhan lewat persembahan-persembahan yang meredakan murka Tuhan yang pemarah, menuju (logika) agama yang mengajarkan ketaatan penuh dan utuh, secara kritis dan kreatif, agar manusia berkembang sepenuhnya. Sikap Saul yang mengikuti perintah Tuhan setengah hati sambil mencari keuntungan sendiri menunjukkan logikanya yang hanya sepotong-sepotong. Jadinya dia didakwa Samuel jatuh dalam dosa sejenis menyembah berhala, karena kepentingan dirinya diutamakan daripada melaksanakan kehendak Allah yang telah diketahuinya secara jelas. Dia juga dituduh berusaha “menyogok” Tuhan lewat persembahan korban bakaran.

Bacaan Injil juga menyingkap dibalik pertanyaan orang-orang Farisi tentang murid-murid Yesus yang tidak berpuasa, Allah dipandang perlu “dipuaskan” dengan pelaksanaan puasa tsb. Yesus menggunakan kesempatan ini untuk mengajarkan logika yang lebih utuh: puasa adalah tanda keterpisahan dari Allah. Para muridNya tidak perlu berpuasa karena selama Yesus ada di tengah mereka, mereka tidak terpisah dari Allah. Tentu saja, untuk dapat menampung “ilmu” baru ini, perlu “kantong” baru!

Kitapun perlu terus belajar dalam beriman, menguji hati dan budi, agar doa kita: “Jadilah kehendakMu”, benar-benar mengarahkan pikiran, perkataan dan perbuatan kita, dalam pencarian tulus terus menerus akan kehendakNya. Kita hendaknya juga tidak berpuas diri berhenti dan bersandar melulu pada kuasa “formula”, tetapi mau bersusah payah menggali “semangat dasar” pula. Kalau tidak waspada dengan yang pertama, bisa jadi kita akan mengubah doa kita: Tuhan, jadilah kehendakMu yang sesuai dengan kehendakku. Cincai lah…  Kalau tidak waspada dengan godaan berhenti mengembangkan iman, bisa jadi kita kita salah mengambil langkah yang justru menjauhkan kita dari tujuan kita diciptakan.  Maka, waspadailah logika sepotong-sepotong!

Translate »