Bacaan I : 1 Samuel 18:6-9, 19:1-7
Bacaan Injil : Markus 3: 7-12
“Ibuku tidak adil. Dia selalu membeda-bedakan kami anak-anaknya, apalagi sejak sepeninggalan ayah. Dari kecil aku merasa ia lebih sayang pada adikku dan pada kakak-kakakku. Padahal aku sudah banyak membantu keluarga juga. Sebenarnya kadang aku merasa ingin memeluknya, tapi kini setiap kali berbicara dengannya, sebentar saja perasaan marah meluap dan membuatku enggan melanjutkan pembicaraan. Ia tidak bisa memahamiku dan selalu membela diri, dan aku takut akan lebih dalam terluka…. ”
Keluarga adalah sekolah sosial yang pertama. Banyak dari antara kita belajar mengembangkan kecerdasan emosi dari interaksi dengan saudara-saudari kita yang bertumbuh bersama dalam keluarga. Namun tidak dengan sendirinya mereka yang memiliki lebih banyak saudara akan lebih matang dalam hidup sosialnya. Sebagian dari kita terus membawa luka batin akibat persoalan masa lalu yang belum selesai, dan salah satu penyebab utama adalah iri hati. Saudara tidak lagi dilihat sebagai orang terdekat untuk berbagi kegembiraan dan kesedihan, melainkan sebagai ancaman. Perasaan menjadi “korban” yang tidak terselesaikan dapat lebih jauh lagi membuat suasana batin selalu gelisah karena setiap teman dan rekan kerja juga dipandang memiliki potensi menjadi saingan, menjadi ancaman. Dalam konteks keluarga, menyedihkan lagi bahwa tak jarang kematian orang tua menjadi saat iri hati merajalela bersembunyi di balik kata “keadilan” saat persaudaraan dipertaruhkan kala berbagi harta warisan!
Kelanjutan kisah heroik kemenangan Daud atas Goliat menyingkap salah satu tantangan berat hidup sosial: bagaimana mengalahkan iri hati dan cemburu manakala orang lain lebih sukses dari diri kita sendiri. Nyanyian para wanita Israel yang menyanjung Daud lebih dari Saul, membuat hati Saul membara dalam kemarahan karena anak muda “kemarin sore” itu mencuri perhatian rakyat. Dengan cepat iri hati bertumbuh menjadi hasrat untuk membunuh. Aneh sebenarnya bahwa dikisahkan ia dengan terbuka bicara soal kecemburuannya itu, karena dalam kenyataan, kita sangat jarang bicara terbuka tentang iri hati kita.
Iri hati adalah satu dari antara 7 dosa berat yang mematikan, karena darinya mengalir dosa-dosa lain seperti sakit hati, kebencian, ketidakpercayaan, dendam, dan ingin menyakiti orang lain. Dalam kitab suci sendiri dikisahkan sudah sedari awal keberadaan manusia, iri hati dan cemburu menjadi dasar dosa berat yang lain: dosa pembunuhan (Kisah Kain dan Habil). Yesus sendiri juga menjadi korban iri hati dan kecemburuan para pemimpin agama Yahudi, diserahkan pada penguasa penjajah Roma untuk diadili (Mark 15:10).
Obat iri hati hanyalah keterbukaan atas tuntunan Roh Kudus yang mengajar kita akan kasih. Salah satu bentuk kasih yang paling praktis adalah menginginkan yang baik terjadi, juga pada mereka yang menyakiti hati kita. Susah, tidak mudah, perlu kecerdasan rohani karena lebih gampang berpegang pada asas “mata ganti mata, gigi ganti gigi”. Bentuk kasih yang lain yang juga praktis untuk melawan iri hati adalah kebiasaan bersyukur. Hati yang selalu penuh syukur, akan juga mudah menjadikan keberhasilan orang lain sebagai alasan bersyukur dan bukan alasan menggerutu! Mari mohon agar Tuhan berkenan mengajar kita bersyukur, dan menambah kualitas kasih kita, hingga makin sedikit orang yang kita lihat sebagai “ancaman”. Dengan rahmat Tuhan dan keterbukaan kita itu, niscaya hidup kita akan damai dan tentram!




